Catatan Mahyeldi, "Masa lalu itu telah membentuk karakter saya saat ini"

Udara pagi di Bukittinggi benar-benar menusuk tulang. Kabut setipis sutra melayang-layang seolah menghalau semburat mentari yang ingin menyentuh Jam Gadang. 

Tak jauh dari sana, di sebuah pendakian, tampak seorang ayah dan putranya, tertatih-tatih mendorong gerobak tua yang sarat muatan.

Mereka berbagi tugas; Sang Ayah, Mardanis, menjaga agar gerobak tak oleng, sedangkan sang anak menjaga agar isinya tak tumpah berserak ke jalan. 

Dengan hati-hati, mereka menerobos keramaian di Pasar Bawah Bukittinggi. Berulang kali si anak yang duduk di kelas 3 SD itu bersorak, “Oo..Kanai….Agiah jalan kami Pak.” Suaranya melengking, memecah pagi.

Orang-orang terkesiap, seketika membuka jalan seraya memandang lekat-lekat pada anak kecil itu. Entah apa yang ada dalam benak mereka. Mungkin iba sebab anak sekecil itu telah mencicipi kerasnya dunia, atau mungkin tak peduli, tenggelam dalam keperluannya masing-masing. 

Tapi yang jelas, di pagi buta itu, tidak ada seorang pun yang menyangka, 39 tahun kemudian, si bocah telah berubah menjadi seorang lelaki sederhana yang berhasil memenangkan Pilkada di Ibukota Sumatera Barat. Ya, anak kecil itu bernama Mahyeldi, Walikota Padang periode 2014-2019.

Mengurai kembali lembaran kanak-kanaknya, tak ada raut kesedihan dalam paras Mahyeldi. Justru dengan paras berseri beliau mengungkapkan rasa syukur, 

“Masa lalu itulah yang telah membentuk karakter saya saat ini,” ujarnya sembari tersenyum, “tiap kejadian selalu ada hikmah yang harus dipetik. Bila dahulu tak begitu, mungkin sekarang lain cerita.”

Ditemui disela-sela kesibukannya jelang pelantikan sebagai Walikota Padang, pria bersahaja kelahiran Bukittinggi, 25 Desember 1966 ini lebih jauh menuturkan, bahwa sebagai anak sulung dari tujuh bersaudara, dirinya menjadi tumpuan keluarga semenjak kecil. 

Namun demikian, Mahyeldi tak lantas tertinggal dalam hal pelajaran sekolah. Seusai membantu sang ayah, ia bergegas pulang untuk bersiap ke sekolah.

 Ia tak pernah sekalipun terlambat tiba sekolah, bahkan sering memegang juara kelas.

Ketika Mahyeldi kelas 5 SD, Mardanis memutuskan membawa keluarganya pergi ke tanah rantau. Mengadu untung perasaian. Negeri Dumai jadi pilihan. 

Selama berada di Dumai, tanggung jawab Mahyeldi semakin besar. Waktu seperti tak bersisa, habis untuk belajar dan bekerja. Usai sholat subuh berjamaah, Mahyeldi berjualan ikan. Ada nelayan asal Pariaman yang akrab dengannya. Mahyeldi kerap diberinya potongan harga.

“Ajo itu memberi diskon karena saya juga kerap membantunya, membawakan keranjang ikan turun dari kapal. Ikan yang saya dapat dari Ajo, saya jual ke pasar,” kenang Mahyeldi. 

Kebetulan, jam pelajaran sekolah Mahyeldi dimulai ba’da Zuhur, sehingga selepas berjualan ikan, ia bisa kembali berjualan. Kali ini jadi loper koran. Ia direkrut seorang pemuda asal Aceh, pemilik kios buku dan koran terkemuka di Dumai. 

Yang membahagiakan hati Mahyeldi, dengan berjualan koran, saban hari ia juga bisa membaca informasi yang disajikan dalam koran. 

Apalagi, tatkala korannya habis, Mahyeldi akan berlari kencang kembali ke toko bosnya, hanya untuk menghabiskan waktu jelang jam sekolah siang tiba, melahap buku-buku dan majalah  terbaru. Gratis.

Alhasil, pengetahuan umum Mahyeldi di atas rata-rata murid di sekolahnya. 

Bahkan guru-guru di kelas yang enggan membeli koran cukup menanyakan berita aktual pada Mahyeldi. Dengan riang, anak kurus bertubuh jangkung itu berciloteh, menceritakan isi koran yang lekat di kepalanya. 

Sang guru menanggapi dengan mengangguk-angguk. Kagum.

Sebenarnya, Mahyeldi gemar membaca buku apa saja. Kebutuhannya akan buku, sama seperti kebutuhannya akan makanan. 

Ia selalu merasa ada yang kurang, bila sehari tak bersua buku. Namun demikian, Mahyeldi menaruh minat lebih besar pada buku-buku Islam. 

Hatinya selalu terenyuh tatkala membaca kisah-kisah perjuangan Rasullullah SAW dalam menegakkan syariat Islam ketika bangsa Arab masih berada dalam kegelapan, zaman zahiliyah. 

Oleh sebab itu, ketika gurunya memberikan tugas essay tentang tokoh idola, maka Mahyeldi langsung menulis kisah Nabi Muhammad SAW. 

Tak hanya pembaca buku, Mahyeldi rupanya juga memiliki hobi sebagai kolektor buku. 

“Sampai sekarang, buku-buku saya terawat baik, jumlahnya mencapai lima ribuan. Saya sampul, saya buat nyaman, rumah jadi seperti perpustakaan,” terang Mahyeldi bersemangat.  

Sepulang sekolah, tak seperti anak-anak seusianya, yang memilih bermain, Mahyeldi justru dengan sukacita menjajakan kue buatan ibu berkeliling kampung. Penganan tradisional yang memenuhi tampi beras yang dijunjung Mahyeldi di atas ubun-ubun acap terjual habis. 

Dari hasil jerih payahnya itulah, Mahyeldi sedikit demi sedikit menyisihkan uang. Ia tabung di celengan kaleng buatannya sendiri.  

Masyarakat Dumai di tahun 1970-an terdiri dari beragam etnis. Ada Arab, India, Tionghoa, Aceh, Batak, Minang, Jawa dan ada juga orang Malaysia. Sangat heterogen. 

Kegiatan utama mereka adalah berdagang. Dan pria yang gemar sepak bola ini banyak belajar dan bergaul dari mereka. 

Hal itu pula yang menyebabkan Mahyeldi menjadi cepat dewasa. Terutama dalam hal tindak-tanduk dan pemikiran.

Ketika duduk di bangku SMP, Mahyeldi mulai menekuni berbagai kegiatan keagamaan. 

Ia kerap terpilih sebagai ketua panitia penyelenggaraan hari besar Islam, baik di sekolah maupun di lingkungan tempat tinggalnya. 

Mahyeldi juga membentuk kelompok-kelompok diskusi agama yang ia adakan di masjid tak jauh dari rumahnya. 

Namun sayang, di tengah bergeloranya semangat Mahyeldi tersebut, ia harus berpisah dengan teman-temannya. 

Orang tuanya telah memutuskan, mereka kembali ke kampung halaman. Gadut- Bukittinggi.  

Berpisah dengan teman-teman sepergaulan sangatlah berat bagi siapa saja. Begitu juga Mahyeldi. 

Tapi ia meyakinkan diri, bahwa Allah SWT memiliki rencana yang lebih baik bagi dirinya dan keluarganya. Benar saja, tak berlangsung lama, Mahyeldi dengan cepat membaur dengan lingkungan dan teman-teman barunya. 

Mengawali sekolah di SMA 1 Bukittinggi, Mahyeldi dipercaya teman-temannya menjabat sebagai ketua kelas.

Sama seperti saat di Dumai, Mahyeldi kembali menyemarakkan kegiatan-kegiatan bernuansa islami di sekolah. 

Tak hanya sampai disitu, Mahyeldi juga meraih berbagai prestasi diantaranya juara 1 menulis di sekolahnya. 

Guru sekolah mencium bakat besar Mahyeldi di bidang tulis baca, sehingga mendorong Mahyeldi untuk membuat majalah sekolah. Dananya diperoleh dari sumbangan para orang tua murid. 

Meski telah duduk di kursi kelas 2 SMA, bakti Mahyeldi untuk membantu orang tua tetap berjalan. Ia masih terus berjualan koran di pagi hari dan kue-kue di petang hari. 

Malam hari, Mahyeldi memperdalam ilmu agama dengan menjadi tukang bawa tas pak ustad. Sebelum ustad memberi ceramah, Mahyeldi disuruh memberi mukadimah. 

Di sisi ekonomi, remaja yang tak bisa berdiam diri ini mencoba usaha baru ; ternak kerbau. 

Dari usaha ternak kerbau inilah Mahyeldi dapat meneruskan kulIahnya. Setamat SMA, Mahyeldi meneruskan kuliah ke Fakultas Pertanian Universitas Andalas. Di sini, jiwa kepemimpinannya semakin berkembang. Mahyeldi aktif sebagai penggerak dakwah kampus, sebuah kegiatan yang tanpa disadari olehnya, kelak menghantarkan dirinya menduduki sejumlah jabatan politis.

Sebagaimana kita ketahui, tahun 1998 era reformasi dimulai. Kebebasan demokrasi merupakan ciri utama. Banyak partai bermunculan, salah satunya adalah PK (Partai Keadilan), atau yang sekarang bernama Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Dan Mahyeldi pun terjun di dalamnya.  

Mahyeldi berkata, “Semasa kuliah itu tak ada pikiran tentang politik, cuma dakwah dan dakwah. Hanya saja zaman bertukar. 

Di era reformasi, berdiri Partai Keadilan, yang basisnya adalah memang para aktifis kampus. Di sinilah awal kehidupan politik saya.”

Kursi jabatan politis yang pertama diduduki Mahyeldi adalah Wakil Ketua DPRD Sumatera Barat periode 2004-2009. 

Ia sempat menolak memakai kendaraan dinas mewah yang diperuntukkan baginya. Ditahun 2008, Mahyeldi mengundurkan diri karena akan maju sebagai Wakil Walikota Padang, berpasangan dengan Walikota Padang inkumben, Fauzi Bahar. 

Sejarah pun mencatat, dalam Pemilihan kepala daerah Kota Padang pertama itu, pasangan Fauzi Bahar-Mahyeldi menang. 

Dalam kurun waktu 2009-2014, Mahyeldi berusaha menempatkan posisinya sebagai wakil walikota yang baik. Disaat pasangan kepala daerah jamak yang pecah kongsi, padahal baru saja menjabat, namun tidak halnya dengan pasangan Fauzi Bahar-Mahyeldi. 

Mereka tetap berjalan harmonis dan professional hingga akhir masa tugas. 

Karir politik Mahyeldi terus melesat. Jelang akhir tahun 2013, Mahyeldi yang berpasangan dengan Emzalmi mencalonkan diri sebagai walikota dan wakil walikota padang periode 2014-2019. 

Pertarungan politik kali ini sangat sengit. Pasangan calon yang ikut bertarung sebanyak 10 pasang. Jelas mereka merupakan tokoh-tokoh terbaik yang dimiliki Kota Padang saat ini. Seluruh calon memiliki basis massa yang cukup solid. 

Kemenangan satu putaran urung tercapai, Mahyeldi-Emzalmi mengantongi 29,45% suara. Nyaris sekali. 

Putaran kedua pun dilangsungkan pada 5 Maret 2014. Diikuti dua pasang calon teratas. Kali ini Mahem berhadapan dengan Deje, Desri Ayunda-James Heliward. Hasilnya Mahem unggul, dengan merebut 50,29% suara. Deje sempat mengajukan gugatan atas kekalahannya kepada Mahkamah Konstitusi, namun MK menolak. 

“Kemenangan ini bukan seperti menang undian atau menang lomba pacu karung. Yang menang adalah masyarakat, yang berhasil menyalurkan aspirasinya dengan aman, tak ada kerusuhan. Kemenangan ini lebih sebagai tanggung jawab besar yang diberikan masyarakat ke pundak saya dan pak Emzalmi. Amanah yang harus saya pertanggungjawabkan tidak saja pada masyarakat Kota Padang, tetapi juga kepada Allah SWT.” 

Sayup-sayup terdengar suara azan berkumandang syahdu. Waktu ashar telah tiba. Tak terasa, perbincangan kami telah makan waktu hampir dua jam. Sembari membetulkan letak pecinya, Mahyeldi berujar pada kami,  

“Ayo kita ke masjid…”