Mengenang Buya Mansur, Ramza Husmen : Beliau Adalah Kakekku

Tim Balitbang Kemenag RI di Kankemenag 50 Kota
IMPIANNEWS.COM (Limapuluh Kota)

Sarilamak, Kab. 50 Kota --"Buya Mansur adalah kakekku." Ungkapan tersebut disampaikan Kepala Kankemenag Kab 50 Kota saat bercerita riwayat dan karya-karya Syekh H. Mansur Dt. Nagari Basa (w. 1997) kepada Peneliti Balitbang Kementerian Agama RI Jakarta, pada Rabu (14/02/2018). Peniliti dari Balitbang Bagian Penelitian Sejarah Pondok Pesantren, Syaiful Bahri hadir di Kankemenag bersama pemerhati manuskrif, Apria Putra yang sudah dikenal secara nasional, khususnya di Sumatera Barat. Menurut rencana, Syaiful Bahri bersama Apria Putra akan meneliti Ponpes tertua di Kab. 50 Kota.
Dalam bincang silaturrahmi siang itu, Kepala kankemenag, Ramza Husmen begitu tertarik dengan sekumpulan kitab yang sudah saya simpan sejak lama, yaitu . Dengan penuh perhatian, beliau berujar, " Kami sangat berterima kasih sekali atas kepedulian Bapak untuk membangkitkan kembali sejarah Kakek Kami, Kami siap dampingi. Ramza Husmen pun bercerita.
Buya Mansur adalah generasi emas, thabaqat kedua dari ulama-ulama Perti. Beliau menghabiskan masa mudanya dengan menuntut ilmu agama kepada Syekh Muhammad Jamil Jaho (1878-1945), ulama besar dari Padangpanjang yang pernah belajar dan mengajar di Mekkah 13 tahun lamanya. Syekh Jamil Jaho murid dari tiga mutiara ilmu di awal abad 20, (1) Syekh Abdullah Baliau Halaban, (2) Syekh Muhammad Sa'ad al-Khalidi Mungka, dan (3) Syekh Ahmad Khatib Minangkabau.
Setelah memperoleh ijazah dari Syekh Jaho, Buya Mansur kemudian mengabdikan ilmunya di beberapa madrasah. Di antaranya, di Madrasah Tarbiyah Islamiyah Canduang. Selain itu beliau mulai menggagas madrasah sendiri, Madrasah Tarbiyah Islamiyah Kamang, di tahun 1930-an. Tingkat pelajaran di madrasah itu sesuai dengan Canduang dan Jaho, 7 tahun, dengan pelajaran berbagai vak ilmu, mulai dari tauhid, fiqih, tasawuf, tafsir, ushul, nahwu, sharaf, mantiq, balaghah, hadits, arudh qawafi, dan lain-lain.
Tidak seperti ulama-ulama lain, yang kebanyakan menghabiskan masa mengabdi di surau dan madrasah, Buya Mansur juga aktif mengajar di perguruan tinggi, yaitu IAIN. Bahkan pernah diangkat menjadi rektor. Ilmu yang dibawa mengajar di IAIN ialah ilmu surau dan madrasah, yaitu fiqih dan ushul. Kealimannya dalam bidang ini diakui oleh tokoh-tokoh yang gelar akademiknya berderet panjang.
Buya Mansur dikenal produktif menulis. Karangannya banyak dalam bahasa Arab. Di antaranya Bidayatul Ushul, Hidayatut Thalibin, Ilmu Mantiq, al-Fara'idh, Nuruz Zhalam, dan lain-lain.
Beliau juga tokoh sufi. Beliau ialah mursyid Thariqat Naqsyabandiyah Khalidiyah, yang diambilnya dari Maulana Syekh Arifin Batuhampar, Payakumbuh.
Meski sudah tua, beliau masih mengajar di kampus. Dengan bersorban, beliau mengendarai sepeda motor ke Bukittinggi. Sedang tempat favoritnya ialah Surau Suluk di depan madrasahnya. Di sana beliau menghabiskan masa tua, dengan berzikir dan bermuraqabah. Tak lupa beliau masih mendaras kitab kuning hingga wafatnya.
"Beliau generasi emas ulama Perti, sebagaimana disebut di atas. Ulama besar Perti angkatan beliau ialah Buya Sirajuddin Abbas, Buya Rusli Abdul Wahid, Syekh Zakaria Labai Sati, Syekh Yunus Yahya, Buya Dhamrah Arsyadi, Syekh Kanis Tuanku Tuah, Buya Sulthani Dt. Rajo Dubalang, Syekh Umar Bakri, Buya Izzuddin Marzuki, Buya Said Adimin Taram, dan lain-lainnya," papar panjang Ramza Husmen.
Setelah bersilaturahim dengan pimpinan kankemenag Kab. 50 Kota dan beberapa orang pejabat dan Kepala madrasah, Peneliti Balitbang Bagian Penelitian Sejarah Ponpes, Syaiful Bahri mohon pamit dan dalam waktu dekat akan melakukan penelitian yang nantinya akan dilanjutkan dengan penelitian mesjid kuno oleh tim yang berbeda dari Balitbang Kemenag RI.