Indra Martini (Wakil Ketua PPID Utama Pemko Payakumbuh)
|
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 43 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 15 mengatakan, bahwa bagi masyarakat yang melaporkan terjadinya tindak pidana korupsi diberikan penghargaan. Pasal 17 menyebutkan, penghargaan berupa premi, diberikan sebesar dua permil dari jumlah kerugian keuangan negara yang dapat dikembalikan kepada negara.
Meski dalam profesi lain lain tidak dipungkiri terjadi korupsi, namun berdasarkan berita-berita di media cetak maupun online hari ini, rata-rata pelaku tindak korupsi atau setidak-tidaknya ikut serta, banyak melibatkan PNS (Pegawai Negeri Sipil).
J.W. Schoorl (Modernisasi, 1978 : 177) berpendapat, pada pangkat-pangkat paling rendah dalam birokrasi, korupsi dijumpai. Setiap pegawai yang karena fungsinya mempunyai kekuasaan atas orang lain, betapapun kecilnya, sering menyalahgunakannya untuk mendapatkan keuntungan pribadi.
Ada beberapa latar belakang terjadinya korupsi. Selain ekonomi, juga disebabkan oleh keinginan pegawai itu sendiri yang tidak mau kalah kehidupannya dengan golongan-golongan masyarakat lain. Selain beberapa teori lain.
Merujuk pada PP di atas, sebagai PNS anda tinggal pilih. Ikut serta bermain, atau sebagai “Pemburu Hadiah” ?
Berdasarkan fakta dan wawancara kecil-kecilan kepada PNS yang melakukan tindak pidana korupsi, pada akhirnya ia hidup dalam kesendirian. Sendiri menghadapi kasus, sendiri menikmati dinginnya tembok penjara, dan sendiri menanggung malu, baik dihadapan manusia, apalagi Tuhan.
Tambahan hukuman, ia diberhentikan jadi Abdi Negara. Orang-orang yang selama ini ikut menikmati hasil korupsinya, mailak ciek-ciek (menghindar). Atasan yang selama ini ia bela-belain dan turut menikmati hasil korupsinya, hanya mampu memberi wejangan : “Ba a lai, Da. Jalani se lah sesuai aturan yang berlaku. Nama nan bisa ambo bantu, ambo akan bantu !”
Sekali itu saja atasannya melihatnya, setelah itu tidak pernah datang lagi.
Bagaimanapun, maling, korupsi, sama dengan kejahatan lain, tidak akan pernah berhenti. Sebagai masyarakat yang berprofesi sebagai PNS kita hanya bisa meminimalisir. Khususnya bagi koruptor yang rakus-er (orang rakus). Kalau yang bersangkutan menjadi koruptor hanya untuk bisa memiliki rumah, mobil, dan biaya anak sekolah, kita masih bisa maklum. Justru yang kita cegah dan sebagai masyarakat ikut meminimalisir adalah para rakus-er ini dalam mengumpulkan kekayaan tujuh turunan
Setelah diamati, ternyata pihak KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), ada kecendrungan menangkap para rakus-er ini. Sebab untuk korupsi sekedar beli rumah, mobil, dan biaya anak kuliah, seakan-akan diserahkan kepada pihak penegak hukum di daerah. Apapun itu, koruptor sudah bisa disamakan sebagai “penjahat kemanusiaan”. Karena korupsi dapat mempertajam permasalahan masyarakat plural, turunnya martabat pemerintah dan bertendensi membahayakan stabilitas politik.
Bagi PNS, apalagi yang memiliki jabatan struktural, amat sulit menghindar untuk tidak terlibat untuk mengkorupsi uang negeri ini. Dengan berbagai alasan, khususnya loyalitas, kita dibenturkan pada hal-hal rumit. Namun sekali lagi kita perlu menegaskan sikap. Ikut atau tidak.
Kebiasaan yang selama ini terjadi adalah kita sebagai PNS dibenturkan pada dinding penguasa yang lahir dari transformasi, semula politisi, tiba-tiba menjadi pejabat publik di daerah karena suaranya terbanyak dalam Pemilu Kada. Bukan orang-orang yang terlatih dalam pengelolaan negara, apalagi keuangan negara. Bagi mereka, karena Pemilu Kada bukan dibiayai hanya dengan puluhan juta, mau tak mau keinginan mengembalikan modal tersebut memang ada.
Di sisi lain, kelemahan para penguasa baru ini juga dimanfaatkan para PNS oportunis untuk mengambil sedikit keuntungan pula dalam suasana kacau balau tersebut. Mirisnya, ada yang berharap, selain bisa beli rumah, mobil, dan biaya anak sekolah, juga untuk mendapatkan jabatan, fasilitas, dan gengsi di mata para penguasa baru tersebut.
Dalam pasal 12 dikatakan, bagi pelapor akan diberikan perlindungan hukum dalam bentuk kerahasian identitas, kerahasian materi laporan dan/atau saran serta pendapat yang disampaikan. Bahkan perlindungan secara fisik.
Bahkan, dalam pasal 2 malah masyarakat diberikan kemanjaan dalam hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi, selain hak untuk memperoleh perlindungan hukum.
Kegiatan tindak pidana korupsi yang sering melibatkan antara PNS, atasannya, dan orang lain atau pihak ketiga, secara garis besar terjadi dalam hal perizinan dan pengadaan barang dan jasa pemerintah.
Dalam hal perizinan misalnya, berkaitan dengan kawasan dan tata ruang. Untuk pengadaan barang dan jasa pemerintah terkait dengan etika pengadaan, khususnya pada point tidak menerima, menawarkan/menjanjikan. Biasanya, adanya niat untuk korupsi tersebut telah dimulai dalam tahap perencanaan, mulai dari identifikasi kebutuhan, penetapan barang jasa, cara pengadaan, jadwal pengadaan, dan anggaran pengadaan.
Sering kita lihat dan dengar, anggaran tidak jelas, tapi pihak ketiga sebagai rekanan telah melakukan kegiatan.
Kita sebagai PNS selalu diberikan dilema seperti itu. Malahan secara halus diberikan arahan tapi sebenarnya ancaman, bahwa jabatan kita berkaitan dengan fungsi kita sebagai PA (Pengguna Anggaran), KPA (Kuasa Pengguna Anggaran), PPK (Pejabat Pembuat Komitmen, maupun PPTK (Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan). Kembali lagi kepada kita, apakah kita mau atau justru ikut berperan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi tersebut.
Konsekwensi tidak ikut dalam tindak korupsi, lebih memilih menjadi ikut dalam pemberantasan korupsi, sebagai PNS kita akan menjadi outsider, tidak punya akses ke mana-mana, miskin, hidup apa adanya, tapi otak anda tenang. Kalau anda aktif melaporkan, anda akan diberi penghargaan dan premi.
Milih ikut serta, anda akan menjadi bagian dari rakus-er tadi, punya fasilitas, punya akses, tapi tidur tidak nyenyak. Tertangkap, tidur anda lebih tidak nyenyak lagi. Jika terbukti, anda dipecat. Sementara teman anda yang melaporkan mendapat penghargaan dan premi.
Bagi saya, lebih baik menjadi “Pemburu Hadiah” dari pada menjadi orang yang diburu untuk sebuah hadiah.-(ul)
Bacaan :
Modernisasi, “Modernisasi Politik : Aspek-Aspek Sosiologik II”, J.W. Schoorl, Prof. Dr., Penerbit Gramedia Pustaka, 1978