Wajar Prabowo Katakan Dirinya Lebih TNI dari TNI, Ini Alasannya

Debat Pilpres putaran ke-4 kemarin menyisakan polemik tersendiri untuk Prabowo. Polemik itu dipicu oleh pernyataannya.
IMPIANNEWS.COM (Jakarta).

Saya lebih TNI dari TNI”, demikian dia berkata dalam sesi debat mengenai pertahanan keamanan negeri. Tak ayal, segera setelahnya berbagai meme bermunculan, utamanya menyoroti fakta bahwa Prabowo merupakan pecatan TNI.
Publik kebanyakan menertawakan pernyataannya tersebut. 

Namun, dalam diskursus kita kali ini, saya tidak begitu tertarik untuk mengupas tuntas terkait polemik yang berkembang atas pernyataannya itu. Silakan para warganet memuja ataukah menghujat,  memuji ataukah mencibir terhadap pernyataan tersebut.

Saya lebih tertarik membahas yang lebih substansial yakni pertama, mengapa Prabowo sampai membuat pernyataan tersebut. Maka tak bisa kita mengelak bahwa pernyataan tersebut erat kaitannya dengan latar belakangnya yang mantan anggota militer.

Militer, tidak terkecuali TNI, adalah institusi pertahanan dan keamanan negara yang dalam masa pendidikannya didoktrin berdasarkan teori Thucydides, seorang sejarawan Yunani kuno yang dalam bukunya berjudul The History of Pelopnnesian War berpendapat bahwa hirarki tertentu antara negara-negara menentukan pola hubungan mereka. 

Perkataannya ini sebetulnya hanya menggambarkan aspek lain dari perang bahwasanya prajurit yang kuat akan menindas yang lemah. Ini tidaklah berarti Thucydides mendukung perang.

Sayangnya pendapatnya tersebut sering dikutip politisi untuk agenda-agenda kekuasaan mereka pada negara terhadap negara lain. Hal yang sama juga sering dipakai sebagai justifikasi terhadap dilancarkannya sebuah perang.
Tiap prajurit memang wajib memiliki sikap dan semangat pantang menyerah. 

Mereka harus memiliki kepercayaan diri yang kuat agar tidak mudah ditaklukkan oleh musuh. Namun, semangat seperti itu wajib dimiliki hanya bila dibutuhkan. Ibarat bedil yang senantiasa ditenteng tiap prajurit, itu hanya digunakan apabila dibutuhkan, kalau tidak sedang dibutuhkan, biar saja tetap ditenteng.

Saya menduga kuat bahwa Prabowo terjebak dalam keyakinan tersebut. Indikasinya adalah dia membenarkan adagium klasik Latin yakni Si Vis Pacem Para Bellum, kalau ingin damai harus siap-siap selalu untuk perang yang mana dikutipnya dalam sesi debat tersebut. Padahal, adagium itu adalah pembenaran bangsa Romawi dalam melancarkan agresi terhadap wilayah-wilayah taklukannya di zaman itu.

Kedua, Prabowo sepertinya masih percaya bahwa negara kita berada dalam ancaman kemusnahan ala novel Ghost Fleet, rekaan Peter Warren Singer dan August Cole. Dalam novel fiksi ilmiah tersebut disebutkan bahwa Indonesia akan musnah sebelum 2030. 

Prabowo lupa bahwa novel itu plot utamanya justru bukan tentang Indonesia. Plot utamanya malah menceritakan perang antara 3 negara raksasa dunia yakni Amerika Serikat, Russia dan China. Lebih dari itu, meski tertuturkan secara ilmiah, itu tetaplah novel, sebuah fiksi, sebuah karya rekaan.

Dugaan bahwa Prabowo masih terjebak oleh pengaruh dari novel itu adalah pernyataan lainnya dalam sesi debat tersebut bahwa bila dia terpilih, dia memilih lebih baik menggunakan tekhnologi yang seadanya saja asal pertahanan negara kita kuat. 

Dalam Ghost Fleet, diceritakan bahwa Amerika Serikat akhirnya menang justru karena di sisa-sisa akhir kekuatan perangnya, seluruh instalasi tekhnologi canggihnya hancur, mereka akhirnya menggunakan peralatan seadanya yang tidak menggunakan kecanggihan internet. Justru kunci kemenangannya di situ karena musuh tidak dapat meretas kekuatan terkahir juga strategi perang mereka.

Kelirukah Prabowo?
Sejujurnya, apa yang dikatakan Prabowo tidaklah keliru. Bahwasanya militer harus memiliki mentalitas pemenang, kuat dan tangguh agar tidak mudah dikalahkan oleh musuh. Bahwasanya pula tekhnologi internet yang diaplikasikan ke dalam sistem alutsista kita juga berpotensi menjadi blunder sebab bisa saja dengan mudah diretas oleh musuh.

Namun, pertanyaan besarnya adalah apakah biar tidak terjadi apa yang ditakutkan oleh Prabowo, bangsa kita mesti melakukan agresi terhadap bangsa lain? Apakah alutsista kita tidak boleh tersentuh perkembangan tekhnologi internet?

Di sinilah Prabowo lupa berhitung bahwa TNI kita ini tergolong pasukan yang sangat disegani di pentas internasional. Dalam sebuah survey malah menempatkan TNI unggul atas Israel. Dalam berbagai turnamen kecakapan militer antar negara juga TNI beberapa kali tampil sebagai juara. Tapi, semua kebanggaan itu tidaklah lalu diperuntukkan demi menaklukkan bangsa lain seperti yang kisah kekaisaran Romawi kuno.

Alutsista kita juga tidak mengapa bahkan wajib tersentuh kemajuan IPTEK utamanya internet supaya kita dimudahkan pula mendeteksi dini ancaman bahaya. Selain itu, sistem persenjataan yang menggunakan tekhnologi internet memungkinkan TNI punya sistem pengendalian yang efektif dalam menangkis serangan musuh.

Singkatnya, Prabowo tidaklah keliru-keliru amat. Namun narasinya adalah ekspresi kekuatiran yang berlebihan. Sebagai sebuah kewaspadaan apa yang ditakutkannya patut menjadi ketakutan kita. Namun tidak lantas berarti kita menyerang duluan sebelum diserang. Tidak juga berarti kita wajib kembali ke persenjataan zaman prainternet.(*)