Vonis Inkracht Tanpa Kesempatan Upaya Banding, Dolfie Rompas: Putusan Itu Tidak Sah

IMPIANNEWS.COM

Jakarta – Seorang wartawan Sulawesi Utara, Oldy Arthur Mumu (43), warga Kecamatan Paal Dua, Kota Manado, Sulawesi Utara, baru-baru ini menjadi korban kriminalisasi melalui program industri hukum oleh para oknum aparat penegak hukum di daerah tersebut. Arthur dilaporkan oleh seorang pengusaha swalayan di Manado bernama Ridwan Sugianto ke Polda Sulut. Pria yang sangat getol membongkar kasus penyelewengan dana dan penyalahgunaan wewenang pejabat di Sulut itu dipolisikan dengan tuduhan melakukan pencemaran nama baik melalui teknologi informasi alias melanggar UU Informasi dan Transaksi Elektronik [1].

Ridwan Sugianto keberatan atas postingan video live di akun facebook Arthur Mumu yang mengatakan: “Kawal kasus penguasaan hak dan pemalsuan oleh Ridwan Jumbo atas tanah milik ahli waris Glen Kemba Serentu dan Violieta Chorhelia Mailoor yang dilaporkan ke Polda Sulut.” Video live ini dilakukan oleh Arthur Mumu langsung dari lokasi tanah kedua ahli waris yang dibelanya.

Menurut Arthur Mumu, apa yang dia sampaikan itu adalah informasi yang benar, faktual, dan bukan kebohongan. Kedua ahli waris memang benar telah melaporkan Ridwan Sugianto ke Polda Sulut terkait dugaan penyerobotan tanah waris mereka dengan alat bukti adanya pagar yang dibuat oleh Ridwan Sugianto dan material bangunan di atas tanah mereka. Tidak jelas alasannya, Polda Sulut selanjutnya menghentikan penyelidikan atas laporan Glen dan Violieta, walaupun BPN Manado telah memberikan keterangan bahwa benar telah terjadi penyerobotan tanah kedua ahli waris dan pembuatan sertifikat palsu atas tanah itu.

Berbanding terbalik dengan laporan ahli waris, laporan Ridwan ‘orang berduit’ Sugianto justru lancar melenggang-kangkung diproses oleh polisi, gayung bersambut dengan lincah diterima oleh Kejaksaan Tinggi Sulut, dan selanjutnya terserah majelis hakim Pengadilan Negeri Manado. Hasil industri hukum alias rekayasa hukum untuk mengkriminalkan wartawan yang tergabung di organisasi Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI) ini diganjar 9 bulan kurungan penjara oleh majelis hakim PN Manado.

Pengadilan Tinggi Sulawesi Utara (PT Sulut) pun telah membuat putusan atas permohonan banding dari korban kriminalisasi, Oldy Arthur Mumu. Dalam salinan putusan setebal 11 halaman itu, majelis hakim banding PT Sulut memperkuat putusan Pengadilan Negeri (PN) Manado yang menghukum Arthur dengan 9 bulan kurungan penjara.

Namun terdapat beberapa keganjilan yang perlu mendapat perhatian bersama, khususnya bagi penyelenggara hukum, baik legislatif maupun eksekutif dan yudikatif, di tingkat nasional, terkait putusan majelis hakim di PT Sulut itu. Dari sekian keganjilan dalam proses putusan dan penyampaian salinan putusan kepada Arthur Mumu, yang sangat aneh adalah fakta bahwa putusan hakim banding ditetapkan pada tanggal 16 Desember 2021, namun pemberitahuan putusan tersebut kepada Arthur Mumu dilakukan pada tanggal 31 Januari 2022.

Proses penetapan putusan dan penyampaian kepada terdakwa sangat jelas telah melanggar Pasal 226 ayat (1) KUHAPid yang berbunyi: Petikan surat putusan pengadilan diberikan kepada terdakwa atau penasehat hukumnya segera setelah putusan diucapkan [2]. Jikapun PT Sulut dapat berkilah bahwa Pasal 226 ayat (1) tersebut hanya di lingkup pengadilan negeri sebagai lembaga peradilan tingkat pertama, namun pemberitahuan putusan hakim banding wajib disampaikan kepada PN Manado sesegera mungkin, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 243 ayat (1) KUHAPid, yang berbunyi: Salinan surat putusan pengadilan tinggi beserta berkas perkara dalam waktu tujuh hari setelah putusan tersebut dijatuhkan, dikirim kepada pengadilan negeri yang memutus tingkat pertama [3].

Keganjilan lainnya, yang justru paling aneh bin absurd, adalah bahwa putusan banding tersebut dinyatakan sudah berkekuatan hukum tetap alias _inkracht van gewijsde_. Hal itu tertuang dalam catatan Panitera Pengadilan Negeri Manado yang ditandatangani pada tanggal 11 januari 2022 oleh M. Abduh Abas, SH yang dikirimkan bersamaan dengan salinan putusan majelis hakim banding oleh Kejati Sulut kepada Arthur Mumu. Catatan itu berbunyi: Putusan Nomor 117/PID/2021/PT Mnd dinyatakan telah berkekuatan hukum tetap sejak tanggal 31 Desember 2021 berhubung terdakwa dan Jaksa Penuntut Umum menerima atau tidak mengajukan upaya hukum kasasi.

“Ini benar-benar sebuah kebiadaban hukum yang dipertontonkan dengan fulgar oleh oknum di lembaga-lembaga peradilan di Sulut itu. Bagaimana mungkin Arthur Mumu bisa melakukan upaya hukum kasasi ketika pemberitahuan tentang putusan hakim banding disampaikan kepadanya pada tanggal 31 Januari 2022 hanya melalui pesan WhatsApp oleh Kejati Sulut? Fakta ini mengindikasikan bahwa pihak pengadilan diduga kuat sengaja tidak memberitahukan terdakwa terkait putusan permohonan banding yang bersangkutan dan langsung memutuskan secara sepihak bahwa terdakwa menerima dan tidak melakukan perlawanan melalui upaya hukum kasasi. Ini benar-benar perlakuan sadis oknum aparat hukum terhadap warga negara menggunakan pedang hukum!” kata alumni PPRA-48 Lemhannas RI tahun 2012 mengomentari fenomena hukum acak-kadut itu beberapa waktu lalu.

Di tempat terpisah, pengacara kondang Dolfie Rompas, SH, MH mengatakan bahwa putusan majelis hakim di tingkat banding terhadap kasus kriminalisasi wartawan Arthur Mumu tidak sah dan otomatis batal demi hukum. “Suatu putusan yang nyata-nyata melanggar KUHAP, tidak sesuai prosedur, maka putusan tersebut cacat formil. Akibatnya, putusan itu dinyatakan tidak sah yang oleh karenanya harus batal demi hukum,” tegas Rompas, 16 Februari 2022 lalu.

KUHAP sudah memberikan ketentuan yang harus dipatuhi pada setiap tahapan proses hukum. Salah satunya adalah pemberian kesempatan kepada setiap orang yang berproses hukum di pengadilan untuk melakukan upaya-upaya hukum di setiap tingkatan peradilan untuk mendapatkan keadilan.

“Nah, ketika Arthur Mumu dihilangkan haknya untuk melakukan upaya banding karena pemberitahuan putusan sangat terlambat, bahkan terkesan tidak diberitahukan terlebih dahulu sebelum dinyatakan inkracht (berkekuatan hukum tetap – red), hal itu berarti ada tahapan hukum yang dilanggar oleh penyenggara peradilan yang mengadili kasus tersebut,” tambah pengacara nasional yang cukup terkenal di ibukota ini.

Pelanggaran terhadap KUHAP, lanjut Rompas, mengakibatkan sebuah proses peradilan cacat formil, dan pada akhirnya berakibat putusan yang dihasilkan dapat dinyatakan tidak sah. “Putusan banding atas wartawan Arthur Mumu jelas tidak sah dan harus batal demi hukum,” ujar Dolfie Rompas menegaskan lagi.

Menyikapi putusan yang secara faktual cacat formil dan tidak sah itu, Ketua Umum PPWI, Wilson Lalengke, S.Pd, M.Sc, MA, menyerukan perlawanan terhadap kezaliman hukum yang sedang ditimpakan kepada anggotanya Arthur Mumu. Menurutnya, di sebuah negara hukum seperti Indonesia, kita wajib menghormati hukum dan putusan-putusan hukum yang ada, namun tentunya hanya terhadap hukum yang dilaksanakan melalui prosedur yang benar sesuai dengan aturan dan koridor hukum itu sendiri.

“Sebaliknya, kita wajib menolak hukum yang prosesnya dilaksanakan sekehendak hati dan sewenang-wenang oleh para oknum pelaksana hukum yang marak terjadi di negara ini. Mentaati dan menjalani putusan hakim yang ditetapkan secara serampangan, tidak mengikuti aturan yang telah ditetapkan dalam KUHAP, merupakan penghianatan dan dosa besar terhadap hukum, kebenaran, dan keadilan. Hanya satu kata: LAWAN!” beber Lalengke dengan tegas kepada ratusan media yang tergabung dalam jaringan PPWI Media Group, Jumat, 18 Februari 2022.

Lulusan pasca sarjana bidang Etika Global dan Etika Terapan dari tiga universitas terbaik di Eropa itu selanjutnya menghimbau kepada para penegak hukum yang diberi tugas sebagai polisi, jaksa, hakim, dan pengacara, agar bekerja secara profesional untuk menemukan kebenaran formil dan materil pada setiap perkara yang ditangani. “Kita sangat berharap agar semua aparat penegak hukum, baik di lembaga kepolisian maupun kejaksaan dan kehakiman, serta termasuk para pengacara, agar bekerja dengan baik dan profesional, tidak terintimidasi oleh kekuasaan dan keuangan. Mereka harus bekerja menemukan kebenaran di setiap perkara yang ditangani, demi menghadirkan keadilan bagi setiap pencari keadilan di lembaga-lembaga peradilan di negeri ini,” tutup Lalengke penuh harap. (APL/Red)

Post a Comment

0 Comments