KISRUH PENGELOLAAN NIKEL : KORUPSI VS HILIRISASI

Oleh: Indah Ummu Haikal
(Komunitas Muslimah Rindu Surga
Coblong - Bandung)

IMPIANNNEWS.COM

Kasus korupsi tambang nikel ilegal di blok mandiodo Sulawesi Tenggara, yang menjerat sejumlah pengusaha hingga pejabat negara menunjukkan bahwa masih carut-marutnya tata kelola industri nikel.

Dalam perkembangan penyelidikan pada Rabu (9/8), Kejaksaan Agung menetapkan eks Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi Sumber Daya dan Mineral (ESDM), Ridwan Jamaludin sebagai tersangka karena membuat keputusan yang berkontribusi memuluskan praktek pertambangan ilegal di lahan konsensi milik PT Antam tbk, akibatnya negara dirugikan hingga Rp  5,7 triliun.

Jumlah tersangka dalam kasus dugaan korupsi pertambangan yang sedang diusut oleh Kejati Sultra di wilayah kabupaten Konawe Utara, selain tersangka dari kalangan pemerintahan ada juga berasal dari luar pemerintahan.

Kejati Sultra pun terus mengusut siapa saja yang terlibat dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi pertambangan di salah satu wilayah kabupaten Konawe Utara tersebut.

Sejumlah saksi terus diperiksa untuk menelusuri sejauh mana keterlibatan dalam kasus dugaan korupsi ini, semua orang bahkan berpotensi jadi tersangka apabila memang ada keterlibatan  dari banyak pihak.

Penetapan  kepada para tersangka ini berkaitan dengan kerjasama operasi (KSO) di wilayah Antam dengan PT  Lawu dan perusahaan daerah seluas 22 hektar di Konawe Utara.

Sejak KSO terbentuk pada 2021 dan berproduksi, ore nikel yang harusnya seluruhnya diserahkan ke Antam, tetapi ternyata hanya sebagian kecil saja yang diserahkan karena sisanya dijual ke smelter lain menggunakan dokumen terbang.

Modus dokumen terbang tersebut pernah diungkap investigasi majalah Tempo edisi 22-28 Januari 2023, dalam dokumen KSO pada 22 Desember 2021, Antam menugaskan PT Lawu  untuk mengeruk 7,8 juta ton nikel, seluas 3.400 hektar di blok Mando Tapoema dan Tapunggaya, PT Lawu lalu menunjuk 11 kontraktor untuk menambang di blok Mandiodo, tetapi masalahnya PT Lawu maupun sub kontraktornya bahkan Antam belum mendapatkan izin pinjam memakai kawasan hutan (IPPKH) sebagai syarat menambang nikel yang areanya masuk di kawasan hutan sehingga memerlukan izin pakai.

Fakta ini menunjukkan adanya kontradiksi pengelolaan tambang melalui hilirisasi  yang  diklaim membela rakyat, padahal sejatinya hanya menguntungkan pengusaha dan penguasa jahat yang menjadi becking pelanggaran SOP pengelolaan tambang.

Terkuaknya kasus korupsi kronologi terjadinya korupsi semakin memperlihatkan bahwa SDA tidak akan pernah lepas dari "kongkalikong" antara pengusaha dan penguasa.

Penyalahgunaan jabatan dan wewenang berkaitan erat dengan sistem ekonomi kapitalisme karena membebaskan kepemilikan, dan negara hanya menjadi fasilitator dan regulator saja.

Berbeda dengan pengelolaan sumber daya alam di dalam Islam, karena kekayaan alam yang melimpah adalah harta milik kaum muslimin dan tidak boleh ada privatisasi.

Rasulullah SAW, bersabda : 

"tiga hal yang tidak boleh dimonopoli air, rumput dan api" (HR. Ibnu Majah)

Karena negara lah yang berhak untuk mengelola harta milik rakyat (SDA), mulai dari eksplorasi, eksploitasi, pengelolaan dan  distribusi, negara lah yang wajib mengatur tanpa mengambil keuntungan sedikitpun.

Dan negara haram untuk menyerahkan rangkaian pengelolaan sumber daya alam kepada swasta. Namun demikian jika ada kerjasama dengan pihak swasta hanya akad ijarah (sewa jasa) saja dan hasilnya akan dikembalikan lagi untuk kepentingan rakyat, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Wallahu a'lam bishawab

Post a Comment

0 Comments