CATATAN, --- Saya makin yakin. Pikiran yang muncul di haribaan jiwa bila menjadi ingatan yang terus menerus membayang, maka berpolong waktu, ia akan jadi nyata.
Dan itu adalah tanda-tanda. saya yakin, Tuhan tak pernah mendatangkan sesuatu secara mendadak. Tiap peristiwa selalu dimulai dengan tanda-tanda. maka arifilah tanda-tanda ! Begitulah adat hidup bijak berlaksana.
MEMBACA TANDA-TANDA
Saya, orang yang terbiasa membaca tanda-tanda itu. Bagi saya, mengarifi tanda adalah mengarifi apa yang berkemungkinan akan terjadi pada waktu di muka. Dari ujung rambut hingga ujung kaki, itu adalah instrumen dari partikel sebuah tanda. Dari langit hingga ke bumi, bagi saya itu juga adalah tanda. Sepastinya, itu tanda. Tanda saya ada. Seyakinnya, itu tanda. Tanda Tuhan saya ada.
Mari kita ke lain peristiwa dalam konteks yang sama.
Sebelum saya menulis ini, sesaat saya terlamun dalam kalimunan asap rokok yang masih juga saya isap sekalipun terbatuk-batuk. Saya paham, apa yang kita suka belum tentu baik. Saya suka merokok, belum tentu baik bagi kesehatan saya dalam pandangan medis. Namun, bila saya hentikan merokok, saya tersugesti susah berpikir susah pula menulis. Kalau saya berhenti berpikir dan berhenti pula menulis, saya mati sebelum mati ! Ini yang saya tak mengerti.
Ops…!
Kalimat “mati sebelum mati” ini tambah mengingatkan saya pada sosok itu. Saya pernah berpikir. Pernah saya menghadirkan bayang-bayang sesosok insan di Ranah Minang. Itu dalam kerinduan yang panjang. Butuh kesabaran menanti. Kata orang, ini mirip perumpamaan” ia seperti datang dari langit”.
Tapi, saya menerjemahkan, ia datang dari langit-langit pikiran saya, mungkin saja dari pikiran kita. Mungkin saja, terpikir oleh anda, terpikir pula oleh saya. Tapi, saya tidak akan pernah memaksakan pikiran yang sama kepada tuan. Saya menghargai demokrasi pikiran, namun saya bertuan pada kemusyawarahan hati dan pikiran sendiri yang bermuara pada akal kebenaran.
Ya, kalimat “Mati Sebelum Mati itu” saya kutipkan kembali. Kalimat itu adalah kalimat dari sosok yang pada akhir tulisan ini, saya beri ia sepotong puisi.
Kalau kita mengenal “orang” bertemu pisik dan bercakap-cakap kemudian bersalaman, bagi saya hal itu adalah perkenalan purba. Perkenalan dan mengenal seseorang dalam dunia informasi arus cepat ini, lebih acap dimulai dari mengetahui dan menyimak serta mengamati apa yang pernah ia lakukan, apa yang pernah ia hasilkan dan apa yang pernah ia karyakan bagi kemanfaatan semesta alam dalam kehidupan yang rahmatan lil alamin, ketimbang bersua kontak langsung.
Saya mengenal nama Riza Pahlevi, sudah lama. Saya mengikuti pikirannya sejak ia menjadi anggota DPDRI. Di saat usianya masih sangat “belia”. Saya mengenal Riza Pahlevi, waktu ia menjadi walikota di Payakumbuh.
Bagi saya, bertemu pisik, berkenalan secara pisik adalah sebuah perihal yang manual saja. Tapi, bertemu pikiran dengan pikiran, bagai bertemu ruas dengan buku, itulah perihal yang saya sebut sebagai berperidigital.
Saya hanya baru dua kali lurus bertemu pisik dengan Riza Pahlevi. Pertemuan pisik pertama, ketika kami bercakap-cakap bertiga di rumah dinasnya sekian tahun yang lalu. Nan kami itu adalah, saya, Riza dan Febby Datuk Bangso.
Riza dan Febby bagi saya adalah dua pemimpin muda bagai satu tanda bahwa bumi Minangkabau memang berahim lapang dan kuat yang melahirkan orang-orang cerdas dan berpikir untuk “bumiku Minangkabau, langitku Indonesia!”.
Walau tak bersua, tapi saya dan Riza sering kontak wa dan sering berteleponan yang bermuatan ide-ide seorang Riza. Bila Riza sudah berbicara, adat yang paling layak dan patut bagi kita lakukan adalah menyimaknya, lalu menyalinnya, lalu mengurainya !
Ia sepantun dengan “seniman pikiran” bermuatan budaya dalam zona budayawan.
Riza Pahlevi, ia lulusan ITB. Sekonco benar dengan Archandra. Riza dan Archandra berkawan lama. Mereka, dua anak muda—dari sekian banyak anak nagari– yang memberi kebanggaan pada ranah Minang tercinta.
Riza Pahlevi, ia insinyur jebolan ITB. Keahliannya; IT. Pakar IT. Ia saya amati adalah pakar IT yang memimpin dengan hati dan logika dan kebijakannya cendrung kemenangan bagi semua. Bagi rakyat yang ia pimpin. Bagi masyarakat yang ia layani.
Banyak insinyur yang sukses memimpin bangsa ini. Salah satunya ia Ir Soekarno, sang proklamator.
Kepatang, tepatnya hari Jumat tanggal 20 September 2019, kami bersua. Persuaan kedua saya dengan Riza.
Entah mengapa, belakangan ini biasanya saya agak malas ke luar rumah. Malas keluar rumah bukan berarti saya tidak berpikir. Saya sedang menyelesaikan “proyek pikiran” menyelesaikan dan menghimpun segala tulisan saya untuk dijadikan buku.
INTERMEZO RUANG
Intermezo; saya memulai dunia kreatif menulis sejak tahun 1982. Saat itu karir kepenulisan saya dari seorang wartawan. Dapat dipastikan, saya sudah menulis di ribuan lembar HVS. Sayang segala dokumentasi tulisan saya itu hancur dihimpok gampo dan cair kena banjir.
Untung, dekade 2009 semua karya saya aman tersimpan di catatan FB dan sebagian sudah digooglekan dan diyoutubekan. Versi FB, hampir ada 1000 judul tulisan dari rumpun esai,cerpen, cerber dan puisi serta reportase dan seratus lebih lagu yang sudah saya ciptakan aman di FB dan di Youtube. Tulisan ini yang saya susun untuk diantologikan menjadi beberapa buku !
Yah, itu yang membuat saya malas keluar rumah, kawan. Saya harus menyusun karya saya. Saya takut.Nanti keburu mati di saat karya saya tak tersusun rapi. Saya ingin mati dan dikenang. Karya itu adalah kenangan selama saya hidup di dunia. Itu harapan saya sebelum mati.
Begitulah adanya.
Hari itu, saya yang tinggal di Bukittinggi, mengontak Riza. Entah kekuatan apa yang mendorong saya menghubunginya. Saya kira ini desakan intuisi. Saya rasa ini tanda.
Bukittinggi-Payakumbuh itu tidak jauh-jauh amat. Dalam lalu lintas normal, jarak tempuhnya hanya 30 atau 45 menit. Saya berangkat sebelum solat Jumat. Menunggu Jumat, saya habiskan waktu saya memutari pelosok kota Payakumbuh. Kemudian saya solat Jumat, di masjid Nurul Falah. Saya memarkir mobil, kebetulan persis di samping mobil dinas BA 2 M.
Pulang Jumat, saya datangi Pak Wali ke rumah dinasnya. Baru turun saja saya dari mobil, saya sudah disongsong oleh ajudannya yang gagah dan ramah pula. ” Bang Pinto ya”, sapa ajudan,” Bapak sudah menunggu abang di dalam.Silakan masuk ke dalam bang !”
Bertemu. Kami bersalaman hangat. Begitulah adatnya seorang Riza Pahlevi, kalau berjumpa kawan, ia jarang memosisikan dirinya sebagai Walikota. Ia sangat “humble”. Persis seperti seniornya, seorang Irwan Prayitno, sosok yang sangat bersahaja dan merakyat itu.
Pak Wali memanggil saya abang. Mungkin karena usia saya memang agak-agak lebih tua seangin darinya, paling-paling dua atau tiga tahun. Begitulah gaya Riza menghormati orang.
Oleh Pak Wali, saya dibasakan makan. Saya menolak. Karena ini belum jadual makan saya. Jadual makan nasi saya adalah malam hari. Siang ini adalah jadual mengopi ke mengopi sajalah dulu.
SAYA MEMANGGILNYA PAK WALI
Saya memanggil Riza dengan sebutan Pak Wali. Sengaja tidak saya panjang-panjangkan dengan menambahkan “kota”. Karena, salah satu arti kata “wali” itu adalah saleh dan suci. Di mata saya, Riza adalah sosok pemimpin yang saleh! Ia pemimpin yang berpikiran suci. Saya tahu, dari filosofi hidupnya. Saya tahu ketika ia menyampaikan, bahwa hakekat hidup adalah ibadah.
“Bang, kita ke kantor dulu bang. Abang tinggalkan saja mobil abang di rumah dinas .Abang naik mobil saya !” kata Pak Wali. Kami beranjak menuju kantor Walikota Payakumbuh. Kantor bagus berdisain rumah gadang.
“Bang, naik saja ke atas bang. Bang Pinto duduk saja di ruang saya”, ujar Pak Wali. Saya lihat, sudah ramai tokoh-tokoh masyarakat menunggu beliau. “Pak Wali, saya biar di luar saja menunggu. Saya tunggu Pak Wali di kadai kopi seberang kantor ini”, saya menunjuk ke seberang karena memang saya paling tersiksa kalau berada lama-lama pada sebuah ruang tertutup.
“Oke Bang…!”
EEE TOP 100 PULA
Saya beranjak menuju kedai kopi. Saya pesan kopi satu. Kedai kopi ini tak seperti kedai kopi “manual”…tapi sudah “digital”. Disainnya sudah bergaya “cafe”. Saya bakar rokok sambil mengusai-ngusai WA grup —terutama WAG TOP 100–sebuah grup WA yang saya yakini grup WA paling top karena hampir semua anggotanya adalah para pembentuk opini. Para tokoh dari berbagai ruang. Para cendikia. Para akademisi.
Di WAG TOP 100 juga ada rektor, ada dekan, ada wartawan, ada bupati, ada pengaca, ada walikota, ada mantan walikota, ada top birokrat, ada politisi, ada ketua partai, ada anggota DPR RI,ada anggota DPRD, ada mantan Menteri…ada komisaris BUMN…ada banyak profesor, doktor, ada ketua komisi…ada penyair, sastrawan, budayawan….pokoknya itu grup WA yang sangat luar biasa. Isu-isu dan diskusinya cerdas dan bernas. Itulah Grup WA 100, dan Pak Wali Riza juga ada di grup ini. Ada garah sambil lalu yang saya dengar: ” Belum Top awak kalau belum ada di grup TOP 100″.
KETIKA NGOPI
Sewaktu asik-asik mengopi itu, mencogok pula Nurkhalis Kanti. Anak muda yang berikon “pembela petani”.Nurkhalis calon DPD pada pileg yang lalu. Anak muda yang dekat dengan petani ini, pada pileg tersebut berhasil meraup 120 ribu suara. Namun, Nurkhalis belum berhasil terhantar ke DPD.
Nurkhalis langsung menghampiri saya.
“Bilo Bang tibo?” sapa Nurkahlis menyalami saya dengan hangat. Dengan Nurkhalis, pada pileg 5 tahun yang lalu, bersama Febby Datuk Bangso, kami pernah sekamar selama dua minggu di Jakarta dalam urusan “politik”.
Nurkhalis memperlihatkan kepada saya sebuah berita online. Judul berita online itu: ” Gandeng Nurkhalis di Pilbub Limapuluh Kota 2020,Ferizal Siap Bertarung dengan Irfendi”.
Saya baca berita yang diperogohkan itu. Setelah itu Nurkhalis bertanya: ” Ba-a pandapek abang?”.
Berat pertanyaan Nurkhalis. Untuk menjawab saya butuh menyeruput kopi. Saya tarik napas dulu agak dalam sedikit. Lalu saya tersenyum. “Kalau iya tanda ke iya. Sungguh-sungguhlah. Mengalahkan inkumben itu sulit. Sulit bukan berarti tidak bisa. Irfendi dan buya Ferizal sama-sama petahana. Sama-sama memiliki peluang dan ruang yang sama.
Irfendi kuat.Buya juga kuat. Pasangan Irfendi dan buya adalah pasangan yang dulu sangat saya dukung. Di Jakarta, saya ikut meyakinkan Datuk Bangso (Ketua DPW PKB Sumbar) supaya memercayakan kursi PKB untuk pasangan Irfendi dan Buya. Karena saya yakin, pasangan ini akan menang karena saya ‘membaca’ tanda. Irfendi uda saya.Buya, sahabat saya. Nurkhalis adik saya.
Bagaimana cara akan tegak. Sulit tempat tegak saya jadinya !
Kini, saya tidak tahu, siapa yang benat-benar menjelma menjadi kekuatan rakyat. Bukankah waktu masih ada, manfaatkanlah waktu yang singkat ini untuk meyakinkan orang banyak !” hanya itu yang saya jawab. Sangat normatif memang. Jawaban khusus hanya bisa kita berikan kalau berdasarkan hasil survey…
Baca survey, baru bisa menganalisis !
Lumayan lama saya mengota-ota dengan Nurkhalis di lapau itu. Kopi habis, saya beranjak kembali menuju kantor walikota yang ada di seberang jalan. “Jan bayia lo lai Bang. Kopi sagaleh tu, bia adiak yang mambayia”, kata Khalis yang selalu “beradik” ke badannya. “Terimakasih Nurkhalis”
BERTEMU KAWAN LAMA
Kantor Walikota Payakumbuh itu bagus. Walau masih dalam pengerjaan, tapi saya dapat menyelesaikannya dalam imajinasi. Halamannya. Rimbunnya. Cantiknya. Dan elegannya. Kereeen.
Kalau saya tak lupa, ruang Pak Wali, lantai dua. Begitu saya naik, tokoh masyarakat dan rakyat berderai masih antri menunggu Pak Walinya. Ada beberapa wartawan yang sangat saya kenal. Seperti kawan lama tak bertemu, kami bersalam-salaman. ” Bilo bang tibo?” sapa Iben salah seorang wartawan muda.
Ha, ada Jhon kenedy rupanya. Saya memanggilnya JK. Kami dulu sama-sama wartawan Harian Sumbar Mandiri. Saya headoffice Harian Sumbar Mandiri. JK koresponden kami di Payakumbuh. Ia dulu wartawan kritis. Kini ia jadi Kepala Dinas Kominfo Payakumbuh. JK orangnya baik dan memiliki respon sosial yang bagus. Kami salam-salaman. Sungguh, Payakumbuh hari itu benar-benar menyilaturahimkan saya dengan sahabat-sahabat yang sudah lama tak jumpa.
Bahkan, di ruang tunggu Pak Wali itu, saya bertemu dengan adik kelas saya. Dia biasa disapa Edo. Ia anggota dewan.Dari Partai Nasdem. Ini adalah masa periode kedua Edo jadi anggota DPRD Kota Payakumbuh. Sejak SMA Edo memang sudah aktivis Osis. Saya salah seorang yang membina Edo dalam pelatihan kepemimpinan Osis dan menulis waktu di SMA 3 Padang.
Edo, tipe anak muda yang sejak SMA memang sudah banyak kawan. Ia cerdas dan rendah hati. Makanya, ia terpilih kembali; walau dalam perjuangan yang sangat “berdarah-darah”. Kita tahu, di Sumbar adalah sesuatu yang sangat sulit bagi caleg yang partainya pro-Jokowi dapat menang untuk duduk di DPRD. Edo sukses.Itu tandanya Edo teruji di hati dan disayang oleh orang banyak.
Bravo untuk Edo.Bravo untuk JK. Bravo untuk Iben dan kawan-kawan. Edo tampaknya ada kans sebagai pemimpin masa depan di kota ini.
Tak lama kemudian Pak Wali keluar ruangan. Ia ramah melayani masyarakat yang sudah menunggu. Mereka bercakap-cakap bersama di ruang tunggu. “Nanti malam apak saya tunggu di rumah. Kita lanjutkan pembicaraan di rumah”, ujar Pak Wali pada seorang tokoh masyarakat. Bunyi kabar, rumah Pak wali ini memang terbuka 24 jam untuk masyarakatnya.
Kembali kami naik ke atas mobil BA 1 M. Kepada Pak Wali saya memang berharap mahota-hota di lapau kopi. Saya dengar, Pak Wali selalu menghidupkan budaya dialektik (berdialog) di masyarakatnya. Bahkan, untuk menumpahkan dan menyalurkan aspirasi tokoh masyarakat, Pak Wali menggelar ajang disuksi di lapau, mirip-mirip ILC.
“Terkadang banyak ide yang muncul dari mahota-hota di lapau. Banyak pikiran yang muncul dari pembicaraan atau dari mahota-hota di lapau itu. Lapau adalah salah satu ciri keegalitiran kita orang Minang. Duduak samo randah. Tagak samo tinggi. Mahota samo minum kopi. Di ota atau di pembicaraan lahir pikiran. Pikiran melahirkan gagasan atau ide. Dan ide itu karya intelektual yang tinggi nilainya”, kata Pak Wali di sepanjang jalan menuju sebuah kadai yang disainnya seperti cafe.
PEMBANGUNAN PAYAKUMBUH KIAN DAHSYAT
Kota Payakumbuh adalah kota yang dinamika pembangunannya sangat kencang. Sekencang limbubu yang kadang-kadang menimpa kota ini. Saya berani menyebutkan, di Sumbar ini kota yang kulinernya hidup hampir 24 jam adalah kota Payakumbuh. Kalau sepanjang jalan malioboro Yogyakarta terkenal dengan ramainya pedagang kaki lima, maka sepanjang kiloan meter jalan di pusat Kota Payakumbuh terkenal dengan sajian kulinernya yang memikat rasa dan pesona.
Benar-benar hidup perekonomian malam di Kota Payakumbuh. Malam kota di Payakumbuh menjadi malam yang cantik. Disain kafe yang paling kreatif, paling anggun, paling indah, paling banyak gaya, paling nyaman, paling bersih, di Sumatera Barat ini adalah disain kafe yang didirikan oleh para pengusaha muda kota ini.
“Saya selalu memberikan kemudahan pada pengusaha yang hendak membuka lahan usaha di Payakumbuh….”, kata Pak Wali. Sebelumnya saya pernah mendengar dari seorang kawan saya yang investor yang membuka usaha di Payakumbuh. Katanya: ” Walikota Payakumbuh cerdas, ngurus izin usaha tak lama-lama. Tiga jam selesai”. Usaha kawan saya itu berkembang pusat di kota ini.
Mungkin inilah yang menyebabkan betapa ramainya dunia usaha di kota ini, terutama soal kuliner.
Bahkan, bagi sebagian besar kaulamuda kota Bukittinggi, justru mereka menjadikan kota Payakumbuh sebagai tempat menikmati kuliner. Saya dengar-dengar, anak-anak muda dari Bangkinang, bahkan Pekanbaru, Pangkalan bagai juga menjadikan berkunjung ke kafe di Payakumbuh menjadi gaya hidup mereka.
Bertudung tinggi tinggi
menekan bukan menabuh
Berkunjung ke Bukittinggi
makan-makan di Payakumbuh
Menyimak ini, saya hanya bersaran kepada kota Bukittinggi. Kota Bukittinggi harus selalu siap dan sigap membenahi diri kalau tak mau bila “hujan deras” dari Riau hanya sampai kota Payakumbuh saja.
Mungkin tujuh atau delapan tahun yang lalu, kota ini hanya sebagai tempat lalu bagi orang Riau ( Dumai,Pekanbaru, Bangkinang dll) menuju kota Bukittinggi. Kini, mungkin tidak. Orang sangat betah lama-lama kini di Payakumbuh.
Pembangunan di kota 120 ribu jiwa berluas sekitar 80 km2 sudah sangat maju.Sudah sangat siap. Kepariwisataan dibangun dan dimeriahkan dengan beberapa banyak ivent. Kota Payakumbuh dan Kabupaten 50 kota seperti sepakat tupang menupang dalam menarik wisatawan. Haraunya.Ngalaunya.
Keindahannya.Sejarahnya. Wow….terbangkitkan. Di kota ini lahir anak-anak bangsa yang hebat-hebat. Di nagari ini lahir seorang Bapak Republik, Tan Malaka namanya. Di sini lahir penyair besar Chairil Anwar.
Kota dan kabupatennya; saya lihat kompak dalam membangun !
Kota ini kota cerdas. Ruh dan aromanya dapat saya rasakan. Sulit mengungkapkan bentuk kecerdasan dari kota ini. Literasi dan narasi di kota ini bagaikan lukisan indah di ruang kebudayaan kita.
Pak Walinya memang sudah sejak lama meniupkan spirit literasi–dengan berbagai program literasi– yang mencakrawalai kecerdasan dan kreativitas anak nagari. Kota ini juga yang memberi ruang kepada segala aktivitas dan kreativitas para muda. Ini kota, kota kreator. Mungkin karena Pak Walinya seorang pemuka kreator !
“Yang menyebabkan saya sakit adalah ketika apa-apa yang terpikir dalam ruang pikiran namun belum terlaksana di ruang kenyataan. Kalau ini terjadi, saya merasa sangat tersika. Seperti kata seorang Rendra, hidup bagi saya adalah pelaksanaan kata-kata. Berkata-kata tanpa pelaksanaan itu bagi saya adalah siksaan bathin yang tajam “, itu kata Pak Wali yang berlengkap nama Riza Falepi ST, MT gelar datuk Rajo Kaampek Suku.
Pernah dulu saya bertanya tiap melalui kota ini kalau pergi ke Pekanbaru. Mengapa kota Payakumbuh terlalu kreatif? Anak mudanya kreatif. Sanggar-sanggar seni dan budayanya kreatif. Penyair-penyairnya kreatif. Sastrawannya kreatif dan wartawan kreatif banyak muncul dan lahir dari kota ini. Kini jawaban ini semua sudah terjawab. Coki kota ini sudah terbuka di pangana saya.
Yang membuat kota ini kreatif, tak bisa dilepaskan dari kedahsyatan kreativitas Pak Walinya yang gila berpikir, gila bekerja dan gila memotivasi rakyatnya untuk maju.
Fakta menunjukkan, Pertumbuhan Ekonomi Kota Payakumbuh di atas pertumbuhan ekonomi propinsi dan di atas pertumbuhan ekonomi nasional, yakni 6,8 %.
Salam ciek lu Pak wali, sukses Pak Wali rupanya ! Ini data, tak bisa dibantah.
Entahlah, apakah suatu saat orang Riau cukup sampai di Payakumbuh saja atau apakah akan meneruskan berwisata sampai ke Bukittinggi? Saya tidak tahu. Yang saya tahu, Pak walinya sibuk mengemasi suatu program pembangunan yang “unik” sebagai pemikat wisatawan.
“Jangan pernah membuka sesuatu lahan pikiran kalau tak ada uniknya.Kalau tak ada spesifiknya. Sesuatu tanpa keunikan adalah kesia-siaan menuju kehancuran dalam berusaha !” kata Pak Wali.
Payakumbuh dan keunikannya; adalah daya pikat !
Misalnya, kota ini sedang membangun mega proyek normalisasi Batang Agam. Namanya Batang Agam, letaknya membelah kota Payakumbuh. Ini saja sudah merupakan keunikan. Tanda unik itu sudah ada. Normalisasi sungai tak saja melepaskan kota ini dari seso rakyat dihantam banjir.
Disain normalisasi Batang Agam bukan hanya sekedar mengeruk lalu membetoni tepian atau tebing. Bukan begitu. Pak Wali menyebutnya dengan normalisasiplus. Apa plusnya?
Plusnya adalah plus objek wisata. Tebingnya. Bebatuannya di disain indah. Jalan pinggir sungai didisain memikat dan rimbun. Yang paling menarik, di normalisasi itu dibuat pulau buatan.
Di Pulau buatan itu ada “monumen” PDRI. PDRI adalah ikon perjuangan bangsa Indonesia. PDRI adalah sebuah tanda bahwa Indonesia masih ada di masa itu. Tanpa PDRI, kita tidak tahu, apakah republik ini masih ada. Mungkin negeri ini sudah dirampok kembali oleh penjajah. Payakumbuh dan PDRRI tak bisa dilepaskan. Dalam peristiwa sejarah, ia ibarat kuku dengan kulitnya.
Di pulau buatan di tengah sungai itu dibangun semacam “Medan Nan Bapaneh” sebagai gelanggang bagi anak nagari.
Kota ini sudah pula menyiapkan sebuah Masjid Agung di luas lahan sekitar 5 hektar. Seorang investor juga akan membangun hotel berbintang berlantai 8 dalam disain unik dan menarik wisatawan. Ada lapangan golf dan ada berbagai ruang rekreasi.
Hebat nian.
Beruntunglah kota ini mendapat seorang walikota yang hebat. Seorang walikota yang cerdas. Seorang walikota yang rendah hati. Seorang walikota yang mau menyimak dan mendengar suara hati rakyatnya. Seorang walikota yang berpikir seperti seorang filsuf berlaksana. Seorang walikota yang teknokrat yang bervisi kerakyatan.
“Celaka sekali hidup ini bila selama hidup kita hanya lebih banyak berbuat negatif ketimbang positifnya. Kita punya hati.Kita punya pikiran. Kita punya akal, semua adalah untuk menghantarkan kita pada hidup yang selamat di dunia dan selamat di akhirat”, begitu ujar Pak Wali.
Dan kami memang maota-ota pada sebuah kafe atau lebih tepatnya saya menyebutnya kadai kopi. Semula, kami mahota hanya bertiga semeja. Jon Kenedi kepala dinas kominfo yang wartawan itu, lalu datang kabag humasnya yang muda; Irwan Suwandhi namanya.
Tak lama berselang datang beberapa kepala dinas dan beberapa stafnya. kami mahota jadi ramai. Saya bisikkan kepada Jon Kenedi (JK) yang kawan saya itu: ” JK beruntung punya induk semang yang bawaannya tak seperti atasan. Yang bawaannya seperti berkawan, bersahabat dan hangat dengan bawahan. Tak ada kesan arogan. Yang ada adalah kesan pemimpin berdialog”.
Sosok Riza Pahlevi mengingatkan saya pada filosofi kepemimpinan di Minangkabau, yakni yang ditinggikan seranting dan yang didahulukan selangkah !
SEPOTONG PUISI
Pak Wali yang datuk kami , banyak ucapan dan pikiranmu lekat di hati. Terutama tentang kearifan lokal. Tentang menjemput kembali kejayaan kesusasteraan kita. Tentang merawat dan menjaga nilai budaya dan tradisi di filosofi “Adat Basandi Syarak,Syarak Basandi Kitabullah”.
Tentang katamu: ” Lenyap adat dan budaya, lenyap jatidiri, lenyap identitas kita sebagai orang Minangkabau!”
Tentang pembangunan yang berbasis kearifan lokal (budaya) dan nilai-nilai spiritual…sebuah tanda betapa ” jelas” dan “terangnya” isi hati dan pikiranmu.
Kita sama Pak Wali.
Sama-sama gamang bila “jalan diasak urang lalu”. Jangan sampai terjadi, kalau urang lalu membawa kepentingan yang jauh dari nilai-nilai dan kepribadian awak sebagai orang Minangkabau, bila itu lalu olehnya, suatu saat kita rang Minangkabau akan sepantun dengan angin lalu dan dibawa lalu !
Banyak ide-ide yang muncul dari “sehari” bersama Riza Pahlevi. Sebagian ide-ide itu akan segera “kami” eksekusi. Kami menyapakati untuk tidak dipublish dulu di ruang publik.
Biar surprise !
Saya membaca Riza Pahlevi.
Aksara saya tangguk menjadi diksi. Pada sebuah puisi untuk Riza Pahlevi, saya wakilkan kata hati:
Pikiranmu langit hatimu bumi
Bak gagak gagah berani menguak
Kepak sayapmu terjang badai globalisasi
menjadi harmonisasi menjadi nilai sejati
Pada sikap sigap dan nurani
dengan kekuatan iman di hati
kau pagari adat dan tradisi
Rami surau, hidup tepian hati
sunyi kau hidupkan mimpi-mimpi
tiupkan semangat di hati rakyat sendiri
yang kau tak sudi bila rakyat disakiti
yang kau mau, genggam tangan kuini
dalam tabik semangat saiyo bangun nagari
Mari langkahkan kaki
demi nagari, raih sgala mimpi
untuk rakyat di hati
pikiranmu ukiran keindahan nagari
padamu itu adalah jawaban, bukan pertanyaan !
“Riza Pahlevi, tadi malam bulan datang ke kamarku
ia bertitip salam padamu.
Tadi pagi, matahari membangunkan aku
ia bertitip cahaya padamu !
Kau adalah bagian dari tanda
yang tiba….
Tanda-tanda kebangkitan Minangkabau
ranah bundo nan kito cintoi ”Bukittinggi 21 September 2019
0 Comments