Catatan Yusuf Aunur Sabri, SH, "Membaca Kembali Sejarah Pers"

(Penyusun Bahan Siaran Kankemenag Kab.Pasaman).

Mengingat Hari Pers Nasional (HPN) Tahun 2018 yang puncaknya tanggal 9 Januari mendatang di Sumatera Barat, diharapkan pers di nusantara ini semakin eksis dan profesional dalam menyampaikan informasi yang akurat, edukatif dan mencerdaskan, berkualitas, berdasar dan faktual kepada masyarakat.

Sebelumnya, mari kita membaca kembali sekelumit sejarah pers di Indonesia termasuk di ranah Minangkabau Sumatera Barat.

Pers adalah badan yang membuat penerbitan media massa secara berkala.Secara etimologis, kata Pers (Belanda), atau Press (inggris), ataupresse (prancis), berasal dari bahasa latin, perssare dari kata premere, yang berarti “Tekan” atau “Cetak”, definisi terminologisnya adalah “media massa cetak” atau “media cetak”. 

Media massa, menurut Gamle & Gamle adalah bagian komunikasi antara manusia (human communication), dalam arti, media merupakan saluran atau sarana untuk memperluas dan memperjauh jangkauan proses penyampaian pesan antar manusia.

Pers di Indonesia telah mulai tumbuh sejak sebelum kemerdekaan Indonesia, yaitu sejak jaman penjajahan Belanda, tak bisa dipungkiri pers mengambil bagian yang cukup penting dalam kancah perpolitikan di Indonesia. 

Berikut ini akan pakar komunikasi jabarkan mengenai perkembangan pers di Indonesia  Pada masa sekarang dan dahulu kebebasan pers sangat berbeda. Secara umum, orang sering menyamakan antara pers dengan jurnalistik. Oleh untuk itu perlu ditelusuri sejarah jurnalistik terlebih dahulu.

Pers di Indonesia juga memiliki undang – undang yang mengatur tentang kebebasan pers. Undang – undang kebebasan pers tersebut tertera di dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers pasal 4 di dalam ayat 1 disebutkan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara, ayat kedua bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran, ayat ketiga bahwa untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi dan ayat keempat bahwa dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak bahkan dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 disebutkan antara lain dalam pasal 28F bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

Pers Dari Masa Ke Masa

1. Pers pada zaman hindia Belanda (1744 sampai awal abad ke 19 )
Tentang awal mula dimulainya dunia persuratkabaran di tanah air kita ini, Dr. De Haan dalam bukunya, “Oud Batavia” (G. Kolf Batavia 1923), mengungkap secara sekilas bahwa sejak abad 17 di Batavia sudah terbit sejumlah berkala dan surat kabar. 

Dikatakannya, bahwa pada tahun 1676 di Batavia telah terbit sebuah berkala bernama Kort Bericht Eropa (berita singkat dari Eropa). Berkala yang memuat berbagai berita dari Polandia, Prancis, Jerman, Belanda, Spanyol, Inggris, dan Denmark ini, dicetak di Batavia oleh Abraham Van den Eede tahun 1676. 

Setelah itu terbit pula Bataviase Nouvelles pada bulan Oktober 1744, Vendu Nieuws pada tanggal 23 Mei 1780, sedangkan Bataviasche Koloniale Courant tercatat sebagai surat kabar pertama yang terbit di Batavia tahun 1810.

Kemudian dunia pers semakin menghangat ketika terbitnya “Medan Prijaji” pada tahun 1903, sebuah surat kabar pertama yang dikelola kaum pribumi. 

Munculnya surat kabar ini bisa dikatakan merupakan masa permulaan bangsa kita terjun dalam dunia pers yang berbau politik.

 Pemerintah Belanda menyebutnya Inheemsche Pers (Pers Bumiputra). Pemimpin redaksinya yakni R. M. Tirtoadisuryo yang dijuluki Nestor Jurnalistik ini menyadari bahwa surat kabar adalah alat penting untuk menyuarakan aspirasi masyarakat. 

Dia boleh dikata merupakan bangsa kita yang memelopori kebebasan.
Hadirnya Medan Prujaji telah disambut hangat oleh bangsa kita, terutama kaum pergerakan yang mendambakan kebebasan mengeluarkan pendapat. 

Buktinya tidak lama kemudian Tjokroaminoto dari “Sarikat Islam” telah menerbitkan harianOetoesan Hindia. Nama Samaun (golongan kiri) muncul dengan korannya yang namanya cukup revolusioner yakni Api, Halilintar dan Nyala. Suwardi Suryaningrat alias Ki Hajar Dewantara juga telah mengeluarkan koran dengan nama yang tidak kalah galaknya, yakni Guntur Bergerak dan Hindia Bergerak.

 Sementara itu di Padangsidempuan, Parada Harahap membuat harian Benih Merdeka dan Sinar Merdeka pada tahun 1918 dan 1922. Dan, Bung Karno pun tidak ketinggalan pula telah memimpin harian Suara Rakyat Indonesia dan Sinar Merdeka di tahun 1926. 

Tercatat pula nama harian Sinar Hindia yang kemudian diganti menjadi Sinar Indonesia.
2. Pers di masa Penjajahan Jepang (1942 – 1945)
Era ini berlangsung dari 1942 hingga 1945. orang-orang surat kabar (pers) Indonesia banyak yang berjuang tidak dengan ketajaman penanya melainkan dengan jalan lain seperti organisasi keagamaan , pendidikan dan politik. 

Hal ini menunjukkan bahwa di masa Jepang pers Indonesia tertekan. Surat kabar yang beredar pada zaman penjajahan Belanda dilarang beredar. 

Pada era ini pers Indonesia mengalami kemajuan dalam hal teknis namun juga mulai diberlakukannya izin penerbitan pers. namun surat kabar-surat kabar Indonesia yang semula berusaha dan berdiri sendiri dipaksa bergabung menjadi satu, dan segala bidang usahanya disesuaikan dengan rencana-rencana serta tujuan-tujuan tentara Jepang untuk memenangkan apa yang mereka namakan “Dai Toa Senso” atau Perang Asia Timur Raya. 

Dengan demikian, di zaman pendudukan Jepang pers merupakan alat Jepang. Kabar-kabar dan karangan-karangan yang dimuat hanyalah pro-Jepang semata.

Selain itu Jepang juga mendirikan Jawa Shinbun Kai dan cabang kantor berita Domei dengan menggabungkan dua kantor berita yang ada di Indonesia yakni Aneta dan Antara.

Selama masa ini, terbit beberapa media (harian), yaitu: Asia Raya di Jakarta, Sinar Baru di Semarang, Suara Asia di Surabaya, Tjahaya di Bandung.

Dengan munculnya ide bahwa beberapa surat kabar sunda bersatu untuk menerbitkan surat kabar baru Tjahaja (Otista), beberapa surat kabar di Sumatera dimatikan dan dibuat di Padang Nippo (melayu), dan Sumatera Shimbun (Jepang-Kanji).

Dalam kegiatan penting mengenai kenegaraan dan kebangsaan Indonesia, sejak persiapan sampai pencetusan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, sejumlah wartawan pejuang dan pejuang wartawan turut aktif terlibat di dalamnya. Di samping Soekarno, dan Hatta, tercatat antara lain Sukardjo Wirjopranoto, Iwa Kusumasumantri, Ki Hajar Dewantara, Otto Iskandar Dinata, G.S.S Ratulangi, Adam Malik, BM Diah, Sjuti Melik, Sutan Sjahrir, dan lain-lain.

3. Pers dimasa Orde Lama atau Pers Terpimpin (1957 – 1965)
Lebih kurang 10 hari setelah Dekrit Presiden RI menyatakan kembali ke UUD 1945, tindakan tekanan pers terus berlangsung, yaitu pembredelan terhadap kantor berita PIA dan surat kabar Republik, Pedoman, Berita Indonesia, dan Sin Po dilakukan oleh penguasa perang Jakarta. 

Hal ini tercermin dari pidato Menteri Muda Penerangan Maladi dalam menyambut HUT Proklamasi Kemerdckaan RI ke-14, antara lain: “Hak kebebasan individu disesuaikan dengan hak kolektif seluruh bangsa dalam melaksanakan kedaulatan rakyat. Hak berpikir, menyatakan pendapat, dan memperoleh penghasilan sebagaimana dijamin UUD 1945 harus ada batasnya: keamanan negara, kepentingan bangsa, moral dan kepribadian Indonesia, serta tanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa”.

Awal tahun 1960 penekanan kebebasan pers diawali dengan peringatan Menteri Muda Maladi bahwa “langkah-langkah tegas akan dilakukan terhadap surat kabar, majalah-majalah, dan kantor-kantor berita yang tidak menaati peraturan yang diperlukan dalam usaha menerbitkan pers nasional”. Masih tahun 1960 penguasa perang mulai mengenakan sanksi-sanksi perizinan terhadap pers.

Tahun 1964 kondisi kebebasan pers makin buruk: digambarkan oleh E.C. Smith dengan mengutip dari Army Handbook bahwa Kementerian Penerangan dan badan-badannya mengontrol semua kegiatan pers. Perubahan ada hampir tidak lebih sekedar perubahan sumber wewenang, karena sensor tetap ketat dan dilakukan secara sepihak.

4.  Perkembangan Pers Pada Masa Orde Baru
Pada awal kekuasaan orde baru, Indonesia dijanjikan akan keterbukaan serta kebebasan dalam berpendapat. Masyarakat saat itu bersuka-cita menyambut pemerintahan Soeharto yang diharapkanakan mengubah keterpurukan pemerintahan orde lama.

Pemerintah pada saat itu harus melakukan pemulihan di segala aspek, antara lain aspek ekonomi, politik, social, budaya, dan psikologis rakyat.Indonesia mulai bangkit sedikit demi sedikit, bahkan perkembangan ekonomi pun semakin pesat. Namun sangat tragis, bagi dunia pers di Indonesia.

 Dunia pers yang seharusnya bersuka cita menyambut kebebasan pada masa orde baru, malah sebaliknya. Pers mendapat berbagai tekanan dari pemerintah. Tidak ada kebebasan dalam menerbitkan berita-berita miring seputar pemerintah. Bila ada maka media massa tersebut akan mendapatkan peringatan keras dari pemerintah yangtentunya akan mengancam penerbitannya.

Pada masa orde baru, segala penerbitan di media massa berada dalam pengawasan pemerintah yaitu melalui departemen penerangan. Bila ingin tetap hidup, maka media massa tersebut harus memberitakan hal-hal yang baik tentang pemerintahan orde baru. Pers seakan-akan dijadikan alat pemerintah untuk mempertahankan kekuasaannya, sehingga pers tidak menjalankan fungsi yang sesungguhnya yaitu sebagai pendukung dan pembela masyarakat.“Pada masa orde baru pers Indonesia disebut sebagai pers pancasila. Cirinya adalah bebas dan bertanggungjawab”. (Tebba, 2005 : 22).

Namun pada kenyataannya tidak ada kebebasan sama sekali, bahkan yang ada malah pembredelan. Tanggal 21 Juni 1994, beberapa media massa seperti Tempo, deTIK, dan editor dicabut surat izin penerbitannya atau dengan kata lain dibredel setelah mereka mengeluarkan laporan investigasi tentang berbagai masalah penyelewengan oleh pejabat-pejabat Negara.

Sesuai UU Pers Nomor 40 tahun1999, dewan pers adalah lembaga independen yang dibentuk sebagai bagian dari upaya untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional .Ada tujuh fungsi dewan pers yang diamanatkan UU, diantaranya :

1. Melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain, bisa pemerintah dan jugamasyarakat.

2. Melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers.

3. Menetapkan dan mengawasi pelaksanaan kode etik jurnalistik.

4. Memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers.

5. Mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat adn pemerintah.

6. Memfasilitasi organisasi pers dalam menyusun peraturan di bidang pers dan meningkatkankualitas profesi wartawan.

7. Mendata perusahaan pers.
Seharusnya pers selain mempengaruhi masyarakat, pers juga bisa mempengaruhi pemerintah. Karena pengertian secara missal itu adalah seluruh lapisan masyarakat baik itu pemerintah maupun masyarakat. Namun di Era Orde Baru, dewan pers memang gagal meningkatkan kehidupan pers nasional, sehingga dunia pers hanya terbelenggu oleh kekuasaan oleh kekuasaan Orde Baru tanpa bisa memperjuangkan hak-haknya.

5. Pers di masa pasca Reformasi
Pada tanggal 21 Mei 1998 orde baru tumbang dan mulailah era reformasi. Tuntutan reformasi bergema ke semua sektor kehidupan, termasuk sektor kehidupan pers. Selama rezim orde lama dan ditambah dengan 32 tahun di bawah rezim orde baru, pers Indonesia tidak berdaya karena senantiasa ada di bawah bayang-bayang ancaman pencabutah surat izin terbit.

Sejak masa reformasi tahun 1998, pers nasional kembali menikmati kebebasan pers. Hal ini sejalan dengan alam reformasi, keterbukaan, dan demokrasi yang diperjuangkan rakyat Indonesia. Akibatnya, awal reformasi banyak bermunculan penerbitan pers atau koran, majalah, atau tabloid baru.

Di Era reformasi pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang pers.

Hal ini disambut gembira dikalangan pers, karena tercatat beberapa kemajuan penting dibanding dengan undang-undang sebelumnya, yaitu Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982 tentang Pokok-Pokok Pers (UUPP).

Dalam Undang-Undang ini, dengan tegas dijamin adanya kemerdekaan pers sebagai hak asasi warga negara (pasal 4). Itulah sebabnya mengapa tidak lagi disinggung perlu tidaknya surat ijin terbit, yaitu terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, dan pelarangan penyiaran sebagaimana tercantum dalam pasal 4 ayat 2.
Pada masa reformasi, Undang-Undang tentang pers No. 40 1999, maka pers nasional melaksanakan peranan sebagai berikut:

Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui dan mendapatkan informasi.

Menegakkan nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi manusia, serta menghormati kebhinekaan.

Mengembangkan pendapat umum berdasar informasi yang tepat, akurat, dan benar.
Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.

Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai hak tolak. Tujuannya agar wartawan dapat melindungi sumber informasi, dengan cara menolak menyebutkan identitas sumber informasi. Hal ini digunakan jika wartawan dimintai keterangan pejabat penyidik atau dimintai mnejadi saksi di pengadilan.

Media massa adalah suatu alat yang digunakan seseorang untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat luas. Media massa juga merupakan media yang selalu menjadi perhatian masyarakat.

 kehidupan masyarakat pada masa sekarang ini hampir tidak pernah lepas dari media massa baik itu televisi, Koran, radio, atau internet.
Keefektifan serta peranannya yang begitu hebat menjadikan media massa menjadi salah satu komponen penting bagi pembentukan kepribadian masyarakat.

Perkembangan Pers di Sumatera Barat Era Orde Baru
Di Sumatera Barat, angin surga yang dihembuskan Orde Baru mengenai kebebasan pers ditandai dengan kembali diterbitkannya Harian Haluan pada tahun 1964 yang pernah dibreidel pada masa pemerintahan Orde Lama akibat pemberitaannya yang dianggap dapat merongrong kekuasaan Soekarno (Khairul Jasmi, 2002:35). Selain itu, bagi pengusaha pers ditingkat lokal, angin surga itu juga dimanfaatkan untuk mendirikan industri pers di Ranah Minang ini, seperti Harian Singgalang yang mulai terbit pada tahun 1968.

Dalam sejarahnya, kurun waktu dari tahun 1966 sampai dengan 1974 merupakan masa “bulan madu” antara pers dengan pemerintah Orde Baru.

Pada periode ini hampir tidak pernah dijumpai tindakan kekerasan pemerintah terhadap pers, termasuk terhadap pers di Sumatera Barat.

 Namun masa indah tersebut tidak berlangsung lama. Tahun 1975, Orde Baru berubah menjadi orde otoriter dan tidak lagi menjalankan tekadnya yang semula, yakni: “melaksanakan UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen” (Susanto Pudjomartono, 1998:7).

Salah satu penyimpangan yang dilakukannya adalah kebebasan pers mulai dikekang dan industri pers mulai dibayang-bayangi kasus pembreidelan kembali. Pemerintah bahkan kembali mengeluarkan ketentuan baru yang semakin mengatur kehidupan pers yang membawa pengaruh bagi perkembangan pers, termasuk perkembangan pers di Sumatera Barat.

Ketatnya pengawasan pemerintah terhadap pers pada masa Orde Baru, termasuk terhadap pers di Sumatera Barat, terlihat dengan keluarnya berbagai kebijakan yang mengharuskan pemberitaan pers menyesuaikan diri dengan aturan dan pandangan pemerintah.

 Akibatnya, selama bertahun-tahun masyarakat Sumatera Barat hanya dapat menikmati berita yang sudah diatur sesuai dengan keinginan penguasa, sehingga banyak dari berita-berita tersebut yang mengalami “kabur makna” akibat eufemisme atau penyopanan bahasa.

Bahkan pers di Sumatera Barat wajib mencantumkan kesuksesan pelaksanaan pembangunan yang dilaksanakan era Orde Baru melalui apa yang disebut dengan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) dalam setiap pemberitaannya.

Dengan adanya berbagai kebijakan tersebut, industri pers di Sumatera Barat tidak mengalami perkembangan selama masa Orde Baru.

Hal ini dibuktikan dengan hanya 6 (enam) surat kabar yang terbit di Ranah Minang ini, yakni Harian Semangat, Mingguan Canang, Harian Haluan, Limbago, Tuah Sakato dan Harian Singgalang (http://www.sumbaronline.com). Keenam media massa itupun mengikuti ketentuan dan aturan yang telah ditetapkan dari pusat.

 Kontrol terhadap pers di Sumatera Barat dilakukan oleh pejabat daerah, yang meliputi Departemen Penerangan, pemerintah daerah, dan pihak terkait lainnya, termasuk militer.

Era Reformasi
Tiga puluh tahun lebih di bawah rezim Orde Baru telah memberikan banyak pelajaran buat media massa Indonesia, khususnya di Sumatera Barat. Pertama, ternyata pers tidak bisa mengandalkan pada undang-undang serta “belas kasihan” penguasa untuk menjamin kemerdekaan pers, kemerdekaan menyatakan pendapat, dan kemerdekaan berserikat.

 Pengalaman menunjukkan bahwa Pasal 28 UUD 1945 dan Pasal 4 UU Pokok Pers (Pasal 4 UU Pokok Pers menyatakan bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan sensor dan pembreidelan) ternyata bisa dijadikan “hiasan” belaka dan tidak dilaksanakan dengan baik akibat dihalangi oleh aturan SIUPP serta aturan pembreidelan demi “stabilitas nasional”.

Kedua, selalu ada kecenderungan dari penguasa untuk membatasi dan mengontrol pers, terutama bila penguasa itu menjauhi sistem demokrasi.

Hal ini terbukti pada pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru. Ketiga, “hak asasi pers” harus diperjuangkan dan direbut, terutama oleh pers itu sendiri, serta harus dilakukan secara terus menerus.

 Apabila telah direbut, harus dipertahankan dan dijaga demi ikut memperjuangkan dan menciptakan kehidupan demokrasi sehingga pengalaman pada orde sebelumnya tidak terulang kembali.

Dengan adanya kebebasan pers, industri surat kabar di Ranah Minang ini mengalami perkembangan yang cukup pesat.

 Hal itu dapat dilihat berdasarkan fakta sebagai berikut: dari tahun 1996-1998 (Orde Baru) pertumbuhan industri pers di Sumatera Barat hanya sebesar 7,44%, sedangkan tahun 1999-2001 (era Reformasi) pertumbuhan industri pers di Sumatera Barat meningkat sebesar 14% (Gamawan Fauzi, 2002:71).

Fakta selanjutnya menyatakan bahwa hingga tahun 2002 sudah ada 23 media lokal yang terbit di Sumatera Barat (Khairul Jasmi, 2002:15).

Bahkan pada tahun 2003 jumlah total media cetak yang ada di Sumatera Barat sebanyak 52 penerbitan, seperti yang terlihat dalam tabel 1 berikut ini :

Tabel 1
Media Cetak yang terbit di Sumatera Barat hingga Tahun 2003
No Nama Media Terbit Kondisi Saat ini Jenis Segmen
1 Haluan 1948 Terbit Harian Umum
2 Singgalang 1968 Terbit Harian Umum
3 Semangat 1971 Tidak terbit Harian Umum
4 Canang 1980 Terbit Mingguan Umum
5 Limbago 1994 Tidak terbit Bulanan Adat & kebudayaan
6 Tuah Sakato 1998 Terbit Bulanan Pemda Sumbar
7 Mimbar Minang 1999 Terbit Harian Umum
8 Padang Ekspress 1999 Terbit Harian Umum
9 Merapi 1999 Tidak terbit Mingguan Umum
10 Bijak 1999 Tidak terbit Mingguan Umum
11 Zaman 2000 Terbit Mingguan Umum
12 Sumbar Mandiri 2000 Tidak terbit Harian Umum
13 Semangat Demokrasi 2000 Tidak terbit Harian Umum
14 Bukittinggi Pos 2000 Tidak terbit Mingguan Umum
15 Painan Pos 2000 Tidak terbit Mingguan Umum
16 Pariaman Pos 2000 Tidak terbit Mingguan Umum
17 Padang Pos 2000 Tidak terbit Mingguan Umum
18 Mentawai Pos 2000 Tidak terbit Mingguan Umum
19 Saja 2000 Tidak terbit Mingguan Kebudayaan
20 Identitas 2000 Tidak terbit Mingguan Umum
21 Berita Sumatera 2000 Tidak terbit Mingguan Umum
22 Warta Minang 2000 Tidak terbit Mingguan Umum
23 Prestasi 2000 Tidak terbit Mingguan Olah Raga
24 Al-Hidayah 2000 Tidak terbit Mingguan Umum
25 Gelora 2000 Tidak terbit Mingguan Olah Raga
26 Khatulistiwa 2000 Tidak terbit Mingguan Umum
27 Pandeka 2000 Tidak terbit Bulanan Agama Islam
28 Pos Metro Padang 2001 Terbit Harian Umum & Kriminal
29 Pualigoubuat 2001 Terbit Mingguan Umum
30 Sumatera Ekspres 2001 Terbit Mingguan Umum
31 Serambi Pos 2001 Tidak terbit Mingguan Umum
32 Target 2001 Tidak terbit Mingguan Umum
33 Surau 2001 Tidak terbit Mingguan Umum
34 Bonsu 2001 Tidak terbit Mingguan Umum
35 Solid 2001 Tidak terbit Mingguan Umum
36 Surprise 2001 Tidak terbit Mingguan Siswa/remaja
37 Pagaruyung 2001 Tidak terbit 2 Mingguan Umum
38 Publik 2002 Terbit Mingguan Umum
39 Garda Minang 2002 Terbit Mingguan Umum
40 Sinamar 2002 Terbit Bulanan Pemda 50 Kota
41 Supel 2002 Tidak terbit 2 x sebulan Pendidikan
42 Forum Bisnis 2002 Tidak terbit Mingguan Ekonomi
43 Rakyat Mandiri 2002 Tidak terbit Mingguan Umum
44 Gonjong Limo 2002 Tidak terbit Mingguan Umum
45 SAI 2002 Tidak terbit Mingguan Anak
46 Suporter 2002 Tidak terbit Mingguan Umum
47 Saga 2002 Tidak terbit Bulanan Umum
48 Bisnis Minang 2002 Tidak terbit Mingguan Ekonomi
49 Media Sumatera Barat 2003 Terbit Mingguan Umum
50 Sasaraina 2003 Terbit 3 bulanan Umum
51 Mitra Dharma 2003 Tidak terbit Mingguan Pendidikan
Sumber:

 http://www.sumbaronline.com.
Perkembangan pers di Sumatera Barat hingga tahun 2003 tampaknya tidak diimbangi oleh kemampuan untuk bertahan. Hal ini terlihat dari beberapa penerbitan yang baru lahir kemudian gagal untuk tetap eksis di dunia persuratkabaran akibat persaingan yang semakin kompetitif.

Data dalam tabel 1 di atas memperlihatkan bahwa media massa yang terbit secara berkala hingga tahun 2003 di Sumatera Barat tidak lebih dari 30% atau sekitar 15 penerbitan.

Sedangkan 6 media massa yang terbit sebelum reformasi, hanya 3 yang mampu untuk tetap eksis, yakni Harian Haluan, Harian Singgalang, dan Mingguan Tuah Sakato. (dikutip dari berbagai sumber) pers sangat berbeda. Secara umum, orang sering menyamakan antara pers dengan jurnalistik. Oleh untuk itu perlu ditelusuri sejarah jurnalistik terlebih dahulu.

Pers di Indonesia juga memiliki undang – undang yang mengatur tentang kebebasan pers. Undang – undang kebebasan pers tersebut tertera di dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers pasal 4 di dalam ayat 1 disebutkan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara, ayat kedua bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran, ayat ketiga bahwa untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi dan ayat keempat bahwa dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak bahkan dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 disebutkan antara lain dalam pasal 28F bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

Pers Dari Masa Ke Masa

1. Pers pada zaman hindia Belanda (1744 sampai awal abad ke 19 )
Tentang awal mula dimulainya dunia persuratkabaran di tanah air kita ini, Dr. De Haan dalam bukunya, “Oud Batavia” (G. Kolf Batavia 1923), mengungkap secara sekilas bahwa sejak abad 17 di Batavia sudah terbit sejumlah berkala dan surat kabar.

Dikatakannya, bahwa pada tahun 1676 di Batavia telah terbit sebuah berkala bernama Kort Bericht Eropa (berita singkat dari Eropa). Berkala yang memuat berbagai berita dari Polandia, Prancis, Jerman, Belanda, Spanyol, Inggris, dan Denmark ini, dicetak di Batavia oleh Abraham Van den Eede tahun 1676.

Setelah itu terbit pula Bataviase Nouvelles pada bulan Oktober 1744, Vendu Nieuws pada tanggal 23 Mei 1780, sedangkan Bataviasche Koloniale Courant tercatat sebagai surat kabar pertama yang terbit di Batavia tahun 1810.

Kemudian dunia pers semakin menghangat ketika terbitnya “Medan Prijaji” pada tahun 1903, sebuah surat kabar pertama yang dikelola kaum pribumi.

Munculnya surat kabar ini bisa dikatakan merupakan masa permulaan bangsa kita terjun dalam dunia pers yang berbau politik.

 Pemerintah Belanda menyebutnya Inheemsche Pers (Pers Bumiputra). Pemimpin redaksinya yakni R. M. Tirtoadisuryo yang dijuluki Nestor Jurnalistik ini menyadari bahwa surat kabar adalah alat penting untuk menyuarakan aspirasi masyarakat.

Dia boleh dikata merupakan bangsa kita yang memelopori kebebasan.
Hadirnya Medan Prujaji telah disambut hangat oleh bangsa kita, terutama kaum pergerakan yang mendambakan kebebasan mengeluarkan pendapat.

Buktinya tidak lama kemudian Tjokroaminoto dari “Sarikat Islam” telah menerbitkan harianOetoesan Hindia. Nama Samaun (golongan kiri) muncul dengan korannya yang namanya cukup revolusioner yakni Api, Halilintar dan Nyala. Suwardi Suryaningrat alias Ki Hajar Dewantara juga telah mengeluarkan koran dengan nama yang tidak kalah galaknya, yakni Guntur Bergerak dan Hindia Bergerak.

 Sementara itu di Padangsidempuan, Parada Harahap membuat harian Benih Merdeka dan Sinar Merdeka pada tahun 1918 dan 1922. Dan, Bung Karno pun tidak ketinggalan pula telah memimpin harian Suara Rakyat Indonesia dan Sinar Merdeka di tahun 1926.

Tercatat pula nama harian Sinar Hindia yang kemudian diganti menjadi Sinar Indonesia.
2. Pers di masa Penjajahan Jepang (1942 – 1945)
Era ini berlangsung dari 1942 hingga 1945. orang-orang surat kabar (pers) Indonesia banyak yang berjuang tidak dengan ketajaman penanya melainkan dengan jalan lain seperti organisasi keagamaan , pendidikan dan politik.

Hal ini menunjukkan bahwa di masa Jepang pers Indonesia tertekan. Surat kabar yang beredar pada zaman penjajahan Belanda dilarang beredar.

Pada era ini pers Indonesia mengalami kemajuan dalam hal teknis namun juga mulai diberlakukannya izin penerbitan pers. namun surat kabar-surat kabar Indonesia yang semula berusaha dan berdiri sendiri dipaksa bergabung menjadi satu, dan segala bidang usahanya disesuaikan dengan rencana-rencana serta tujuan-tujuan tentara Jepang untuk memenangkan apa yang mereka namakan “Dai Toa Senso” atau Perang Asia Timur Raya.

Dengan demikian, di zaman pendudukan Jepang pers merupakan alat Jepang. Kabar-kabar dan karangan-karangan yang dimuat hanyalah pro-Jepang semata.

Selain itu Jepang juga mendirikan Jawa Shinbun Kai dan cabang kantor berita Domei dengan menggabungkan dua kantor berita yang ada di Indonesia yakni Aneta dan Antara.

Selama masa ini, terbit beberapa media (harian), yaitu: Asia Raya di Jakarta, Sinar Baru di Semarang, Suara Asia di Surabaya, Tjahaya di Bandung.

Dengan munculnya ide bahwa beberapa surat kabar sunda bersatu untuk menerbitkan surat kabar baru Tjahaja (Otista), beberapa surat kabar di Sumatera dimatikan dan dibuat di Padang Nippo (melayu), dan Sumatera Shimbun (Jepang-Kanji).

Dalam kegiatan penting mengenai kenegaraan dan kebangsaan Indonesia, sejak persiapan sampai pencetusan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, sejumlah wartawan pejuang dan pejuang wartawan turut aktif terlibat di dalamnya. Di samping Soekarno, dan Hatta, tercatat antara lain Sukardjo Wirjopranoto, Iwa Kusumasumantri, Ki Hajar Dewantara, Otto Iskandar Dinata, G.S.S Ratulangi, Adam Malik, BM Diah, Sjuti Melik, Sutan Sjahrir, dan lain-lain.

3. Pers dimasa Orde Lama atau Pers Terpimpin (1957 – 1965)
Lebih kurang 10 hari setelah Dekrit Presiden RI menyatakan kembali ke UUD 1945, tindakan tekanan pers terus berlangsung, yaitu pembredelan terhadap kantor berita PIA dan surat kabar Republik, Pedoman, Berita Indonesia, dan Sin Po dilakukan oleh penguasa perang Jakarta.

Hal ini tercermin dari pidato Menteri Muda Penerangan Maladi dalam menyambut HUT Proklamasi Kemerdckaan RI ke-14, antara lain: “Hak kebebasan individu disesuaikan dengan hak kolektif seluruh bangsa dalam melaksanakan kedaulatan rakyat. Hak berpikir, menyatakan pendapat, dan memperoleh penghasilan sebagaimana dijamin UUD 1945 harus ada batasnya: keamanan negara, kepentingan bangsa, moral dan kepribadian Indonesia, serta tanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa”.

Awal tahun 1960 penekanan kebebasan pers diawali dengan peringatan Menteri Muda Maladi bahwa “langkah-langkah tegas akan dilakukan terhadap surat kabar, majalah-majalah, dan kantor-kantor berita yang tidak menaati peraturan yang diperlukan dalam usaha menerbitkan pers nasional”. Masih tahun 1960 penguasa perang mulai mengenakan sanksi-sanksi perizinan terhadap pers.

Tahun 1964 kondisi kebebasan pers makin buruk: digambarkan oleh E.C. Smith dengan mengutip dari Army Handbook bahwa Kementerian Penerangan dan badan-badannya mengontrol semua kegiatan pers. Perubahan ada hampir tidak lebih sekedar perubahan sumber wewenang, karena sensor tetap ketat dan dilakukan secara sepihak.

4.  Perkembangan Pers Pada Masa Orde Baru
Pada awal kekuasaan orde baru, Indonesia dijanjikan akan keterbukaan serta kebebasan dalam berpendapat. Masyarakat saat itu bersuka-cita menyambut pemerintahan Soeharto yang diharapkanakan mengubah keterpurukan pemerintahan orde lama.

Pemerintah pada saat itu harus melakukan pemulihan di segala aspek, antara lain aspek ekonomi, politik, social, budaya, dan psikologis rakyat.Indonesia mulai bangkit sedikit demi sedikit, bahkan perkembangan ekonomi pun semakin pesat. Namun sangat tragis, bagi dunia pers di Indonesia.

 Dunia pers yang seharusnya bersuka cita menyambut kebebasan pada masa orde baru, malah sebaliknya. Pers mendapat berbagai tekanan dari pemerintah. Tidak ada kebebasan dalam menerbitkan berita-berita miring seputar pemerintah. Bila ada maka media massa tersebut akan mendapatkan peringatan keras dari pemerintah yangtentunya akan mengancam penerbitannya.

Pada masa orde baru, segala penerbitan di media massa berada dalam pengawasan pemerintah yaitu melalui departemen penerangan. Bila ingin tetap hidup, maka media massa tersebut harus memberitakan hal-hal yang baik tentang pemerintahan orde baru. Pers seakan-akan dijadikan alat pemerintah untuk mempertahankan kekuasaannya, sehingga pers tidak menjalankan fungsi yang sesungguhnya yaitu sebagai pendukung dan pembela masyarakat.“Pada masa orde baru pers Indonesia disebut sebagai pers pancasila. Cirinya adalah bebas dan bertanggungjawab”. (Tebba, 2005 : 22).

Namun pada kenyataannya tidak ada kebebasan sama sekali, bahkan yang ada malah pembredelan. Tanggal 21 Juni 1994, beberapa media massa seperti Tempo, deTIK, dan editor dicabut surat izin penerbitannya atau dengan kata lain dibredel setelah mereka mengeluarkan laporan investigasi tentang berbagai masalah penyelewengan oleh pejabat-pejabat Negara.

Sesuai UU Pers Nomor 40 tahun1999, dewan pers adalah lembaga independen yang dibentuk sebagai bagian dari upaya untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional .Ada tujuh fungsi dewan pers yang diamanatkan UU, diantaranya :

1. Melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain, bisa pemerintah dan jugamasyarakat.

2. Melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers.

3. Menetapkan dan mengawasi pelaksanaan kode etik jurnalistik.

4. Memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers.

5. Mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat adn pemerintah.

6. Memfasilitasi organisasi pers dalam menyusun peraturan di bidang pers dan meningkatkankualitas profesi wartawan.

7. Mendata perusahaan pers.
Seharusnya pers selain mempengaruhi masyarakat, pers juga bisa mempengaruhi pemerintah. Karena pengertian secara missal itu adalah seluruh lapisan masyarakat baik itu pemerintah maupun masyarakat. Namun di Era Orde Baru, dewan pers memang gagal meningkatkan kehidupan pers nasional, sehingga dunia pers hanya terbelenggu oleh kekuasaan oleh kekuasaan Orde Baru tanpa bisa memperjuangkan hak-haknya.

5. Pers di masa pasca Reformasi
Pada tanggal 21 Mei 1998 orde baru tumbang dan mulailah era reformasi. Tuntutan reformasi bergema ke semua sektor kehidupan, termasuk sektor kehidupan pers. Selama rezim orde lama dan ditambah dengan 32 tahun di bawah rezim orde baru, pers Indonesia tidak berdaya karena senantiasa ada di bawah bayang-bayang ancaman pencabutah surat izin terbit.

Sejak masa reformasi tahun 1998, pers nasional kembali menikmati kebebasan pers. Hal ini sejalan dengan alam reformasi, keterbukaan, dan demokrasi yang diperjuangkan rakyat Indonesia. Akibatnya, awal reformasi banyak bermunculan penerbitan pers atau koran, majalah, atau tabloid baru.

Di Era reformasi pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang pers.

Hal ini disambut gembira dikalangan pers, karena tercatat beberapa kemajuan penting dibanding dengan undang-undang sebelumnya, yaitu Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982 tentang Pokok-Pokok Pers (UUPP).

Dalam Undang-Undang ini, dengan tegas dijamin adanya kemerdekaan pers sebagai hak asasi warga negara (pasal 4). Itulah sebabnya mengapa tidak lagi disinggung perlu tidaknya surat ijin terbit, yaitu terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, dan pelarangan penyiaran sebagaimana tercantum dalam pasal 4 ayat 2.
Pada masa reformasi, Undang-Undang tentang pers No. 40 1999, maka pers nasional melaksanakan peranan sebagai berikut:

Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui dan mendapatkan informasi.

Menegakkan nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi manusia, serta menghormati kebhinekaan.

Mengembangkan pendapat umum berdasar informasi yang tepat, akurat, dan benar.
Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.

Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai hak tolak. Tujuannya agar wartawan dapat melindungi sumber informasi, dengan cara menolak menyebutkan identitas sumber informasi. Hal ini digunakan jika wartawan dimintai keterangan pejabat penyidik atau dimintai mnejadi saksi di pengadilan.

Media massa adalah suatu alat yang digunakan seseorang untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat luas. Media massa juga merupakan media yang selalu menjadi perhatian masyarakat.

 kehidupan masyarakat pada masa sekarang ini hampir tidak pernah lepas dari media massa baik itu televisi, Koran, radio, atau internet.
Keefektifan serta peranannya yang begitu hebat menjadikan media massa menjadi salah satu komponen penting bagi pembentukan kepribadian masyarakat.

Perkembangan Pers di Sumatera Barat Era Orde Baru
Di Sumatera Barat, angin surga yang dihembuskan Orde Baru mengenai kebebasan pers ditandai dengan kembali diterbitkannya Harian Haluan pada tahun 1964 yang pernah dibreidel pada masa pemerintahan Orde Lama akibat pemberitaannya yang dianggap dapat merongrong kekuasaan Soekarno (Khairul Jasmi, 2002:35). Selain itu, bagi pengusaha pers ditingkat lokal, angin surga itu juga dimanfaatkan untuk mendirikan industri pers di Ranah Minang ini, seperti Harian Singgalang yang mulai terbit pada tahun 1968.

Dalam sejarahnya, kurun waktu dari tahun 1966 sampai dengan 1974 merupakan masa “bulan madu” antara pers dengan pemerintah Orde Baru.

Pada periode ini hampir tidak pernah dijumpai tindakan kekerasan pemerintah terhadap pers, termasuk terhadap pers di Sumatera Barat.

 Namun masa indah tersebut tidak berlangsung lama. Tahun 1975, Orde Baru berubah menjadi orde otoriter dan tidak lagi menjalankan tekadnya yang semula, yakni: “melaksanakan UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen” (Susanto Pudjomartono, 1998:7).

Salah satu penyimpangan yang dilakukannya adalah kebebasan pers mulai dikekang dan industri pers mulai dibayang-bayangi kasus pembreidelan kembali. Pemerintah bahkan kembali mengeluarkan ketentuan baru yang semakin mengatur kehidupan pers yang membawa pengaruh bagi perkembangan pers, termasuk perkembangan pers di Sumatera Barat.

Ketatnya pengawasan pemerintah terhadap pers pada masa Orde Baru, termasuk terhadap pers di Sumatera Barat, terlihat dengan keluarnya berbagai kebijakan yang mengharuskan pemberitaan pers menyesuaikan diri dengan aturan dan pandangan pemerintah.

 Akibatnya, selama bertahun-tahun masyarakat Sumatera Barat hanya dapat menikmati berita yang sudah diatur sesuai dengan keinginan penguasa, sehingga banyak dari berita-berita tersebut yang mengalami “kabur makna” akibat eufemisme atau penyopanan bahasa.

Bahkan pers di Sumatera Barat wajib mencantumkan kesuksesan pelaksanaan pembangunan yang dilaksanakan era Orde Baru melalui apa yang disebut dengan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) dalam setiap pemberitaannya.

Dengan adanya berbagai kebijakan tersebut, industri pers di Sumatera Barat tidak mengalami perkembangan selama masa Orde Baru.

Hal ini dibuktikan dengan hanya 6 (enam) surat kabar yang terbit di Ranah Minang ini, yakni Harian Semangat, Mingguan Canang, Harian Haluan, Limbago, Tuah Sakato dan Harian Singgalang (http://www.sumbaronline.com). Keenam media massa itupun mengikuti ketentuan dan aturan yang telah ditetapkan dari pusat.

 Kontrol terhadap pers di Sumatera Barat dilakukan oleh pejabat daerah, yang meliputi Departemen Penerangan, pemerintah daerah, dan pihak terkait lainnya, termasuk militer.

Era Reformasi
Tiga puluh tahun lebih di bawah rezim Orde Baru telah memberikan banyak pelajaran buat media massa Indonesia, khususnya di Sumatera Barat. Pertama, ternyata pers tidak bisa mengandalkan pada undang-undang serta “belas kasihan” penguasa untuk menjamin kemerdekaan pers, kemerdekaan menyatakan pendapat, dan kemerdekaan berserikat.

 Pengalaman menunjukkan bahwa Pasal 28 UUD 1945 dan Pasal 4 UU Pokok Pers (Pasal 4 UU Pokok Pers menyatakan bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan sensor dan pembreidelan) ternyata bisa dijadikan “hiasan” belaka dan tidak dilaksanakan dengan baik akibat dihalangi oleh aturan SIUPP serta aturan pembreidelan demi “stabilitas nasional”.

Kedua, selalu ada kecenderungan dari penguasa untuk membatasi dan mengontrol pers, terutama bila penguasa itu menjauhi sistem demokrasi.

Hal ini terbukti pada pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru. Ketiga, “hak asasi pers” harus diperjuangkan dan direbut, terutama oleh pers itu sendiri, serta harus dilakukan secara terus menerus.

 Apabila telah direbut, harus dipertahankan dan dijaga demi ikut memperjuangkan dan menciptakan kehidupan demokrasi sehingga pengalaman pada orde sebelumnya tidak terulang kembali.

Dengan adanya kebebasan pers, industri surat kabar di Ranah Minang ini mengalami perkembangan yang cukup pesat.

 Hal itu dapat dilihat berdasarkan fakta sebagai berikut: dari tahun 1996-1998 (Orde Baru) pertumbuhan industri pers di Sumatera Barat hanya sebesar 7,44%, sedangkan tahun 1999-2001 (era Reformasi) pertumbuhan industri pers di Sumatera Barat meningkat sebesar 14% (Gamawan Fauzi, 2002:71).

Fakta selanjutnya menyatakan bahwa hingga tahun 2002 sudah ada 23 media lokal yang terbit di Sumatera Barat (Khairul Jasmi, 2002:15).

Bahkan pada tahun 2003 jumlah total media cetak yang ada di Sumatera Barat sebanyak 52 penerbitan, seperti yang terlihat dalam tabel 1 berikut ini :

Tabel 1
Media Cetak yang terbit di Sumatera Barat hingga Tahun 2003
No Nama Media Terbit Kondisi Saat ini Jenis Segmen
1 Haluan 1948 Terbit Harian Umum
2 Singgalang 1968 Terbit Harian Umum
3 Semangat 1971 Tidak terbit Harian Umum
4 Canang 1980 Terbit Mingguan Umum
5 Limbago 1994 Tidak terbit Bulanan Adat & kebudayaan
6 Tuah Sakato 1998 Terbit Bulanan Pemda Sumbar
7 Mimbar Minang 1999 Terbit Harian Umum
8 Padang Ekspress 1999 Terbit Harian Umum
9 Merapi 1999 Tidak terbit Mingguan Umum
10 Bijak 1999 Tidak terbit Mingguan Umum
11 Zaman 2000 Terbit Mingguan Umum
12 Sumbar Mandiri 2000 Tidak terbit Harian Umum
13 Semangat Demokrasi 2000 Tidak terbit Harian Umum
14 Bukittinggi Pos 2000 Tidak terbit Mingguan Umum
15 Painan Pos 2000 Tidak terbit Mingguan Umum
16 Pariaman Pos 2000 Tidak terbit Mingguan Umum
17 Padang Pos 2000 Tidak terbit Mingguan Umum
18 Mentawai Pos 2000 Tidak terbit Mingguan Umum
19 Saja 2000 Tidak terbit Mingguan Kebudayaan
20 Identitas 2000 Tidak terbit Mingguan Umum
21 Berita Sumatera 2000 Tidak terbit Mingguan Umum
22 Warta Minang 2000 Tidak terbit Mingguan Umum
23 Prestasi 2000 Tidak terbit Mingguan Olah Raga
24 Al-Hidayah 2000 Tidak terbit Mingguan Umum
25 Gelora 2000 Tidak terbit Mingguan Olah Raga
26 Khatulistiwa 2000 Tidak terbit Mingguan Umum
27 Pandeka 2000 Tidak terbit Bulanan Agama Islam
28 Pos Metro Padang 2001 Terbit Harian Umum & Kriminal
29 Pualigoubuat 2001 Terbit Mingguan Umum
30 Sumatera Ekspres 2001 Terbit Mingguan Umum
31 Serambi Pos 2001 Tidak terbit Mingguan Umum
32 Target 2001 Tidak terbit Mingguan Umum
33 Surau 2001 Tidak terbit Mingguan Umum
34 Bonsu 2001 Tidak terbit Mingguan Umum
35 Solid 2001 Tidak terbit Mingguan Umum
36 Surprise 2001 Tidak terbit Mingguan Siswa/remaja
37 Pagaruyung 2001 Tidak terbit 2 Mingguan Umum
38 Publik 2002 Terbit Mingguan Umum
39 Garda Minang 2002 Terbit Mingguan Umum
40 Sinamar 2002 Terbit Bulanan Pemda 50 Kota
41 Supel 2002 Tidak terbit 2 x sebulan Pendidikan
42 Forum Bisnis 2002 Tidak terbit Mingguan Ekonomi
43 Rakyat Mandiri 2002 Tidak terbit Mingguan Umum
44 Gonjong Limo 2002 Tidak terbit Mingguan Umum
45 SAI 2002 Tidak terbit Mingguan Anak
46 Suporter 2002 Tidak terbit Mingguan Umum
47 Saga 2002 Tidak terbit Bulanan Umum
48 Bisnis Minang 2002 Tidak terbit Mingguan Ekonomi
49 Media Sumatera Barat 2003 Terbit Mingguan Umum
50 Sasaraina 2003 Terbit 3 bulanan Umum
51 Mitra Dharma 2003 Tidak terbit Mingguan Pendidikan
Sumber:

 http://www.sumbaronline.com.
Perkembangan pers di Sumatera Barat hingga tahun 2003 tampaknya tidak diimbangi oleh kemampuan untuk bertahan. Hal ini terlihat dari beberapa penerbitan yang baru lahir kemudian gagal untuk tetap eksis di dunia persuratkabaran akibat persaingan yang semakin kompetitif.

Data dalam tabel 1 di atas memperlihatkan bahwa media massa yang terbit secara berkala hingga tahun 2003 di Sumatera Barat tidak lebih dari 30% atau sekitar 15 penerbitan.

Sedangkan 6 media massa yang terbit sebelum reformasi, hanya 3 yang mampu untuk tetap eksis, yakni Harian Haluan, Harian Singgalang, dan Mingguan Tuah Sakato. (dikutip dari berbagai sumber)