Kapal Selam Canggih Indonesia Bikin Rakyat Thailand Ribut, Kok Bisa?



Kapal Selam Canggih Indonesia Bikin Rakyat Thailand Ribut, Kok Bisa?

IMPIANNEES.COM (Indonesia)

Indonesia sukses membangun satu dari tiga kapal selam di dalam negeri, melalui kerja sama dengan Korea Selatan dengan PT PAL Indonesia. 

Indonesia satu-satunya negara di ASEAN yang mampu membangun kapal selam sendiri, sehingga bikin geger kawasan.

Negara tetangga juga sedang sibuk melakukan pengadaan kapal selam, termasuk Thailand.

 Sayangnya, di Thailand pengadaan kapal selam impor dari China menuai polemik rakyatnya.

Perdana Menteri Thailand Prayuth Chan-ocha menunda pembelian dua kapal selam militer buatan China selama setahun akibat mendapat reaksi keras dari publik.

 Keputusan membeli kapal selam dianggap kontroversial oleh masyarakat di tengah pandemi covid-19.

Pada Senin (31/8/2020), Angkatan Laut Kerajaan Thailand meminta komite anggaran parlemen untuk memotong pendanaan pengadaan dua kapal selam menjadi nol untuk tahun fiskal saat ini.

Di hari yang sama, Juru bicara pemerintah Anucha Burapachaisri mengatakan Prayuth, yang merangkap sebagai menteri pertahanan, telah mengatakan kepada angkatan laut untuk menunda kesepakatan tersebut hingga tahun fiskal 2022. 

Anucha mengatakan Thailand akan memulai negosiasi dengan China mengenai rincian penundaan tersebut.

Keputusan tersebut menandai kemunduran pemerintahan Prayuth di tengah gelombang protes para pemuda Thailand yang mencari reformasi politik dan perlindungan yang lebih besar untuk kebebasan sipil.

Dua kapal selam S26T kelas Yuan buatan China seharga 22,5 miliar baht (US$ 720 juta/@360 juta) untuk pengadaan selama tujuh tahun. 

Pemerintah berusaha mengalokasikan lebih dari 3 miliar baht sebagai pembayaran awal dalam anggaran 2021, tetapi langkah tersebut mendapat reaksi keras dari publik.

Publik mengkritik Prayuth yang malah mengucurkan dana untuk membeli kapal selam, dibandingkan menggunakannya untuk mendukung ekonomi negara yang sedang merosot kala pandemi.

Kapal selam ini merupakan pembelian untuk armada kedua dan ketiga dari tiga kapal selam yang dijanjikan Prayuth kepada Angkatan Laut Kerajaan Thailand dan China saat dia menjadi pemimpin junta yang menggulingkan pemerintah Thailand pada tahun 2014.

Menurut Angkatan Laut, anggaran untuk kapal selam pertama sudah disetujui pada tahun 2017. Saat ini sedang diproduksi oleh China untuk pengiriman pada 2024, sedangkan kapal selam kedua dan ketiga mendapat protes rakyat Thailand.

Di sisi lain, rapat sub komite anggaran majelis rendah pada 22 Agustus lalu tak mencapai kesimpulan bulat. 

Pemungutan suara dari ketua, seorang anggota dari Partai Palang Pracharat yang berkuasa, memungkinkan kesepakatan dengan anggaran penuh.

Yutthapong Jarassathian, wakil ketua sub-komite dari oposisi Partai Pheu Thai, termasuk di antara empat anggota yang menentang keputusan pembelian kapal selam itu.

Menurutnya, dalam sebuah nota kesepahaman yang dipertukarkan pada pesanan kapal selam pertama antara Prayuth dan Menteri Pertahanan China saat itu, Chang Wanquan, tidak menyatakan bahwa Thailand berkewajiban untuk membeli dua kapal selam tambahan.

"Perdana menteri harus memilih antara kapal selam dan kelangsungan ekonomi rakyat," katanya Yutthapong, sebagaimana dikutip dari Nikkei Asian Review.
Keputusan sub komite menuai kritik daring yang memunculkan tagar #PeopleSayNoToSubs di Twitter Thailand.

Namun Kepala staf Angkatan Laut Kerajaan Thailand Sittiporn Maskasem mengatakan angkatan laut membutuhkan lebih banyak kapal selam sebagai bagian dari strategi pertahanannya. 

Dia mendesak masyarakat untuk tidak mempolitisasi kesepakatan itu.

Ekonomi Thailand sendiri kini sedang terpuruk. Pandemi Covid-19 telah memberikan pukulan telak bagi ekonomi terbesar kedua di Asia Tenggara itu. Produk domestik bruto menyusut 12,2% pada tahun di kuartal kedua. Itu merupakan kontraksi terbesar sejak 1998 ketika Thailand bergelut dalam krisis keuangan Asia.

Kantor Dewan Pembangunan Ekonomi dan Sosial Nasional memperkirakan kontraksi 7,3% menjadi 7,8% untuk tahun 2020, yang bisa menjadi kemerosotan terburuk dalam sejarah Thailand. Ekonomi kerajaan menyusut 7,6% pada tahun 1998.

Pariwisata, yang menyumbang sekitar 20% ekonomi, adalah industri yang paling terpukul. Ekspor, termasuk pengeluaran wisatawan, turun 28,3%.
Pemerintah telah menyetujui paket stimulus pariwisata domestik bernama "We Travel Together" yang diharapkan dapat menghasilkan 2 juta perjalanan domestik dari Juli hingga Oktober, membantu menghasilkan pendapatan untuk berbagai bisnis seperti hotel, restoran, maskapai penerbangan, dan agen perjalanan.

Setidaknya Pemerintah Thailand telah menyisihkan anggaran sebesar 22,4 miliar baht untuk paket tersebut, yang total dananya hampir sama dengan pembelian dua kapal selam China. (CNBC)