Kondisi Semakin Panas AS dengan China, Mungkin Perang Dunia ke III akan Terjadi..?


Kondisi Semakin Panas AS dengan China, Mungkin Perang Dunia ke III akan Terjadi..?

AFP/Rawad MADANAT

PENINGKATAN eskalasi di Laut China Selatan (LCS) terjadi akibat saling bereaksi antara militer Tiongkok dan Amerika Serikat (AS) dalam beberapa pekan terakhir, termasuk dengan militer Taiwan dan Jepang.

Masalah di LCS muncul saat Tiongkok mengklaim sekitar 80% wilayah perairan itu sebagai bagian dari negaranya melalui konsep sembilan titik imajiner atau nine dash line. 

Meski sudah resmi kalah di pengadilan arbitrase internasional pada 2016, Beijing hingga kini masih tidak mengakui putusan tersebut.

Hal itu membuat ketegangan kerap terjadi antara Tiongkok dan sejumlah negara di ASEAN. Di samping bermasalah dengan Malaysia, Vietnam, Brunei, dan Filipina, Beijing juga secara sepihak mengklaim Laut Natuna sebagai wilayah penangkapan ikan tradisional mereka.

Peristiwa terbaru ialah saat Tiongkok meluncurkan dua rudal jarak menengah ke Laut China Selatan pada Rabu (26/8) pagi, sumber yang dekat dengan militer Tiongkok mengatakan sebagai peringatan untuk Amerika Serikat (AS).

Peluncuran rudal itu selang satu hari setelah Tiongkok menyebutkan sebuah pesawat mata-mata U-2 AS memasuki zona larangan terbang tanpa izin selama latihan Angkatan Laut China di lepas pantai utara Laut Bohai. Salah satu rudal DF-26B meluncur dari Provinsi Qinghai, bagian barat Laut China.

Sementara itu, satu lagi, DF-21D, lepas landas dari Provinsi Zhejiang di Tiongkok Timur. Keduanya ditembakkan ke daerah tenggara Provinsi Hainan dan Kepulauan Paracel menurut South China Morning Post yang dekat dengan militer Tiongkok.

Area pendaratan kedua rudal tersebut berada dalam zona yang menurut otoritas keamanan maritim Hainan pada Jumat (21/8) terlarang karena latihan militer yang berlangsung dari Senin (24/8) hingga Sabtu (29/8).

Rudal balistik antikapal DF-26 memiliki jangkauan 4.000 km dan dapat digunakan dalam serangan nuklir atau konvensional terhadap target darat dan laut.

Sebelumnya, awal Agustus lalu, Pasukan Roket Tentara Pembebasan Rakyat China (PLA) juga meluncurkan DF-26. Mampu menyerang target bergerak di laut, DF-26 mendapat julukan ‘Pembunuh Kapal Induk’.

 Peluncuran rudal tersebut setelah Amerika Serikat (AS) mengirim dua kapal induk ke Laut China Selatan dan mengadakan latihan militer bersama dengan India, Jepang, dan Australia di Samudra Hindia dan Laut Filipina.

Dengan daya jelajah DF-21 lebih pendek, sekitar 1.800 km, media pemerintah Tiongkok menggambarkan yang paling canggih dalam seri tersebut, DF-21D, sebagai rudal balistik antikapal pertama di dunia. 

“Ini merupakan tanggapan Tiongkok atas potensi risiko yang dibawa pesawat tempur dan kapal perang militer AS yang semakin sering masuk ke Laut China Selatan,” menurut sumber. 

“Tiongkok tidak ingin negara tetangganya salah paham dengan tujuan Beijing.”

Bahayakan perdamaian

Departemen Pertahanan Amerika Serikat, Kamis (27/8), mengatakan uji coba peluncuran rudal balistik Tiongkok di Laut China Selatan merupakan ancaman bagi perdamaian dan keamanan di wilayah tersebut.

Mengonfirmasi laporan bahwa Tiongkok telah meluncurkan sebanyak empat rudal balistik selama latihan militer di sekitar kepulauan Paracel, Pentagon mengatakan langkah tersebut mempertanyakan komitmen negara pada 2002 untuk menghindari kegiatan provokatif di laut yang disengketakan.

“Melakukan latihan militer atas wilayah sengketa di Laut China Selatan kontraproduktif untuk meredakan ketegangan dan menjaga stabilitas,” kata Pentagon dalam sebuah pernyataan. 

“Tindakan RRT, termasuk uji coba rudal, semakin mengguncang situasi di Laut China Selatan.” “Latihan semacam itu juga melanggar komitmen RRT di bawah Deklarasi 2002 tentang Perilaku Para Pihak di Laut China Selatan untuk menghindari kegiatan yang akan memperumit atau meningkatkan perselisihan dan memengaruhi perdamaian dan stabilitas,” tambah pernyataan Pentagon.

Selama dekade terakhir, Tiongkok telah membangun instalasi militer di beberapa terumbu dan singkapan yang disengketakan di Laut China Selatan untuk menegaskan klaimnya atas sebagian besar wilayah tersebut.

 Vietnam, Filipina, Malaysia, Taiwan, dan Indonesia juga memiliki klaim maritim atas laut tersebut.

Pakar dan pengajar Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran Teuku Rezasyah menyatakan perilaku Tiongkok tersebut bertentangan dengan hukum internasional yang mengedepankan terpeliharanya hubungan baik antarbangsa secara damai.

Ia memandang tuntutan Tiongkok mengancam negara-negara di Asia Pasifik secara fisik dan psikologis, terutama sekali terhadap negara-negara di Tenggara dan Asia Timur. 

Pasalnya, mereka secara langsung menyaksikan daya ledak dan daya hancur dari kekuatan militer Tiongkok, baik konvensional maupun nuklir.

“Kekhawatiran atas Tiongkok meningkat seiring ancaman balasan dari Tiongkok atas negara mana pun yang dianggapnya menentang ambisi teritorialnya di Laut China Selatan,” ujar Rezasyah kepada Media Indonesia, beberapa waktu lalu.

Etika perilaku

Hingga kini, pembahasan kode etik berperilaku atau Code of Conduct (CoC) di Laut China Selatan--kunci membangun perdamaian di kawasan itu belum berujung
pada kesepakatan. Rezasyah menggarisbawahi dokumen itu sulit sekali dibuat karena Tiongkok menolak berdialog dengan 10 negara ASEAN, tetapi ingin berdialog secara
bilateral saja. 

Beijing senantiasa mengaitkan draf yang dirancang ASEAN dalam kerangka pelibatan Amerika Serikat dan para sekutu Barat untuk di masa depan mengurung Tiongkok. “Jika CoC berhasil dibuat, dapat menjadikan kawasan LCS sebagai wilayah yang damai, aman, dan netral,” ujarnya. ***