Di Negara Aung San Suu Kyi, Myanmar Muslim tak Punya Hak Pilih


Di Negara Aung San Suu Kyi, Myanmar Muslim tak Punya Hak Pilih

IMPIANNEWS.COM (Myanmar).

Aung San Suu Kyi sejatinya dielukan sebagai salah satu tokoh demokrasi di Asia asal Myanmar.

 Namun sosok populer itu sempat disorot lantaran minim menyuarakan diskriminasi terhadap kaum minoritas Muslim, yang bahkan tak diakui sebagai warga negara.

Aung San Suu Kyi sendiri saat ini menjabat sebagai Kepala Pemerintahan Myanmar. Ia juga telah menyatakan akan mencalonkan diri kembali di kepemimpinan periode kedua.
Hal itu disampaikan Suu Kyi secara resmi pada Selasa, 4 Agustus 2020 lalu.

Aung San Suu Kyi, sebagaimana dikenal luas selama ini, merupakan salah satu figur paling berpengaruh di Myanmar.

Sejak muda, Suu Kyi terlibat aktif dalam memperjuangkan demokrasi di Myanmar.

Sepak terjangnya itu mengantarkannya pada penghargaan Nobel Perdamaian dan belakangan posisi Kepala Pemerintahan atau Konsuler Negara Myanmar di tahun 2016.

Namun hal berbeda ditunjukkan Suu Kyi, ketika diskriminasi berlaku terhadap kaum minoritas Muslim, seperti etnis Rohingya.

Bahkan Suu Kyi pernah menyebut, jika Rohingya hanya melebih-lebihkan saja soal Myanmar hendak menghabisi mereka.

Tak punya KTP dan Hak Pilih

Di sisi lain, kebijakan pemerintahan berkuasa Myanmar yang sangat diskriminatif turut berdampak terhadap pelaksanaan pemilihan umum legislatif. Di saat lima juta kaum muda Myanmar bersiap mencoblos untuk kali pertama dalam pemilihan umum legislatif, November mendatang.

Tapi bagi May Thandar Maung situasinya berbeda. Penyebabnya, remaja perempuan berusia 18 tahun itu adalah seorang muslim.

“Dengan status agama saya, saya tidak bisa mendapatkan kartu tanda penduduk,” kata dia kepada AFP di Meiktila, dikutip detikcom.

Dia mengeluhkan betapa pejabat lokal menunda permohonannya selama lebih dari setahun, sementara milik temannya yang beragama Buddha diproses cepat.
Ironisnya, Meiktila pernah menjadi ladang kerusuhan berdarah antarwarga pada 2013.

Negeri berpenduduk mayoritas Buddhis itu diperkirakan bakal mengembalikan partai Aung San Suu Kyi, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), ke kekuasaan pada 8 November mendatang.

Pemilu ini adalah kali kedua Myanmar menggelar pesta demokrasi sejak berakhirnya kekuasaan junta militer tahun 2011 silam.

Anti-Muslim

Warga etnis Rohingya di kamp-kamp pengungsian di Bangladesh atau di negara bagian Rakhine dipastikan tidak akan mendapat hak mencoblos.

 Sementara warga muslim dari etnis lain, meski diakui sebagai warga negara, tetap kesulitan mendapat kartu identitas.

Warga muslim mengeluhkan praktik korupsi, di mana mereka harus membayar ratusan Dollar AS, untuk mendapat KTP. Tiga anggota keluarga May Thandar Maung harus membayar US$ 370 masing-masing, kata sang ayah, Maung Cho, yang berusia 53 tahun.

Jumlah yang diminta dari warga muslim diklaim jauh lebih besar ketimbang ‘uang teh’ yang biasa dibayarkan warga mayoritas.

Pengalaman itu digemakan oleh warga muslim di seluruh negeri, kata analis politik David Mathieson di Yangon. 

“Sentimen antimuslim muncul dalam bentuk diskriminasi di sekolah, tempat kerja atau dalam mendapat akses untuk pekerjaan di pemerintahan,” katanya.

Mereka yang sudah mendapat KTP pun berpotensi didiskriminasi, lantaran kartu identitas di Myanmar mencantumkan asal usul etnis.

 Ketika Maung Cho mendapat kartu identitasnya, di sana tertulis dia beretnik “India-Muslim.”
“Pasti karena janggut saya,” kata dia.

Seperti warga “berdarah campuran” yang lain, dia harus menjalani pemeriksaan yang lebih ketat, bahkan mengantri di jalur khusus ketika berada di kantor imigrasi.

Nasib serupa dialami warga Hindu-Myanmar yang berjumlah 250.000 orang. Tun Min, 28, misalnya harus menunggu 10 tahun untuk mendapat kartu identitas.

 Belum lama ini dia mengunggah video di Facebook untuk mengisahkan diskriminasi yang dialami penduduk minoritas.

“Saya mengemudikan taksi selama delapan tahun, tapi hanya bisa bekerja malam hari, karena saya tidak bisa mendapat surat izin mengemudi tanpa kartu identitas,” ujarnya.

Kebencian antar etnis

Label paling merugikan adalah “Bengali,” istilah yang ramai digunakan warga mayoritas di Myanmar untuk kaum Rohingya.

Sebanyak 600.000 warga Rohingya yang bertahan di Myanmar hidup dalam kondisi “apartheid,” seperti yang digambarkan Amnesty International. Kewarganegaraan dan hak sipil mereka tidak diakui pemerintah.

Mathieson mengatakan ada berbagai laporan dari berbagai warga muslim dari etnis lain yang juga dipaksa untuk mengadopsi Bengali sebagai identitas etnisnya.

 Dia mengatakan birokrasi di Myanmar “rasis dan diskriminatif.”
Seorang pejabat imigrasi yang tidak ingin disebut namanya, membantah tuduhan korupsi dan diskriminasi. 

Kepada AFP, dia mengklaim kartu identitas diberikan sesuai hukum yang berlaku.

Namun buat Maung Cho, rasisme terhadap warga muslim kini lebih parah ketimbang di era kekuasaan junta militer. Dia mengatakan warga muslim “kecewa dan mengalami depresi.”

Saat ini kampanye untuk memboikot pemilihan umum terus berkembang di Myanmar.

Saat ini hanya ada dua kandidat Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) yang beragamakan Islam.

 Sithu Maung termasuk 1,143 bakal calon anggota legislatif dalam pemilu mendatang. Pada 2015 silam, NLD tidak mengajukan bakal calon beragama Islam sama sekali.

Bekas tahanan politik itu membantah situasi saat ini lebih parah ketimbang di zaman kekuasaan militer. “Mereka sebaiknya merasa optimis untuk masa depan. NLD baru berkuasa sejak lima tahun.”

Tapi optimisme sulit tumbuh di kalangan warga minoritas seperti May Thandar Maung, “meski saya dilahirkan di sini, saya tidak bisa memilih dan itu adalah diskriminasi,” kata dia. (*)