Ramadhan Mengajarkan Kita Lebih Santun Dalam Perbedaan

Bersama Sesepuh Thariqat Naqsabandiyah Khalidiyah, Abuya Syaikh Haji Khatik Ilyas, di Surau Irsyadul 'Ibad Sawah Panjang, Titian Dalam Suliki. Beliau berumur 96 tahun, murid langsung dari Maulana Syaikh Sulaiman Arrasuli Canduang. 
IMPIANNEWS.COM
Eddi Rusydi Arrasyidi -- Perbedaan bukan hanya milik ummat Islam. Perbedaan adalah takdir yang ditetapkan untuk seluruh ummat manusia. Bahkan sejak perbedaan antara Qabil dan Habil berujung dengan konflik, dan konflik itu berujung dengan pembunuhan. Perbedaan dan konflik tampaknya telah menyatu, dan kekerasan menjadi mazhab anak cucu Adam dalam menyelesaikan konflik.

Dalam sejarah umat Islam, perbedaan-perbedaan itu umumnya terjadi dalam tiga aspek: aqidah, fiqh, serta pandangan politik dan pemerintahan. Sebagian dari perbedaan itu berujung dengan konflik, dan sebagian dari konflik itu berujung juga dengan peperangan. Perbedaan ini bersifat laten dalam tubuh ummat kita, tapi cara menyelesaikan perbedaan-perbedaan itu selalu berbeda sepanjang sejarah.

Secara historis, perbedaan-perbedaan dalam pandangan-pandangan aqidah telah melahirkan berbagai mazhab. Ada Ahlus-Sunnah wal Jama’ah yang terbesar, ada Syi’ah dengan berbagai alirannyq, ada aliran Mu’tazilah yang juga punya pendukung di negeri kita, ada Khawarij, dan lain sebagainya. Sementara itu, perbedaan dalam pandangan-pandangan hukum atau fiqh, juga melahirkan berbagai mazhab. Ada mazhab Hanafi, ada mazhab Maliki, ada mazhab Syafi’i, dan ada mazhab Hambali.

Apabila perbedaan merupakan suatu keniscayaan, maka adalah sia-sia untuk bekerja menghilangkan perbedaan-perbedaan tersebut. Yang harus diusung adalah kematangan bersikap dalam kemajemukan itu.

Lihatlah bagaimana kematangan sikap yang dilandasi tradisi ilmu di kalangan para pendiri mazhab. Imam Syafi’i misalnya, suatu saat ikut melakukan shalat subuh di masjid Abu Hanifah di Kufah. Tidak seperti mazhab beliau yang mengharuskan qunut waktu subuh, saat itu beliau malah tidak qunut mengikuti mazhab Abu Hanifah. Ketika hal itu ditanyakan kepada beliau, beliau hanya mengatakan, “Karena aku ingin menghargai laki-laki yang membangun masjid ini.”

Di lain kesempatan kita menemukan kisah yang juga unik. Imam Syafi’i adalah penemu Ushul Fiqh. Sementara itu, dikatakan bahwa Imam Ahmad tidak pernah mengetahui tentang al-‘am wal khaash, al-mujmal wal mufashshal, dan lainnya, sampai Imam Syafi’i menulis buku Al-Risalah dalam Ushul Fiqh. Tapi, suatu saat, Imam Syafi’i pernah (berkata) kepada Imam Ahmad: “Kamu lebih mengetahui tentang hadits Rasulullah Saw daripada diriku, maka nanti jika kamu menemukan satu hadits Rasulullah yang shahih, dan bertentangan dengan mazhabku, maka tinggalkanlah mazhabku dan ikutilah hadits Rasulullah Saw, sebab itulah mazhabku.”

Di tangan ulama-ulama besar yang ikhlas dan memiliki kedalaman ilmu seperti itulah kita menyaksikan bagaimana perbedaan pendapat dalam fiqh telah menjadi sumber kekayaan ilmiah kita. Tapi fanatisme mazhab mulai tumbuh setelah ulama-ulama besar itu wafat, dan bermunculanlah ulama-ulama kecil, yang hanya bisa bertaqlid dan tidak bisa berijtihad, yang hanya memiliki ilmu ala kadarnya tapi bersikap seperti seorang ulama besar. Suatu saat dalam sejarah Islam, fanatisme mazhab itu bahkan sampai pada tingkat mengharamkan pernikahan antar-mazhab.

Dan inilah musibah kita saat ini, mimbar-mimbar fatwa dikuasai oleh ulama-ulama kecil, yang oleh Syekh Muhammad al-Ghazali dilukiskan seperti ini: “Ia berangkat meninggalkan rumahnya pada hari Jumat, dan mulai belajar pada hari Sabtu, lalu kembali lagi ke rumahnya pada Ahad, tapi mulai berfatwa pada hari Senin pagi.”

Di tangan mereka masalah kecil menjadi sebab percekcokan selama puluhan tahun, orang-orang Islam yang sama-sama berpuasa di bulan Ramadhan, sama-sama bersyahadat, sama-sama sholat atau bahkan bertemu di depan Ka’bah, justru saling mengkafirkan satu sama lainnya.

Mari kita satukan shaf melalui momentum Ramadhan. Perbedaan pendapat dalam aqidah dan fiqih janganlah dijadikan ajang untuk saling menyalahkan. Karena mereka yg telah memegang prinsip dengan amalan-amalan mereka, barangkali telah mendapatkan dari ulama-ulama yg telah belajar jauh lebih dulu dari kita serta ikhlas dalam mengajarkan ilmunya. Terlebih kepada kita, orang-orang yang didahulukan selangkah, ditinggikan seranting untuk menyampaikan untaian nasehat, ilmu dan hikmah di tengah masyarakat.

Wallahu A'lam...