Baby Blues Tinggi, Ada Apa Dengan Kesehatan Mental Ibu?

Oleh: Sri
(Komunitas Muslimah Rindu Surga Coblong, Bandung)

IMPIANNEWS.COM

Meskipun kelahiran sang buah hati memberi kebahagiaan tak terkira bagi orangtua, namun tidak sedikit ibu yang mengalami kesedihan atau gangguan mood yang parah pasca melahirkan. Kondisi ini disebut dengan istilah Baby Blues Syndrome atau Postpartum Distress Syndrome. Berdasarkan penelitian, angka kejadian baby blues di Asia cukup tinggi dan bervariasi antara 26%-85%. Secara global diperkirakan 20% wanita melahirkan menderita postpartum blues (Risnawati & Susilawati, 2018). Kemudian, hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Andrianti (2020) terungkap bahwa 32% ibu hamil mengalami depresi dan 27% depresi pasca melahirkan. Selain itu, penelitian skala nasional menunjukkan 50-70% ibu di Indonesia juga mengalami gejala baby blues. Angka ini merupakan angka tertinggi ketiga di Asia. Fakta penelitian ini sungguh ironi , ada apakah dengan kesehatan mental kaum ibu?

Baby blues syndrome adalah gangguan kesehatan mental yang dialami wanita pasca melahirkan. Adapun beberapa gejala baby blues di antaranya dipenuhi oleh perasaan kesedihan dan depresi disertai dengan menangis tanpa sebab, mudah kesal, mudah tersinggung, cemas, merasa bersalah dan tidak berharga, serta menjadi tidak tertarik dengan bayi.  Gejala ini dapat menimbulkan dampak pada ibu seperti menyalahkan kehamilan, waktu istirahat sering terganggu, hilang percaya diri dalam mengurus bayi, mengisolasi diri dari lingkungan bahkan bisa terjadi frustasi hingga berupaya bunuh diri.

Diduga ada banyak faktor yang menjadi penyebab seorang ibu mengalami baby blues, termasuk perubahan hormon, stres yang dialami saat merawat bayi yang baru lahir, dan kurang tidur pada masa-masa setelah melahirkan. Di samping beberapa faktor tersebut, ada faktor lain yang lebih krusial yang  memengaruhi tingginya angka baby blues pada populasi ibu hamil dan menyusui, yakni kesiapan menjadi orang tua dan memikul tanggung jawab mengurus anak-anak mereka. Sebagian besar orang tua yang belum siap mempunyai anak berisiko lebih besar mengalami depresi. Kesiapan menjadi orang tua tentu tidak dapat terbentuk secara instan. Tidak cukup hanya dengan pembekalan pranikah yang biasanya diberikan KUA menjelang hari pernikahan. Kesiapan ini tentunya melibatkan proses panjang untuk membentuk setiap  perempuan siap menjadi istri dan ibu bagi anak-anak mereka, yakni proses pendidikan dari usia dini hingga dewasa. 

Namun adakah kurikulum pendidikan saat ini yang dapat membentuk kepribadian generasi siap bertanggung jawab atas kehidupan mereka ? Sebaliknya, generasi hari ini seolah dibuat menjadi generasi bermental lemah, dimana diuji dengan sedikit cobaan dan musibah mereka mudah goyah, stres, dan rentan mengalami depresi. Ini karena kurikulum sistem pendidikan kita menggunakan aturan sekuler yang menjauhkan manusia dari aturan agama (Islam). Dimana aturan agama dibuat hanya sebatas ritual keagamaan semata.  

Seharusnya, pendidikan membentuk calon-calon ibu yang siap memikul beban dan tanggung jawab besar. Akan tetapi, calon-calon ibu ini dirusak dengan pola pendidikan sekuler. Sehingga mereka tidak paham menjadi ibu pembangun peradaban yang akan melahirkan generasi penerus yang berkualitas. Di sisi lain, banyaknya kaum ibu yang mengalami gangguan kesehatan mental dipicu oleh sistem kapitalisme yang berkuasa saat ini. Mengatasi baby blues juga diperlukan sistem ekonomi yang menyejahterakan. Bagaimana ibu mau sehat mentalnya jika untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja begitu sulit? Bagaimana pula ibu bisa tidak terbebani jika sistem kapitalisme mempersulit para ayah mencari nafkah memenuhi kebutuhan keluarganya? Faktanya banyak kasus ibu tega membunuh anaknya dipicu oleh beratnya kehidupan ekonomi yang mereka jalani.   

Kondisi baby blues syndrome sebenarnya dapat dicegah sejak dini, yaitu dengan menyiapkan sistem pendidikan dalam hal ini negara sebagai pembuat kebijakan. Kurikulum pendidikan Islam komprehensif dan sesuai dengan fitrah manusia sehingga mampu menyiapkan setiap individu mengemban peran mulia sebagai orang tua, termasuk menjadikan orang tua sebagai madrasah pertama bagi anak-anaknya. Islam dalam menyiapkan generasi sebagai calon orang tua masa depan yang tangguh melalui beberapa tahapan. Pertama menerapakan kurikulum berbasis akidah Islam. Dimana kurikulum ini dapat membentuk kepribadian Islam pada setiap individu sehingga pandangan dunia dan akhirat akan jelas berbeda.     

Kedua, dukungan sistem ekonomi Islam yang menyejahterakan. Negara wajib menjamin kesejahteraan setiap individu dan menjamin kebutuhan pokok secara optimal.  Negara juga harus menjamin pendidikan dan kesehatan yang dapat diakses secara gratis. Negara juga haruslah mengontrol setiap tayangan media yang dapat menyebabkan rusaknya generasi.  

Ketiga, supporting system berupa lingkungan sosial masyarakat yang islami. Negara menciptakan kehidupan masyarakat yang bersih dari kemaksiatan sehingga terwujud masyarakat yang terbiasa beramar makruf nahi mungkar, serta saling menolong dan menyayangi antarsesama.

Syariat Islam akan tampak jika diterapkan secara kaffah. Selama 13 abad sudah Islam memimpin peradaban dunia, telah banyak melahirkan tokoh-tokoh perempuan sebagai ibu tangguh, cerdas, dan mencetak generasi saleh/salihah. Apakah kita mau mengadopsi sistem pendidikan Islam yang sudah terbukti keberhasilannya atau mengadopsi sistem kapitalisme sekuler yang terbukti kerusakan dan kegagalannya membangun generasi?

Post a Comment

0 Comments