Bukan soal kekalahan, tapi korban kecurangan

IMPIANNEWS.COM 

Maka berkatalah Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri pekan lalu (9/5/2019) di rumahnya, Jakarta: "[...] dari perjalanan partai saya ini, kami, saya sebagai Ketua Umum, selalu menegaskan, kalah-menang itu biasa. Jadi jangan terlalu dipersoalkan ."

Mega mengucapkan hal itu seusai menerima kunjungan cawapres Ma'ruf Amin, pasangan dai capres Joko "Jokowi" Widodo.

Maka bisa ditebak, Mega mengarahkan soal kalah dan menang itu ke kubu seberang, capres Prabowo Subianto – Sandiaga Uno.
Ada sejumlah catatan seputar pernyataan Mega:

Mega pernah dua kali kalah pilpres. Pada 2009 Mega adalah capres dengan cawapres Prabowo. Mereka kalah dari Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) – Boediono.

Sebelumnya, pada 2004, Mega juga capres, berpasangan dengan Hasyim Muzadi. Mereka kalah dari SBY – Jusuf Kalla.

Jika menyangkut Prabowo, dalam dua kali sebagai capres (2014 dan 2019), dengan lawan yang sama yakni Jokowi, rumus menolak kekalahan itu konsisten. Ia menuding lawan melakukan kecurangan "terstruktur-sistemik-masif". Kini kata "sistematis" lebih sering diucapkan.

Ihwal gelombang penolakan terhadap hasil Pilpres 2019, dengan mengatasnamakan revolusi dan people power, seorang dosen Universitas Andalas (Unand), Padang, Sumatera Barat, menduga itu karena kalah pilpres.

Menurut Direktur Pusako Unand, Feri Amsari, sang dosen itu, pihak yang kalah memilih langkah inkonstitusional karena tak mungkin pakai cara konstitusional.

"Sehingga perlu mengubah kekalahan jangan lewat cara konstitusional, manfaatkan kemarahan publik. Begitu publik marah, mudah terpancing," kata Feri


sumber : beritagar