Oleh : Yulfian Azrial |
SETIAP kali proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia diperingati, hampir setiap itu pula ada pertanyaan yang mengusik. Bahkan mengganjal dan terus berdentang-dentang jauh ke lubuk jiwa. Apakah bangsa ini benar-benar telah merdeka?
Para faunding father republik ini (terutama ummat Islam) memang telah berjuang melawan Bangsa Penjahat dan atau Bangsa penjarah, yang memaksakan syahwatnya untuk menjajah ; memperkosa Ibu Pertiwi. Mereka telah mengorbankan harta, nyawa dan segalanya untuk membela kehormatan dan merebut kembali kedaulatan. Hingga mereka berhasil mengantarkan bangsa ini ke depan pintu gerbang kemerdekaan. Seperti tertulis dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
“Jangan-jangan saat ini, di bulan Agustus tahun ini, kita baru memasuki pintu gerbang kemerdekaan yang ke ‘sekiannya’. Atau, kita malah masih terjebak berjubel di depan pintu gerbangnya. Karena, dalam keseharian, yang kita rasakan adalah suasana yang sesak, saling sikut, saling sikat!” ujar suara yang entah dari mana.
Buktinya, negara ini kian sering menggelar parade antrian dan kemiskinan. Mulai dari antrian BBM, sembako, dll. Bahkan unjuk kemiskinan dan kebodohan berlangsung di mana-mana. Buktinya, vonis kelangkaan justru dinyatakan untuk komoditi yang justru melimpah ruah di bumi yang gemah ripah ini.
Kemerdekaan sepertinya sangat misterius. Sehingga perjalanan bangsa ini terjebak ke dalam semacam labirin. Bagai dalam maze games yang. tiba-tiba muncul....
EMPAT PARAMETER LOKAL
Kemerdekaan seharusnya tidak perlu menjadi begitu mesteriusnya. Karena pemaham-an tentang kemerdekaan telah sejak lama dirumuskan oleh nenek moyang kita. Setidaknya dapat disimak dari pemahaman kemerdekaan warisan nenek moyangnya Bangsa Mulayu (baca Minangkabau-pen).
Tak kurang ada empat rumusan parameter dasar, yang telah diwariskan nenek moyang kita tersebut. Parameter yang bisa menjadi tolok ukur dalam mengevaluasi ; sejauh manakah kita telah merdeka?
Pertama, Mardeko Ati (merdeka hati/jiwa).
Maksudnya adalah, perorangan, kaum, kampuang, suku, nagari dan bangsa baru bisa dikatakan merdeka jika telah lepas dari hutang piutang. Sentosa dari hina dan malu. Manusia baik selendang dunia. Suka kunjung-mengunjungi. Dalam bahasa adatnya, bahwa setengah dari kekayaannya sangat lahir tersembunyi (tidak untuk dipamer-pamerkan), dan sangat batin kelihatan (kekayaan batinlah yang tampak menonjol). Lalu, baik domisilinya di tepi air penghidupan. Karena suka bersedekah rezekinya jadi berlimpah.
Kedua, Mardeko Tubuah (merdeka tubuh).
Yaitu jika anak bangsa ini telah memiliki tubuh yang sehat dan badan yang sentosa (memiliki sistem manajemen, politik atau tata negara yang mampu memberikan keamanan dan kenyamanan yang merata). Jadi, Ada jaminan bagi kesehatan fisik seluruh anak bangsa.
Termasuk dalam hal ini memiliki kelengkapan sarana dan pra sarana fisik. Yaitu keleng¬kapan yang bukan hanya menjadi milik pribadi atau golongan tertentu. Tetapi telah menjadi harta pusaka (milik bersama) yang dapat diwariskan secara turun-temurun, serta dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi anggota kaum, anak nagari atau seluruh anak bangsa.
Ketiga, Mardeko Tampek (Merdeka Tempat)
Yaitu jika telah memiliki rumah (tempat bermukim) yang layak dan sarana penunjang yang lengkap untuk setiap warga. Selain itu memiliki sistem sosial dan sistem perekonomian yang sehat. Lingkungan yang kondusif secara lahir maupun secara batin. Dilengkapi pula dengan sarana dan cadangan kebutuhan sesuai peruntukan yang dapat dimanfaatkan sewaktu-waktu diperlukan. Misalnya, memiliki lumbuang (tabungan) sebagai cadangan pribadi dan rangkiang sebagai cadangan sosial/ bersama. telah didukung pula oleh sistem dan sarana perekonomian yang tangguh.
Keempat, Mardeko Alam (Merdeka Alam).
Perorangan, kaum, suku, nagari dan bangsa baru bisa dikatakan merdeka alam apabila telah mampu dan sukses mem¬bina pergaulan di tengah masyarakatnya. Yang terpenting dalam halini, tentu saja bukan sekadar swasembada. Namun mampu berdaulat dalam segala bidang, tanpa ketergantungan pada pihak manapun.
Mardeko Alam baru akan lengkap bila telah ada sako nan tarungguah. Maksudnya memiliki tatanan manajemen kemasyarakatan yang telah teruji, dan terlepas dari intrik kepentingan murahan. Bukan sistem kemasyarakatan yang hanya memuluskan syahwat kelompok, pribadi atau golongan tertentu saja. Tetapi memiliki suatu struktur dan sistem kemasyarakatan yang tangguh , berkelanjutan dan akomodatif bagi tercapainya visi bersama.
Adapun visi bersama, rumusan nenek moyang kita di Minangkabau adalah : Bumi sanang padi manjadi, taranak bakambang biak, masyarakat aman santoso. Pakan sasak musajik rami, saayun adat ju ugamo, sadundun dunia jo akhiraik.
Maksudnya, dalam menjalani kehidupan bumi harus selamat (jangan dirusak) agar tidak menim¬bulkan bencana. Setiap usaha yang dilakukan berkembang dan masyarakat aman dan sentosa (tidak dikorbankan). Pasar sesak,mesjid ramai, seayun adat dan agama, sejalan aktifitas untuk kepentingan dunia dengan untuk kepentingan akhirat. (ul)
#noteya2008_2018_2019_kubutapakrajo