Adakah ‘Kesejahteraan’ dalam Perpanjangan Kontrak PT Freeport?

Oleh: Annisa Nanda Alifia 
(Aktivis Remaja Muslimah)

IMPIANNEWS.COM

PT Freeport telah mendapatkan Kontrak Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) hingga 2041. Pemerintah berencana memperpanjang IUPK hingga 2061 untuk terus membiarkan korporasi ini melahap sumber daya mineral underground Indonesia. Presiden RI pada 14 November 2023 juga mengadakan pertemuan dengan CEO Freeport McMoran Ricard Adkerson, membahas perpanjangan izin tambang tersebut (katadata.co.id).

Perpanjangan kontrak ini dibuat manis dengan pembangunan smelter di Papua Barat, dan penambahan 10% saham Freeport untuk Indonesia. Dengan total saham 61,2%, Indonesia lewat MIND ID menjadi pemegang saham terbesar di PT Freeport. Pemerintah mengklaim hal ini akan meningkatkan investasi serta kesejahteraan rakyat, dan berharap pembahasan kontrak selesai pada akhir November (cnbcindonesia.com).

Mengenai PT Freeport, perusahaan asing ini sudah mulai menambang sejak 1976. Sepanjang 2022, sebesar US$ 8,43 miliar mereka peroleh dari operasi di Indonesia (cnbcindonesia.com). Artinya, nilai inilah yang bisa kita dapatkan jika menguasai 100% saham, berbeda dengan penerimaan dengan kepemilikan 61% saham PT Freeport.

Potensi pendapatan total adalah US$ 8,43 miliar dalam 20 tahun, lalu tanpa perpanjangan kontrak dan kepemilikan penuh, mencapai US$ 168,6 miliar atau setara dengan Rp2.529 triliun. Sedangkan dengan kepemilikan 61% saham PT Freeport, Indonesia hanya mendapat US$ 4,14 miliar per tahun, dan US$ 102,8 miliar (Rp1.542 triliun), meskipun nilai-nilai di atas dihitung kasar secara teoretis, tanpa melihat faktor biaya operasional, fluktuasi harga komoditas, dll. Hanya saja, biaya tersebut tidak sebanding dengan kerugian jika PT Freeport terus dibiarkan menambang.

Besarnya pendapatan PT Freeport pun, tidak dapat dikatakan menyejahterakan rakyat di sekitarnya. Melihat berbagai sumber daya tanahnya diambil, lingkungannya dirusak, rakyat hanya bisa gigit jari. Rakyat tak berdaya dengan persekongkolan pemerintah dan kapitalis asing, terjajah di negeri sendiri, bagai tikus mati di lumbung padi.

Jika dikatakan penambangan ini memang memerlukan pihak asing dengan segala teknologinya, lalu sampai kapan? Alasan ketidakmampuan untuk mengelola SDA sendiri, hanya sebuah klise bagi negara yang telah 78 tahun merdeka. Hal ini menjadi bukti, bahwa negeri ini dijajah karena penerapan sistem ekonomi neoliberal itu sendiri.

Pengelolaan SDA yang benar sejatinya hanya ada pada sistem ekonomi Islam. Barang tambang yang melimpah merupakan kepemilikan umum yang harus dikelola sendiri oleh negara. Rasulullah SAW bersabda, “Kaum muslim berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput, dan api.” (HR Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Majah).

Sistem Islam mengharamkan negara memberikan pengelolaan kepemilikan umum pada pihak swasta/pribadi, apalagi asing. Pengelolaan tambang menjadi lapangan pekerjaan bagi rakyat, terutama yang tinggal di lingkungan sekitarnya. Sehingga, rakyat dapat mengecap sendiri hasil kekayaan alamnya, karena keuntungan yang didapat akan dikembalikan seluruhnya.

Sistem moneter Islam menggunakan emas sebagai basisnya, sehingga ketergantungan terhadap mata uang asing tidak akan terjadi di sistem ekonomi Islam. Kegiatan jual-beli tidak akan terpengaruh inflasi nilai tukar mata uang. Negara yang menguasai emas pun niscaya menjadi negara adidaya.

Sesungguhnya kesejahteraan rakyat hanya ada pada penerapan sistem Islam. Penerapan sistem ekonomi neoliberal hanya menjadikan rakyat terjajah, hingga tak segan memperpanjang kontrak korporasi asing dan melahap SDA terus-menerus.

Post a Comment

0 Comments