Mantan Pilot Andre Bule Perancis, Gali Sumur untuk Warga Miskin di NTT

IMPIANNEWS.COM (Sumba).
Namanya Andre Graff. Berkenalan dengan Pulau Sumba berawal sebagai turis. Namun di tanah gersang dan surga bagi para kuda itu, Andre Graff, warganya mengalami kesulitan untuk mendapatkan air besar, Apalagi di musim kemarau, warga dihadapkan pada permasalahan kesulitan memperoleh air bersih. 
Warga harus berjalan jauh, naik turun perbukitan, demi mendapat air untuk mandi dan minum, Namun setelah  Andre Graff, memilih untuk menetap di Kampung Waru Wora, Kecamatan Lamboya, Kabupaten Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT), mantan pilot serta dan pemilik balon udara panas ini mengajak warga belajar membuat sumur.
Kini, kawasan yang sebelumnya kesulitan air bersih, kini bisa menikmati segarnya air berkat tangan dingin dan ketulusan hati seorang bule asal Pranci, ini.
Johanis Jauhega, seorang tokoh masyarakat Waru Wora, pernah menuturkan, awalnya warga enggan mengikuti Andre. Mereka pesimistis akan menemukan sumber air. Kalaupun ada, tentu harus menggali tanah yang sangat dalam.
Niat Andre, kata Johanis, sempat ditentang tokoh masyarakat setempat. Namun pria setengah baya ini tidak pernah menyerah. Dia terus meyakinkan warga dan mempelajari cara menggali lewat buku dan internet.
Kerja kerasnya membuahkan hasil, puluhan sumur dengan sistem pompanisasi menggunakan listrik bertenaga surya berhasil dibuat. 
Selain di Wura Wora, sumur yang sama juga dibuat di beberapa kampung lain.
Sementara itu Andre mengaku belum puas dengan apa yang sudah dilakukannya. 
Dia berkomitmen akan terus mengabdikan hidup dan kemampuannya untuk menggali sumur.
Meski dia diahadapkan masalah biaya karena harus memperpanjang visa, Andre mengaku ingin selamanya bisa berada di Indonesia dan mengabdikan kemampuannya untuk masyarakat
Melansir laman tempusdei.id, Andre Graff, bukanlah pengangguran di negaranya Prancis. 
Sebelum datang dan menetap di Lamboya, Sumba Barat, NTT dia adalah seorang pimpinan perusahaan bidang pariwisata. Dia juga adalah pilot dan sekaligus instruktur pilot balon panas.
 Hidupnya terbilang nyaman. Dia datang dan menetap di Sumba bukan untuk menjadi pengusaha, atau menjalankan beberapa bisnis keren lain, tapi untuk menjadi tukang gali sumur untuk masyarakat miskin. Wowo!
Dia memilih meninggalkan kenyamanan di negerinya dan rela hidup meranggas di alam yang keras bersama kaum jelata. Rupanya, pada suatu siang yang terik pada tahun 2004, dia melihat tiga orang perempuan setengah baya dengan ember berisi air sekitar 20 liter di atas kepala, berjalan mendaki jalan setapak menuju Kampung Waru Wora, Laboya, sekitar 30 km ke selatan kota Waikabubak, Kabupaten Sumba Barat, NTT.
Nafas mereka tersengal-sengal sebab jalan yang mereka lalui terjal dengan kemiringan sekitar 45 derajat dan berbatu lepas. 
Saat itu udara terasa panas. Keringat kembali mengucur membasahi badan setelah sebelumnya mandi di sebuah rawa. 
Jarak antara rawa dan kampung sekitar 3 km. Di rawa yang dihuni ikan karisa dan kodok itu, mereka mandi, mencuci pakaian lalu pada bagian rawa yang lain mereka mengisi ember mereka untuk dibawa pulang.
“Episode” kehidupan tersebut André Graff (59) saksikan dengan mata kepala sendiri dan membuat mata batin dan nuraninya “sangat terganggu”. Pria berbadan kurus itu berada di Sumba sebagai seorang turis untuk menikmati eksotika pulau yang terkenal dengan kuda Sandalwood, kampung-kampung tua dan megalitikumnya. 
André tak ubahnya turis-turis lain. Ia rajin keluar masuk kampung tua sambil menenteng kamera dan memotret setiap objek atau orang yang ia jumpai sambil meminta alamat mereka. Ia berjanji akan mengirimkan foto hasil jepretannya.
Dengan bahasa Indonesia seadanya, André berusaha menggali informasi seputar aktivitas ketiga ibu tersebut. Loru, salah satu dari antara mereka menjelaskan bahwa hampir tiap hari ia datang menimba air di tempat itu. Jika anaknya yang masih SD sempat, dialah yang menimba air sebelum berangkat ke sekolah.
Selain pengalaman dengan ketiga ibu tersebut, André sering bertemu dengan anak-anak kecil berkulit legam tanpa alas kaki berjalan jauh menimba air beberapa kali dalam sehari.
Sebelum André datang, masyarakat setempat belum pernah menggali sumur. Mereka juga tidak tahu bagaimana menemukan sumber air. Kampung mereka pun terletak di atas bukit sehingga kalau pun mereka menggali sumur, pasti sangat dalam dan belum tentu ada sumber airnya.
 Karena itu mereka tetap pergi ke mata air atau rawa meskipun jauh. Sekarang sumber air untuk kampung Waruwora dan sekitarnya sudah dekat rumah.
 Andre telah menemukan sumber air yang besar di legok tanah pada dataran rendah lalu menarik air hingga ke teras rumah masyarakat menggunakan tenaga matahari.
Ketika izin plesirnya di Sumba pada Juli 2004 habis, André kembali ke negerinya, Prancis. Di sana ia mencetak foto-foto tersebut. Ia telah mencetak 3.547 foto dan siap-siap mengirimkan.
 Ternyata, alamat yang Andre dapatkan sama sekali tidak lengkap sehingga bisa dipastikan, kalau ia tetap mengirim foto-foto menggunakan alamat yang ada, suratnya tidak akan sampai. Bagi André, janji adalah hutang. Ia lalu bertekad kembali ke Sumba untuk membawa foto-foto tersebut setahun kemudian.
Saat datang untuk kedua kalinya pada tahun 2005, André kembali bertemu dengan beberapa ibu di rawa yang sama seperti kisah di awal tulisan ini. 
Di banyak wilayah, kondisi yang hampir sama pun ia jumpai. Ia melihat begitu sulitnya kehidupan masyarakat. “Tapi anehnya mereka masih tersenyum dan terus berjuang. 
Keadaan ini benar-benar menantang dan menggoda saya. Saya lalu bilang, sudah cukup saya senang-senang di negara kaya,” ungkapnya tertawa kecil. Dari dasar hatinya timbul keinginan untuk melakukan sesuatu. 
Tanpa banyak berteori dan berdiskusi, ia memutuskan untuk menjadi penggali sumur bagi masyarakat meski dia sendiri tidak punya pengalaman melakukan pekerjaan tersebut.
Di perkampungan yang di legok atau lembah, dia mengajak masyarakat belajar menggali sumur, membuat buis beton. Untuk jasa orang-orang tersebut, André “menggaji” Rp30.000/hari/orang. 
Sejak 2005 hingga hari ini (24/8/20), André telah berhasil menggali 42 buah sumur bagi masyarakat dengan biaya dari kantong pribadi dan bantuan beberapa temannya. 
Kalau dirata-rata, setiap sumur menghabiskan biaya Rp12-15 juta,- Kedalaman sumur bervariasi antara 4 sampai 23 meter.