7 Fakta Polri Jadi Organisasi Mengerikan Versi IPW, Termasuk Jumlah Jenderal


IMPIANNEWS.COM (Jakarta)

Hari Bhayangkara tahun 2020 ini ternyata dikritisi Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane. Menurut dia, di usianya ke-74, IPW melihat Polri sebagai organisasi penegak hukum yang makin mengerikan.

Neta pun membeberkan 7 fakta terkait penilaiannya tersebut. Pertama, dibandingkan dengan era Orde Baru di era reformasi saat ini anggaran Korps Bhayangkara tersebut naik 2000 persen lebih.

 "Polri merasa kekurangan anggaran. Namun, seberapa besar anggaran ideal yang dibutuhkan, tidak satu pun elite Polri yang bisa menjelaskan. 

Artinya Polri tidak tahu persis berapa sesungguhnya anggaran idealnya," kata Neta dalam keterangan persnya di Jakarta, Kamis 2 Juni 2020.

Kedua, kata Neta, organisasi Polri saat ini makin 'obesitas' dan menjadi raksasa yang sulit bergerak, sehingga makin sulit melayani masyarakat. 

Sebagai contoh jumlah Jenderal, Kombes, dan AKBP makin membeludak. Akibatnya, limpahan jenderal Polri mengalir kemana mana, termasuk ke wilayah sipil dan menjadi gangguan bagi karir pejabat ASN.

Ketiga, kata Neta, elit Polri makin doyan menambah jumlah jenderal, sehingga jenderal polisi ada dimana-mana, dikutip dari. REQnews.  Ia pun membandingkan pada masa orde baru, di daerah sangat sulit menemukan jenderal polisi.

"Kini di setiap daerah sedikitnya ada tiga atau empat jenderal polisi, mulai dari Kapolda, Wakapolda, Kepala BNN Daerah, dan Kabinda," katanya.

Jika di era Orba total jumlah jenderal polisi hanya 65 orang, kata Neta, saat ini jumlah jenderal polisi hampir 300 orang. Kondisi ini mengakibatkan anggaran Polri banyak tersedot untuk membiayai para jenderal. 

"Sesungguhnya keberadaan jenderal polisi yang membludak itu tidak ada manfaatnya buat masyarakat," kata Neta.

Keempat, tambah Neta, semua Polda dijadikan Tipe A. Strategi Polri dalam hal ini makin tidak jelas dan tidak promoter. "Bayangkan, Polda Bengkulu disamakan dengan Polda Metro Jaya.

 Sama sama Tipe A. Artinya, tolok ukur Polri makin ngaco dalam menjalankan tugas profesionalnya," kata Neta.

Akibatnya, tambah dia, tidak ada proses magang dan belajar yang signifikan bagi perwira Polri dalam menjadi seorang Kapolda.

 Sehingga perwira yang tidak pernah menjadi wakapolda atau tidak pernah menjadi Kapolda di daerah kecil, tiba tiba bisa saja menjadi Kapolda di Jawa.

"Gengsi Kapolda Metro Jaya pun punah karena posisinya sama dengan Kapolda Bengkulu," kata Neta.

Jadi kata dia jangan heran, jika nanti Kapolda Bengkulu tiba tiba bisa menjadi Wakapolri atau Kapolri karena tidak jelasnya sistem karir di Polri. 

Kelima, menurut Neta, sejak reformasi anggaran yang dikeluarkan Polri untuk membangun sistem Alkom Jarkomnya sudah ratusan triliun.

"Tapi belum pernah ada audit menyeluruh yang komperhensif terhadap sistem Alkom Jarkom Polri, sehingga sistem Alkom Jarkom Polri tambal sulam dan selalu bermasalah," katanya.

Ratusan triliun anggaran kepolisian untuk membangun sistem Alkom Jarkom yang representatif tidak pernah terjadi sejak awal reformasi. "Anggaran itu seperti membuang garam ke laut, yakni sia sia," ujarnya.

Keenam, kata Neta, audit konperhensif yang transparan tidak pernah dilakukan Polri terhadap sarana, prasarana maupun persenjataan atau alutsistanya.

 Ratusan triliun rupiah uang negara untuk pengadaan semua itu, sejak awal reformasi, hanya berujung pada sistem tambal sulam.

"Tidak ada grand desain yang menjadi landasan untuk mengukur sudah sampai tahap mana sarana, prasarana, dan alutsista yang dicapai Polri dan saat ini posisinya dimana, dan pada periode kapan semua itu mencapai titik ideal," katanya.

Yang terakhir atau ketujuh, Polri tidak pernah melakukan audit komperhensif terhadap organisasinya, sehingga tidak seorang pun di Polri yang tahu persis seperti apa organisasi dan jumlah personil ideal di kepolisian.

"Tolak ukur yang dipakai hanya rasio PBB yang sudah ditinggalkan negara-negara demokratis. Sebab di banyak negara, kepolisiannya sudah mengarah ke era 4.0 dimana keberadaan polisi manusia sudah digantikan dengan teknologi," kata dia.

Sementara Polri masih sibuk dengan penambahan jenderal di sana-sini dan mendorong jenderal jenderalnya masuk ke wilayah karir pejabat sipil. "Setiap Kapolri selalu berubah pola struktur dan organisasi kepolisian yang diterapkannya," ujarnya.

Dari ketujuh point' di atas kata Neta, IPW menilai Kapolri Idham Azis gagal membawa Polri ke wilayah promoter yang sesungguhnya. 

"Promoter harusnya menuntut Polri yang efisien, efektif dan lincah dalam menjalankan fungsinya.

Yang terjadi saat itu organisasi Polri menjadi obesitas dan menakutkan serta terjebak pada banyaknya Kombes dan AKBP yang 'nganggur'," katanya. Sementara di lapangan kata dia masyarakat merasa keberadaan polisi sangat kurang.

"Strategi Idham Azis menjadikan semua Polda menjadi tipe A adalah sebuah kesalahan fatal yang membuat sistem pembinaan perwira untuk memegang wilayah menjadi absurd," ujarnya.

Neta menilai, keberadaan organisasi Polri yang makin obesitas ini harus dicegah. Polri harus berani tampil ramping secara organisasi agar lincah, efisien, dan efektif.

Sehingga langkah yang perlu segera dilakukan Polri adalah moratorium penerimaan Akpol hingga tiga tahun ke depan. Perbanyak rekrut SPN, tawarkan pensiun dini kepada pamen ke atas.

Buat roadmap organisasi, Alkom Jarkom, alutsista dan sarana prasarana agar diketahui secara persis sudah di titik mana capaian Polri saat ini. Berantas mafia proyek dengan mengedepankan propam, Irwasum dan bantuan KPK sebagai pengawas.

"Lalu Polri segera memasuki era kepolisian modern yang promoter dengan 4.0," katanya. ***

Post a Comment

0 Comments