ANTARA VIRUS CORONA, BUZZER 72 M DAN NASI PADANG

Oleh : Anton Permana.
IMPIANNEWS.COM
Catatan, --- Menganggap remeh sebuah permasalahan bisa jadi bentuk dari sebuah kamuflase dari ketakutan (paranoid) yang sebenarnya. Begitu juga kiranya sikap sebuah negara kepada wabah virus corona covid 19 yang baru saja di nyatakan WHO (World Health Organization) sebagai  ‘pandemi’ di dunia. Namun beda dengan di Indonesia. Kalau kita melihat cara penindakan pemerintah hari ini, cenderung takut bukan pada virusnya. Tapi lebih pada dampak ekonomi, sosial politiknya. Kenapa demikian ? mari kita bahas bersama-sama.

Saat ini Indonesia lagi berada di pinggir jurang terjal krisis ekonomi. Bulan April jatuh tempo bayar bunga hutang 316 Trilyun. Defisit anggaran 412 trilyun. Belum lagi jatuh tempo hutang induknya.

Ekonomi tumbuh dibawah 4 persen. Pemasukan dari pajak merosot jauh dari target. Proyek APBN semua konsumtif tidak ada yg produktif. Ditambah lagi keinginan bangun ibu kota baru di Kalimantan yang juga membutuhkan uang 600 Trilyun ??

Saat ini Indonesia harus cari uang 1.000 trilyun (atau 8-10 Milyar USD). Mau hutang lagi, semua negara pasti ‘defensif’ akan kencangkan ikat pinggang keuangannya gara-gara wabah virus corona. Selama ini Indonesia dimanja China, China pun sekarang megap-megap. China saat ini juga diambang krisis. Industrinya terhenti, semua penerbangan dan pengiriman barang produksi China terhenti ke penjuru dunia ‘kecuali’ Indonesia.

Jadi perumpamaan penulis kondisi negara negara dunia hari ini mirip aktifitas warung nasi Padang. Kalau sebuah warung nasi Padang itu kuat modal, uang kas banyak, dan tahu resiko wabah bagi karyawannya pasti akan menutup total warungnya untuk tidak jualan. Demi keselamatan nyawa karyawan dan keluarganya.

Tapi bagaimana kalau warung nasi Padang itu banyak hutang ? Tak punya kas (uang) untuk makan ? Bayar listrik ? Gaji karyawan ? Beli bahan masak ? Tentu harus tetap buka warungnya berharap masih ada jual-beli yg berbelanja dan makan. Agar tetap dapat uang harian untuk bertahan hidup. Ini terpaksa dilakukan demi dapur tetap ngepul dan berasap. Ancaman resiko terserang wabah virus itu urusan belakangan.

Begitu juga dengan negara. Kalau negara itu secara fundamental ekonomi kuat, pemerintahannya kuat, kepercayaan rakyat pada pemerintah tinggi, kas negara banyak, dan berdaulat secara politik, tentu tidak akan masalah menyikapi ancaman virus corona ini mengambil tindakan tegas seperti ‘lock down’. Meliburkan sekolah, menutup kantor, menutup penerbangan dan menghentikan aktifitas export-import barang.

Tapi bagaimana kalau sebuah negara itu banyak hutang ? Pemimpinnya lemah hobby selfie ? Integritas pemerintahannya rapuh di mata rakyat ? Pemimpinnya tak lagi dipercaya rakyat ? Atau pemerintahannya tidak berdaulat dan jadi ‘proxy’ (boneka) negara lain ? Tentu tak akan berani ambil sikap tegas dan cenderung membebek alias manut dengan perintah intervensi negara ‘tuannya’. 

Nah kondisi ini sebenarnya sebagai masyarakat kita mesti arif bijaksana menyikapinya. Namanya ego penguasa, pasti akan tetap bersikukuh melihatkan seolah negeri ini biasa-biasa saja. Ketika beberapa negara di dunia mulai ambil ancang-ancang ‘lockdown’ seperti Italy, Jerman, Jepang, Korea Selatan bahkan Arab Saudi. Indonesia masih tenang-tenang saja. Tak ada travel warning, atau penutupan penerbangan dari China, bahkan sebaliknya tetap terima turis dari China setiap hari tanpa batas. Aneh kan ?

Disinilah kita mulai lihat peran buzzer yang katanya dibayar 72 Milyar itu. Berseliweran berita, tulisan, komentar entah dari siapa saja yang ujungnya membangun opini bahwa virus corona ini adalah hal yang biasa saja. Tak separah wabah DBD, kolera, dan malaria. Ada yang katakan ibarat luka lecet biasa saja. Sebentarpun sembuh.

Ditambah bombardir angka-angka minus beraura positif yang bangun opini seakan corona mudah diatasi. Persentase kematian rendah kok ? Jumlah yang sembuh banyak kok ? Sampai himbauan tak usah pakai masker bagi yang tak kena gejala corona. Namun anehnya di setiap tampil di televisi para pejabat terkait pakai masker di wajahnya.

Pernah juga bahkan Presiden sekalipun berkomentar, “Virus corona itu yang berbahaya adalah kepanikan dan rasa takut”. Eits tak selang beberapa hari kemudian Presiden juga mengatakan ditempat yang sama, “Saya takut lupa minum jamu 3 kali sehari agar tak terserang virus corona”. Nah ??

Pernyataan-pernyataan kontradiktif seperti ini selalu membanjiri laman sosial media kita setiap waktu. Wajar masyarakat jadi bingung. Wajar masyarakat jadi jenuh. Belum lagi pertengkaran antara kubu merdeka utara (istana negara) dengan kubu merdeka selatan (balai kota). Bahkan informasi menteri kesehatan kena semprot oleh Presiden pun marak di media karena dianggap main/main sering cengengesan di media seolah anggap remeh virus corona ini. Padahal menterinya sendiri yang bilang sesuai arahan Presiden jangan panik dan santai ketika menjelaskan tentang virus corona ini di media.

Namun apapun itu, WHO sudah umumkan virus corona menjadi pandemi dunia. Ini adalah ancaman serius. Karena sudah ada suspect 132 ribu di 62 negara. Jumlah korban jiwa 4900 orang pertanggal 13 maret 2020 diseluruh dunia. Dan WHO juga sudah minta Presiden RI keluarkan status darurat nasional (Verry High Status) secara nasional. Agar virus ini tidak terus menular memakan korban. Karena di Indonesia sendiripun kemenkes merilis sudah ada suspect 69 orang dan meninggal dunia akibat corona 4 orang.

Pada sisi tertentu penulis memahami fungsi buzzer untuk meredam opini agar tidak terjadi kepanikan nasional. Karena ini akan berbahaya bagi kondisi sosial politik nasional ditengah rapuhnya kepercayaan terhadap pemerintah. Tapi penulis juga berharap para buzzer ini jangan over acting bagaikan tukang sihir zaman Firaun membodohi masyarakat. Para buzzer jangan membalik keadaan secara berlebihan. Yaitu merubah tahi kambing jadi obat, obat jadi seperti tahi kambing. Karena resikonya adalah nyawa manusia. Resikonya adalah jiwa rakyat Indonesia. Dan mari kita jaga martabat bangsa ini, integritas dan wibawa negeri ini dengan berkata jujur dan apa adanya. 

Para buzzer ini saran penulis perlu belajar pada warung nasi Padang tadi dalam hal meracik bumbu masakan. Silahkan berkreatifitas memadukan bumbu masakan (langkok-langkok) sebagai penyebab rasa dalam masakan. Tapi jangan sampai berlebihan. Kalau bagi orang Padang, bumbu masakan seperti jahe, lengkuas, daun salam, daun serai, bawang putih-bawang merah, garda gunggu, bungo lawang, dan santan adalah kombinasi dari rempah yang sudah ditakar sedemikian rupa sehingga berubah fungsi tidak hanya sebagai penyedap rasa, tetapi juga sebagai antibiotik, penetralisir kolasterol dan asam urat. Makanya jangan sampai berlebihan, seperti bumbu masak gulai ambuang-ambuang karena bisa bikin orang malah diare. 

Begitu juga hendaknya para buzzer ini. Jangan sampai berlebihan memoles berita dan membalikkan fakta, takut masyarakat muak dan kehilangan rasa hormat. Karena kecepatan informasi teknologi hari ini yang tanpa batas membuat masyarakat bisa mendapatkan informasi dari mana saja.

Dan semoga musibah corona yang melanda dunia hari ini, menjadikan kita semua instropeksi diri dan bermuhasabbah. Baik instropeksi tentang ketahanan nasional bangsa dan juga langkah politik pemerintah kita hari ini. Bahwasanya, butuh kerja sama kita semua untuk saling bahu membahu seluruh komponen bangsa untuk memperkuat ketahanan nasional bangsa kita. Agar bangsa ini punya kemampuan daya tangkal, keuletan, dan kemampuang yang tangguh dalam menghadapi setiap ATHG (Ancaman, Tantangan, Hambatan, dan Gangguan) bangsa ini. Serta sadar dan bertaubat, ternyata ancaman nyata bangsa ini bukanlah radikalisme, intoleransi, cadar serta celana cingkrang. Tapi adalah ketahanan nasional bangsa kita sendiri yang masih rapuh, tidak berdaulat, dan tunduk pada negara asing khususnya China. Sehingga membuat kaca mata terbalik dalam menjalankan roda pemerintahan. Akhirnya dengan kejadian ini baru kita sadar, ternyata bangsa ini sudah jauh lari dari konstitusi, dan cita-cita para pendiri bangsa ini. Wallahu’alam. (rel) 

Post a Comment

0 Comments