Impor Beras Wujud Salah Kelola Pangan

Oleh : Neng Rohimah

IMPIANNEWS.COM

Mengapa indonesia yang termasuk negara agraris tapi harus tergantung impor, tidak mampu melakukan swasembada pangan secara berkesinambungan ?

Jakarta - Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso (Buwas) secara terbuka mengungkapkan alasannya mencetuskan rencana mengimpor beras. Di mana, sebelumnya Buwas mengatakan, Bulog memiliki komitmen stok beras sebanyak 500 ribu ton di luar negeri.

Saat rapat dengar pendapat dengan Eselon I Kementerian Pertanian (Kementan), Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas), dan Direktur Utama Holding Pangan ID Food, Rabu (24/11/2022), Buwas mengungkapkan mendapat penugasan harus memiliki stok beras sebanyak 1,2 juta ton hingga akhir tahun 2022.

Buwas menjabarkan, per 22 November 2022, Bulog telah melakukan pengadaan 912 ribu ton beras untuk cadangan beras pemerintah (CBP). Di mana, serapan tertinggi terjadi di bulan Maret dan Juni.

Kondisi tersebut memunculkan wacana impor yang diusulkan oleh Perum Bulog. Padahal, awal 2022, pemerintah tidak merencanakan impor. Pada 17-10-2022, Badan Pusat Statistik merilis data bahwa produksi beras pada 2022 diperkirakan sebesar 32,07 juta ton, sedangkan konsumsi beras diperkirakan mencapai 30,2 juta ton. Artinya, produksi beras di Indonesia diperkirakan surplus hampir dua juta ton tahun ini. (Katadata).

Pemerintah yang sudah mengumumkan swasembada pangan selama kurang lebih tiga tahun, justru selama enam bulan terakhir ini mengumumkan niat untuk impor beras. Alasannya, cadangan beras pemerintah di Bulog tidak mencukupi untuk target stok sebanyak 1,2 juta ton.

Berbagai alasan atau latar belakang juga diungkapkan oleh para pejabat terkait, mulai dari rendahnya serapan Bulog terhadap beras petani, harga pasar yang tinggi sehingga menyebabkan petani lebih senang menjual berasnya ke luar pulau, juga kegagalan-kegagalan pemerintah dalam mewujudkan lumbung pangan untuk menjaga ketahanan pangan dalam negeri.

Lagi-lagi, berbagai kendala yang muncul tadi bermula dari kegagalan mewujudkan perencanaan strategis stok pangan, juga kegagalan proyek lumbung pangan yang mencukupi untuk memenuhi stok kebutuhan masyarakat. Hal tersebut menjadi bagian dari karut-marutnya rezim negeri ini dalam mengurusi rakyatnya.

Sangat miris, Indonesia yang dikenal sebagai negara agraris dengan luasan lahan yang lebih luas daripada Thailand maupun Vietnam untuk memenuhi kebutuhan pangannya, malah masih harus mengimpor ke negara yang justru luas lahannya lebih sempit daripada Indonesia.

Kegagalan dari proyek lumbung pangan di Indonesia yang bertujuan meningkatkan kemampuan ketahanan pangan dalam negeri juga terus mengalami kegagalan selama kurang lebih 25 tahun ini. 

Kalaupun kemudian berhasil tidak mengimpor beras selama tiga tahun, itu dianggap sebagai sebuah prestasi swasembada pangan. Padahal, hal itu tidaklah cukup karena pemerintah perlu mengupayakan sebuah perencanaan strategis jangka panjang agar swasembada dan ketahanan pangan bisa tercapai secara berkelanjutan.

Kepentingan Oligarki Kapitalis dalam Kebijakan Pangan. Aroma kebijakan pangan dalam negeri masih kental dengan kepentingan oligarki para kapitalis. Misalnya, untuk kesuksesan lumbung pangan, dibutuhkan benih yang berkualitas, pupuk yang murah, dan sistem pendukung lain yang memudahkan petani untuk produktif. Nyatanya, untuk memenuhi itu semua, pemerintah justru lebih dominan atau berorientasi pada keuntungan pihak tertentu.

Dalam hal impor, sangat rentan juga dengan kebijakan yang beraroma politis dan kental dengan nuansa korupsi. Bagaimanapun, kita ketahui bahwa setiap aktivitas pengadaan sangat rentan dengan adanya praktik korupsi.

Dalam hal kebijakan, pemerintah juga tidak memihak para petani kecil, bahkan kebijakan lumbung pangan ini disinyalir menguntungkan pihak oligarki tertentu. Lebih bahaya lagi ialah dampak dari kerusakan lingkungan di mana lumbung pangan ini diperbolehkan untuk memanfaatkan hutan lindung yang justru akan merusak ekosistem dalam jangka panjang.

Pertanyaannya, mengapa negara agraris dengan lahan pertanian yang sangat luas, iklim yang mendukung, serta jumlah petani yang banyak ini tidak mampu melakukan swasembada pangan secara berkesinambungan, bahkan harus tergantung impor?

Dapat dikatakan karena negara ini tidak memiliki ideologi yang mampu mengarahkan penguasanya untuk memihak rakyat dalam mewujudkan kedaulatan swasembada dan ketahanan pangan. 

Selama negeri ini masih menganut sistem demokrasi dalam pengambilan kebijakan dan peraturan, maka peraturan undang-undang, perpres, dan sebagainya akan lebih menguntungkan pihak-pihak kapitalis.

Pemodal para oligarki yang berada di sekitar penguasa akan senantiasa lebih diuntungkan daripada rakyat kecil atau petani—pihak yang terbukti berjasa dan berkontribusi besar terhadap pangan di Indonesia.

Kemandirian Pangan dalam Sistem Islam

Kebijakan pangan dalam sistem Islam akan mewujudkan terciptanya kemandirian pangan. Sinergisitas dalam penguasaan sektor industri vital lainnya oleh negara adalah seperti pertanian, perikanan, farmasi, transportasi, telekomunikasi, infrastruktur, teknologi, dan sebagainya.

Seluruh aspek industri, terutama di bidang pangan, dibangun dengan paradigma kemandirian. Tidak akan tergantung kepada asing, baik dari sisi teknologi, ekonomi, maupun politik.

Rasulullah saw. bersabda, “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus hajat hidup rakyat) dan ia bertanggung jawab terhadap rakyatnya.” (HR Muslim dan Ahmad).

Berdasarkan paradigma ini, pemerintah (Khalifah) bertanggung jawab penuh untuk mewujudkan ketahanan dan kedaulatan pangan. Negaralah yang menentukan arah politik pangan dan menjalankannya dalam bentuk kebijakan praktis sesuai tuntunan syariat. Tidak akan terjadi pengendalian kebijakan negara oleh pihak lain, termasuk korporasi bahkan pihak asing.

Seluruh lembaga pemerintahan pun wajib menjalankan fungsi negara sebagai raa’in dan junnah tanpa terkecuali. Oleh karenanya, terlarang bagi lembaga negara (termasuk semisal Bulog) membisniskan layanan kepada rakyat.

Hanya kembali pada sistem Islam satu satunya sistem yang dicontohkan Rosulullah yang mampu menjadi solusi bagi setiap aspek kehidupan termasuk kebijakan politik pangan.

Wallahualam.

Post a Comment

0 Comments