Lagi-Lagi Korupsi, Sudah Menjadi Tradisi Demokrasi

Oleh: Tami Lestari, S.Pd
(Muslimah Pemerhati Umat)

IMPIANNEWS.COM

Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan Direktur Utama (Dirut) PT Waskita Karya Destiawan Soewardjono (DES) sebagai tersangka dugaan korupsi penggunaan fasilitas pembiayaan bank PT Waskita Karya Tbk (WSKT) dan PT Waskita Beton Precast Tbk (WSBP). Tim penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), melakukan penahanan terhadap DES yang baru terpilih kembali sebagai dirut di perusahaan konstruksi milik negara tersebut. DES menjadi dirut WSKT dua periode setelah ditunjuk pada medio Februari 2023. 

Kejagung menyebut, Destiawan melawan hukum memerintahkan dan menyetujui pencairan dana Supply Chain Financing (SCF). Modusnya dengan menggunakan dokumen pendukung palsu yang kemudian digunakannya sebagai pembayaran utang-utang perusahaan yang diakibatkan oleh pencairan pembayaran proyek-proyek pekerjaan fiktif.  

Terkait kasus ini, Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Misbah Hasan pun mendorong agar Kejagung juga bisa mengusut tuntas praktik korupsi yang melibatkan Dirut Waskita Karya tersebut. Kejagung diharapkan bisa mengusut aliran dana proyek fiktif yang dijadikan modus korupsi yang oleh Destiawan, yang tentunya tidak sekadar memeriksa tersangka, tetapi perlu mengusut aliran dana proyek tersebut.

Sebagaimana diketahui, PT Waskita Karya (Persero) Tbk. adalah sebuah badan usaha milik negara Indonesia yang bergerak di bidang konstruksi. Dalam menjalankan bisnisnya, perusahaan ini memiliki lima divisi, yakni Gedung, Infrastruktur I, Infrastruktur II, EPC, dan luar negeri. Untuk mendukung kegiatan bisnisnya, perusahaan ini juga memiliki sebelas kantor cabang yang tersebar di seluruh Indonesia.

Mencermati kondisi finansial Waskita dari berbagai proyek yang ditanganinya jelas adalah proyek strategis. Dengan kata lain, ini jelas lahan basah yang tidak hanya pada sisi investasi maupun divestasinya, tetapi juga ketika nantinya sudah difungsikan sebagai bagian dari infrastruktur publik. Ketika masyarakat hendak melewatinya pun tetap bayar kan? Tidak bisa dipungkiri, bahwa proyek Infrastruktur merupakan lahan basah yang mungkin akan menjadi santapan lezat bagi para koruptor. Jelas persoalan finansial waskita bukanlah terkait kerugian perusahaan saja tetapi banyaknya gurita korupsi yang telah merongrong dari pihak internal perusahaan yang bisa merugikan negara. 

Upaya pemberantasan korupsi pun terkesan setengah hati. Keseriusan penguasa patut kita pertanyakan. Uji wawasan kebangsaan justru digulirkan untuk menjegal para penyidik senior di lembaga antirasuah. Pemilihan pejabat-pejabat teras di dalamnya pun diketahui sebagai bagian dari proyek bagi-bagi kue jabatan dan kekuasaan.

Kasus-kasus bombastis dan fantastis juga tidak tercium, berbeda dengan kasus-kasus receh di daerah yang begitu cepat tercium busuknya. Padahal, kasus di daerah biasanya bukanlah kasus kelas paus, melainkan hanya kelas teri. Tidak heran, kinerja pemberantasan korupsi juga tampil sebatas formalitas, tetapi sangat jauh dari kredibilitas. Pelakunya pun tidak malu, alih-alih jera.

Berantas Peradaban Korupsi

Korupsi adalah nama lain perampas harta, tetapi detik ini koruptor justru adalah perampas yang bangga dengan perbuatan haramnya. Semua ini adalah mimpi buruk. Kasus korupsi Dirut Waskita ini tidak hanya pelajaran bagi BUMN lain, tetapi juga pelajaran untuk kita semua bahwa di balik korupsi itu ada sistem kapitalisme yang harus segera kita jadikan gulung tikar.

Tidak heran jika publik makin mempertanyakan keseriusan pemerintah dalam memberantas korupsi yang sudah kadung membudaya di Indonesia, bahkan acapkali terjadi berjemaah. Ini sungguh bukti luar biasa keruh dan hitamnya lumpur korupsi. Hukuman korupsi yang ada selama ini jelas tidak membuat jera. Sungguh, hanya di dalam sistem sekuler sajalah suatu tindak pidana malah dilindungi dan tidak tuntas diberantas. Terlebih jika ada kepentingan tertentu. Tidak heran, hukuman korupsi pun termasuk sesuatu yang berpeluang dikompromikan demi mengurangi masa hukuman atau malah agar pelakunya bisa bebas dari jerat hukum.

Kondisi ini tentu sangat berbeda dengan sistem peradilan dan sanksi Islam. Ketegasan sistem Islam dalam memberantas korupsi tidak terlepas dari sifat sistem persanksian dalam Islam, yakni sebagai zawajir (pencegah) dan jawabir (penebus). Maknanya, agar orang lain yang bukan pelanggar hukum tercegah untuk melakukan tindak kriminal yang sama dan jika sanksi itu diberlakukan kepada pelanggar hukum, maka sanksi tersebut dapat menebus dosanya.

Di samping itu, sistem Islam secara holistik akan meniscayakan ketakwaan dalam diri setiap individu. Hal ini jelas memudahkan proses hukum pada pelaku. Dengan ketakwaan yang dimiliki, pelaku tindak kriminal tidak akan tahan berlama-lama menyimpan kesalahan. Dirinya meyakini bahwa hukuman di akhirat akan lebih dahsyat. Oleh karena itu, pelaku akan menyerahkan diri pada pihak berwenang dan mengakui kesalahannya. Dirinya pun rida dengan sanksi yang menjadi konsekuensi untuk ia terima.

Namun coba kita lihat para koruptor saat ini. Alih-alih tobat nasuha, begitu dirinya bebas dan ada kesempatan lagi, dirinya malah tidak segan untuk mengulangi tindak korupsi, yang kalau bisa dengan jumlah yang lebih fantastis. Astagfirullah. Wallahua'lam bishawab

Post a Comment

0 Comments