Lemahnya Pengawasan Transformasi Digital oleh Negara

Oleh: Yanti Rohayati
IMPIANNEWS.COM

Orang tua mana yang tidak merasa sedih jika buah hatinya menjadi korban penculikan hingga jadi korban pembunuhan berencana yang dilakukan oleh remaja yang masih terhitung muda. Meraka remaja berusia 17 tahun dan 14 tahun yang tega menghabisi nyawa anak usia 11 tahun, karena terinspirasi dari dunia maya terkait jual beli organ tubuh, tetapi kita tidak dapat memungkiri bahwa fenomena penawaran dan permintaan ginjal dengan imbalan uang berjumlah besar, beredar di media sosial.

Namun demikian, keberadaan sejumlah grup publik yang terang-terangan menunjukkan tawaran jual beli ginjal di platform Facebook adalah realitas yang tidak dapat disangkal. Grup tersebut memiliki ratusan anggota. Di dalamnya terdapat diskusi terkait menjual atau membeli ginjal. Tawarannya lengkap dengan golongan darah, sampai nomor kontak yang bisa dihubungi. Sejumlah orang yang termotivasi menjual ginjalnya beralasan mereka sedang butuh uang.

Sayang sekali, arus deras transformasi digital yang belakangan ini digaungkan oleh penguasa, nyatanya malah memberi ruang bagi terjadinya tindak kriminalitas. Lagi-lagi motivasinya ekonomi, sehingga terjadi pada mereka yang butuh uang, baik itu donor maupun penadahnya.

Hal ini sungguh miris sekaligus mengungkap sisi gelap transformasi digital itu sendiri. Transformasi digital yang diharapkan dapat memberikan kemudahan bagi kehidupan, ketika terasuh oleh sistem kehidupan yang bebas dan serba boleh, ternyata menjadi lahan yang disalahgunakan untuk tindak kejahatan. Ini sungguh menyalahi fungsi digitalisasi sebagai produk teknologi yang hukum asalnya mubah (boleh).

Teknologi digital yang ada saat ini cenderung difungsikan sebagai wadah aktualisasi cuan, tetapi mengaborsi fungsi asal dari teknologi itu sendiri. Di satu sisi, Indonesia melarang jual beli organ tubuh manusia. Hal ini diatur dalam UU Kesehatan maupun KUHP bahwa organ atau jaringan tubuh dilarang diperjualbelikan dengan dalih apa pun. Setiap orang yang terlibat dalam transaksi ini terancam hukuman paling lama 10 tahun penjara dan denda Rp1 miliar. Sementara itu, mereka yang menjadi makelar dalam hal ini bisa dijerat delik pidana perdagangan orang.

Namun kasus perdagangan organ tubuh manusia di Indonesia bukanlah hal baru. Pada 2016, kepolisian mengungkap jaringan perdagangan ginjal di Bandung, Jawa Barat. Peristiwa ini melibatkan 30 korban yang menjual ginjalnya dengan  harga antara Rp75 juta-Rp90 juta. Untuk menutupi kejahatannya, kelompok ini melibatkan kantor notaris agar antara penjual dan pembeli sah secara hukum melakukan kesepakatan transplantasi ginjal tanpa ada paksaan, tuntutan di kemudian hari, ataupun motif uang di baliknya.

Kapitalisme menjadi faktor yang menyetir teknologi melalui revolusi global untuk menjajah pemikiran umat Islam, hingga ranah ekonomi maupun politik. Kasus jual beli organ hanya secuil contoh, kemaksiatan lain yang juga mendapat ruang oleh kapitalisme melalui teknologi, misalnya LGBTQ, seks bebas dan konten porno, prostitusi, judi, dan pinjaman online, dsb. Demikian halnya dengan konten-konten sampah maupun berbahaya lainnya. Atas nama viral, pemerintah seperti membiarkan munculnya konten-konten unfaedah.

Sebaliknya, aktualisasi teknologi dalam Islam sarat dengan visi iman dan takwa. Teknologi di dalam sistem Islam berperan sebagai wasilah dakwah dan siar Islam. Jelas, sebab dakwah adalah kewajiban dari syariat Islam sehingga dakwah harus disebarluaskan. Islam tidak akan memberi peluang bagi penyalahgunaan teknologi untuk tindak kejahatan, apalagi hal-hal yang sampai menghilangkan nyawa seseorang. Aturan Islam menjadikan semua peraturan diatur dengan syariat Islam yang berlandaskan pada Al-Qur'an, as-sunnah, ijma, dan qiyas. Wallahu alam.

Post a Comment

0 Comments