Keputusan Atas GKI Yasmin Dan Standar Ganda Toleransi

Oleh: Irna Firdausa
Aktivis Muslimah

IMPIANNEWS.COM

Lima belas tahun ada dalam sengketa. Kini Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin masuk babak baru setelah Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor menghibahkan lahan seluas 1.668 meter persegi untuk dibangun gereja baru tempat beribadah. 

Berawal pada Juli 2006, Pemkot Bogor menerbitkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) no. 645.8-372/2006 tanggal 19 Juli 2006 untuk pembangunan rumah ibadah  atas nama GKI Pengadilan yang terletak di Jl. KH. Abdullah bin Nuh no.31 kelurahan Curug Mekar, Kec Bogor Barat Kota Bogor.

GKI pun membangun gereja di lahan tersebut. Namun, selanjutnya tahun 2008 GKI Yasmin masuk ranah pengadilan. Forum warga Curug Mekar membuat surat permohonan pembatalan IMB pembangunan gereja ke Dinas Tata Kota Pemkot Bogor. Kemudian Dinas Tata Kelola mengeluarkan surat pembekuan IMB pembangunan gereja yang kemudian digugat oleh pihak gereja ke PTUN Bandung. 

Putusan PTUN Bandung bahwa Dinas Tata Kelola dan Pemukiman (DTKP) Bogor dikalahkan dalam hal pembekuan IMB.

Pemkot Bogor pun mengajukan peradilan banding, namun kasasi yang diajukan Pemkot Bogor ditolak oleh Mahkamah Agung (MA). Pembangunan gereja kembali berlangsung. Penolakan dari warga pun tak berhenti, setelah diketahui adanya kasus pidana pemalsuan tanda tangan warga yang digunakan sebagai syarat pembuatan IMB GKI Yasmin.

Melalui proses yang panjang dan alot, akhirnya pada tanggal 8 Agustus 2021, Wali Kota Bogor Bima Arya merelokasi GKI Yasmin yang sebelumnya berada di Jl. KH Abdullah bin Nuh kav 31 ke daerah kelurahan Cilendek Barat, Bogor. Pemkot Bogor menyerahkan dokumen IMB untuk pembangunan GKI Yasmin kepada pengelola GKI Pengadilan kota Bogor. 

Meskipun bukan solusi ideal, relokasi GKI Yasmin dianggap sebagai solusi paling baik. Namun, GKI Yasmin menolak relokasi tersebut dengan alasan pembangunan GKI Yasmin sah secara hukum berdasarkan Peninjauan Kembali (PK) MA no. 127 PK/PTN/2009. Pemkot Bogor dianggap tidak menjalankan implementasi keputusan MA atas GKI Yasmin.

Terkait hal itu, Pemkot Bogor membantah disebut tidak menjalankan putusan pengadilan dan menyebut keputusan relokasi berdasarkan permintaan dari pihak GKI dan kesepakatan bersama.

Oleh para pegiat Hak Asasi Manusia (HAM) dan kebebasan beragama, penolakan IMB Yasmin dianggap sebagai bentuk intoleransi umat mayoritas terhadap minoritas. Padahal semestinya dilihat pada faktor yang menjadi pemicu penolakan dan mendudukkan persoalan ini secara proporsional. Sehingga tidak menyudutkan umat Islam. 

Polemik GKI Yasmin juga menyisakan respon penolakan dari pengurus GKI Yasmin. Hal ini mengindikasikan bahwa solusi toleransi yang ditawarkan tidak memuaskan semua pihak. Jalan kompromi pun masih menimbulkan reaksi negatif dari berbagai pihak.

Hai ini terjadi karena dalam sistem sekuler, kebebasan beragama diterapkan dengan pandangan bebas tanpa batas. Saat sedikit saja minoritas tertindas, pegiat hak asasi manusia (HAM) bersuara dan membela mati matian. Namun jika mayoritas yang tertindas, mereka berbicara toleransi dan saling menghargai. Mayoritas harus menghargai minoritas meski yang bermasalah adalah minoritas. Inilah standar ganda dalam sistem sekuler.

Lantas bagaimana Islam mendudukkan toleransi? Mari kita lihat sejarah. Sejak Islam tumbuh dan berkembang, Rosululloh Saw telah memberikan contoh betapa toleransi merupakan keharusan. Jauh sebelum PBB merumuskan Declaration of Human Right. Islam telah mengajarkan jaminan kebebasan beragama melalui Piagam Madinah pada tahun 622 Masehi.

Rosululloh telah meletakkan dasar dasar bagi keragaman antar umat beragama, mengakui eksistensi non Muslim sekaligus menghormati peribadatan mereka. Diantara butir butir toleransi itu adalah sikap saling menghormati diantara agama yang ada, tidak saling menyakiti dan saling melindungi antar anggota yang terikat dalam perjanjian tersebut. 

Di lain kesempatan Rosululloh pun membolehkan para sahabat untuk memberikan bantuan materi kepada orang Yahudi. Namun sikap toleransi dalam Islam bukan toleransi yang bebas tanpa batas. Tidak mencampuradukkan antara yang hak dan yang batil. Harmonis, tolong menolong dan kerja sama umat Islam dengan non Muslim hanya dalam masalah muamalah keduniaan yang tidak berhubungan dengan masalah akidah dan ibadah. 

Dalam masalah akidah, umat Islam tidak menyembah apa yang disembah oleh orang kafir, begitu pun sebaliknya, orang kafir tidak menyembah apa yang orang Muslim sembah, seperti dalam Al Qur'an surat Al Kaafirun ayat 1-6. Orang kafir pun tidak dipaksa untuk meyakini Islam (QS. Al-Baqarah : 256) yang artinya :" tidak ada paksaan dalam (memasuki) agama Islam..."

Namun apabila seseorang telah menjadi Muslim, maka ia tidak sebebasnya mengganti agamanya, karena ada larangan untuk murtad dan sebagai bentuk penjagaan akidah umat sebagai konsekuensi sebagai seorang Muslim.

Sikap toleransi Islam kepada non Muslim juga dipraktikkan oleh para sahabat Rosul Saw saat mereka mendapatkan amanah sebagai Kholifah. Seperti Kholifah Ummar bin Khotib Ra, ketika membebaskan Baitul Maqdis (Yerussalem), Palestina. Saat itu Kholifah Umar Ra menandatangani perjanjian damai dengan pendeta Sofranius yang merupakan pemimpin Nasrani di Yerusalem.

Perjanjian itu memberikan jaminan kepada warga non Muslim agar tetap bebas memeluk agama dan keyakinan mereka. Mereka tidak dipaksa untuk memeluk Islam dan tidak dihalangi untuk melakukan ibadah sesuai keyakinannya. Mereka hanya diharuskan melakukan membayar jizyah sebagai bentuk ketundukan terhadap pemerintah Islam. 

Toleransi juga pernah ditunjukkan oleh Sultan Muhammad Al Fatih tatkala menaklukkan Konstantinopel. Saat ia memasuki Hagia Sophia ia menemui umat Kristen bersembunyi di gereja, dan ia mendekati wanita dan anak anak yang sedang ketakutan. " Jangan takut, kita adalah satu bangsa, satu tanah dan satu nasib. Kalian bebas menjaga agama kalian." Ujarnya dengan ramah dan disambut gembira oleh umat kristiani. 

Itulah penerapan toleransi yang hakiki dalam Islam. Dan belum ada fakta sejarah yang menyamai ramahnya Islam kepada non Muslim yang hidup berdampingan dengan kaum Muslimin. Khilafah adalah pengayom umatnya baik Muslim maupun non Muslim.

Wallohu a'lam bishowab

Post a Comment

0 Comments