Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menerima permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Kali ini, permohonan tersebut diajukan oleh Nanang Kosasih, mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Universitas Indonesia (UI) yang berasal dari Sumatera Barat, Rabu (2/7/2025).
Ia menggugat Pasal 1 ayat (2) yang dinilai menghambat akses terhadap bantuan hukum bagi keluarga di daerah terpencil. Nanang menyoroti definisi “jasa hukum” dalam pasal tersebut yang hanya memperbolehkan pemberian jasa hukum oleh advokat yang telah diangkat dan disumpah.
Menurutnya, tidak adanya ruang hukum bagi Sarjana Hukum yang belum dilantik sebagai advokat, meskipun telah mengikuti Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) dan lulus Ujian Profesi Advokat (UPA), menjadi penghambat terhadap upaya pendampingan hukum secara cuma-cuma.
"Sebagai lulusan PKPA dan UPA, saya memiliki kemampuan akademik dan etik untuk membantu keluarga menghadapi persoalan hukum. Namun secara hukum formal, saya tidak dapat melakukannya,” ujar Nanang.
Permohonan ini dilatarbelakangi pengalaman pribadi Pemohon yang keluarganya di Nagari Tigo Sungai, Kecamatan Pancung Soal, Kabupaten Pesisir Selatan, mengalami berbagai persoalan hukum sejak awal 2025.
Dugaan pengancaman, pencurian, dan pembakaran yang telah dilaporkan ke Polsek Pancung Soal belum mendapatkan penanganan yang memadai.
Nanang mencatat sejumlah kejanggalan dalam proses penanganan laporan di kepolisian, mulai dari pencatatan waktu kejadian yang tidak akurat hingga ketiadaan gelar perkara meskipun bukti dan saksi telah disertakan. Ia juga menyoroti minimnya informasi lanjutan yang diterima oleh pihak keluarga atas laporan yang telah diajukan.
Dalam keterangannya, Nanang menyampaikan bahwa keterbatasan akses terhadap Organisasi Bantuan Hukum (OBH) di wilayah tempat tinggal keluarganya menjadi hambatan serius. Jarak menuju lembaga bantuan hukum terdekat mencapai hampir 200 kilometer, yang tentu sulit dijangkau dalam kondisi darurat hukum.
“Tidak adanya OBH di sekitar tempat tinggal keluarga saya menutup peluang mereka untuk mendapatkan pendampingan hukum yang layak dan cepat. Dalam kondisi seperti ini, bantuan hukum insidentil dari anggota keluarga yang berkompeten seharusnya diperbolehkan,” jelasnya.
Nanang menekankan bahwa permohonannya tidak bermaksud mengubah ketentuan mengenai syarat menjadi advokat sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1). Ia juga menyatakan tetap menjunjung tinggi profesi advokat sebagai officium nobile atau profesi yang mulia.
Namun demikian, ia memohon agar Mahkamah memberikan tafsir konstitusional progresif terhadap frasa “jasa hukum” dalam Pasal 1 ayat (2). Tafsir tersebut diharapkan dapat membuka peluang terbatas bagi Sarjana Hukum memberikan bantuan hukum insidentil secara cuma-cuma kepada anggota keluarga, tanpa merusak marwah profesi advokat.
“Permohonan ini merupakan bagian dari ikhtiar memperluas akses terhadap keadilan. Saya percaya bahwa hukum harus responsif terhadap kondisi riil di masyarakat, terlebih dalam situasi krisis hukum yang dihadapi keluarga,” tutupnya.(Bul)
sumber : infosumbar