HARI POLISI WANITA 1 SEPTEMBER BERMULA DI BUKITTINGGI SUMATERA BARAT

Monumen Polwan Bukittinggi
IMPIANNEWS.COM
Lewat tulisan kita kenal sejarah.
Kita patut berbangga sebagai putra-putri Sumatera Barat dimana 6 (enam) Polisi Wanita pertama lahir dari Bundo Kanduang Ranah Minangkabau yang kita peringati setiap tanggal 1 September sebagai Hari Polisi Wanita berawal dari kota Bukittinggi, Sumatera Barat.

Pada Juni 1948 ada enam orang puteri minang mulai memasuki Sekolah Pendidikan Polisi Indonesia di Bukittinggi terdiri dari : Mariana , Nelly Pauna , Rosmalina,  Dahniar, Djasmainar dan Rosnalia.

Sebelum adanya kesempatan untuk memasuki sekolah Polisi, puteri-puteri kita berjuang dalam berbagai bidang, ada yang aktif dalam organisasi keputrian, P.M.I.,Sekuriti, Kurir guru, bidan dan lain-lainnya. Mereka memasuki polisi dengan dasar keinginan untuk membantu Polisi dalam bidang kepolisian, mengingat keadaan dan kenyataan pada waktu itu , banyak wanita minang yang memprotes pemeriksaan sekuriti surat-surat dan pemeriksaan badan/foulleren, yang dilakukan oleh polisi pria terhadap pengungsi yang akan kembali kekampungnya.

Enam orang wanita Minang pada waktu itu, mendapat kepercayaan untuk turut sebagai calon inspektur polisi pada Kursus Inspektur dari Sekolah Polisi  Indonesia di Bukittinggi. Mereka meninggalkan jabatan semua sebagai pegawai, guru dan bidan dan mulai mengabdi di bidang baru sebagai angkatan bersenjata yang beruniform Polisi. Ini terjadi untuk pertama kalinya, dimana mereka mengalihkan cara perjuangan kepada tanggung jawab wanita dalam kepolisian dalam perjuangan kemerdekaan yang masih dalam rangka mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia. Selesai pelatihan pada tanggal 1 September 1948 yang kemudian diperingati sebagai hari Polisi Wanita (Polwan) di Indonesia yang lahir pada 1 September 1948.

Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) menghadapi Agresi Militer Belanda II, dimana terjadinya pengungsian besar-besaran pria, wanita, dan anak-anak meninggalkan rumah mereka untuk menjauhi titik-titik peperangan. Untuk mencegah terjadinya penyusupan, para pengungsi harus diperiksa oleh polisi, namun para pengungsi wanita tidak mau diperiksa apalagi digeledah secara fisik oleh polisi pria. 

Akibat serangan besar-besaran Belanda, ada arus pengungsian di mana-mana. Pria, wanita, anak-anak meninggalkan rumah mereka untuk menjauhi titik-titik peperangan. Nah, ketika memasuki wilayah yang dikuasai Republik, tentu harus ada penggeledahan untuk memastikan tidak ada penyusup. Masalahnya, banyak pengungsi perempuan menolak diperiksa polisi pria. 

Pada Agresi  Belanda yang kedua Bukittinggi di bumi hanguskan oleh pemuda-pemuda. Mereka menyingkir ke Balingka dibawah pimpinan Direktur Sekolah Polisi Indonesia di Bukittinggi, Komisaris Polisi Djojodirjo untuk mendapatkan instruksi-instruksi lanjutan. Mereka diperintahkan mengikuti rombongan Polisi Sumatera Tengah dibawah pimpinan Ajun Komisaris Besar Polisi Soelaiman Effendi. Mereka diangkat sebagai Pembantu Inspektur Polisi Tk.II dan ditempatkan umumnya sebagai petugas Pengawas Aliran Masuk (PAM).

Peranan masing-masing Polwan di Sumatera Barat yang ikut bergerilya kepedalaman, yaitu : Rosmalina, Djasmaniar, dan Nelly Pauna. Mereka bergerak dari satu tempat ketempat lain. Daerah perjuangan mereka adalah daerah perjuangan PDRI di Kototinggi, Suliki, Agam Tua dan Pasaman. Tiga orang diantara Polisi Wanita itu tersebut yaitu Pembantu Inspektur Rosmalina, Djasmaniar, dan Nelly Pauna berangkat ke front Palupuah, Sektor Tiga Agam Tua yang dipimpin oleh Inspektur Polisi I, Amir Mahmud dan Inspektur Polisis II, Mandagi.

Disinilah mereka buat pertama kali mengalami pemboman oleh kapal-kapal terbang Belanda pada 22 Desember 1948 dan serangan Tentera Belanda secara besar-besaran pada tanggal 31 Desember 1948.

Kehadiran Polisi Wanita ini ditengah-tengah pasukan yang terdiri dari anggota Brigade Mobil, Polisi dan TNI secara psikologis memberikan semangat juang dan ketabahan dalam perjuangan.

Para Polisi Wanita itu diperintahkan mundur; Nelly Pauna ke Nagari Kototinggi (Gunuang Omeh), sedangkan Djasmaniar dan Rosmalina ke Kumpulan. Selanjutnya Rosmalina dan Djasmaniar terus ke Bonjol.

Di Bonjol kembali mereka mengalami pemboman oleh Belanda. Rosmalina dan Djasmaniar diperintahkan lagi untuk pindah ke Lubuk Sikaping. Ditempat yang baru mereka diangkat sebagai kepala PAM wilayah Lubuk Sikaping, diperbantukan pada Bagian Pemeriksaan CPM. Rosmalina dan Djasmaniar tidak lama bertugas di Lubuk Sikaping di saat Belanda telah masuk ke Bonjol mereka bergerak meningalkan Lubuk Sikapiang menuju Talu dengan jabatan yang sama.

Pada saat mereka di Talu, satu kapal terbang Mustang Belanda terbang rendah mengelilingi tempat tinggal para Polisi Wanita itu sambil melepaskan tembakan-tembakan senapan mesin yang gencar, yang mengakibatkan semua kursi, meja dan tempat tidur patah berantakan. Mereka tidak menyangka mendapat serangan dari kapal terbang Belanda. Untunglah dalam garasi mobil ada bak air yang dipergunakan untuk mencuci mobil. Disinilah mereka berlindung dari maut. Pengalaman cukup berat menimpa Polisi Wanita kita baik rohaniah maupun jasmaniah tidak menggentarkan mereka sedikit jugapun untuk meneruskan perjuangan. Dari talu mereka terus bergerilya, mengitari daerah Pasaman sampai ke Air Bangis, Kinali,  Lubuk Basung, Maninjau, kembali ke Bonjol, Lubuk Sikaping, Panti dan Talu.

Adapun keenam Polisi Wanita pertama di Indonesia tersebut menikah dengan sesama pejuang adalah :

1. Nelly Pauna menikah dengan Situmorang, 
2. Mariana dengan Saanin Mufti, 
3. Djasmaniar dengan Husein, 
4. Rosmalina dengan Pramono, 
5. Dahniar dengan Sukoco, dan 
6. Rosnalia dengan Taher. 

Monumen Polisi Wanita

Jl. Sudirman, di depan Kantor Pos Bukittinggi atau yang lebih dikenal dengan sebutan Simpang Stasiun. Di pertigaan jalan itu bediri sebuah tugu menjulang ke atas sekitar tiga meter. Tugu ini dikelilingi pagar besi dengan hiasan atap rumah gadang disetiap sudutnya dan berdiri seorang Polwan sedang melakukan hormat . Di papan informasinya tertulis “MONUMEN POLISI WANITA” Memperingati Lahirnya Polwan Pertama di Indonesia. 

Monumen Polwan ini bernama “ESTHI BHAKTI WARAPSARI” mengandung arti sebagai Putri – Putri pilihan yang mampu melaksanakan tugas dan mengamalkan ilmu pengetahuan yang dimiliki dengan penuh kesederhanaan, kegunaan, kebesaran jiwa, berwibawa  dan tanpa pamrih demi tercapainya masyarakat yang tentram dan damai 

Hari Jadi Polwan Ke- 70 mengambil tema ” Dengan semangat promoter Polwan RI siap mensukseskan dan mengamanan agenda Kamtibmas tahun 2018-2019″. SELAMAT HUT POLWAN KE-70

Saiful Guci, Pulutan 1 September 2018