Catatan Adri Sandra : Bapikek Puyuah


IMPIANNEWS.COM 

MAK KARIM ; MEMIKAT PUYUH

Dari remaja, Mak Karim dan Mak Pundik hobi sekali memikat puyuh. Apa lagi kalau musim burung tiba, penjualan puyuh pikatan akan melonjak tajam. Sekarang, kesibukan membatasi mereka memikat puyuh. Baik Mak Karim atau pun Mak Pundik, masih memelihara burung itu, walau tidak beberapa ekor. Sangkar pikatan dan alat-alat yang mereka pergunakan masih lengkap dan utuh.

Musim burung datang lagi, di mana tempat, di kedai-kedai, rumah mewah, toko-toko, bahkan di gubuk-gubuk para peladang, tergantung sangkar-sangkar berbagai corak, mulai harga rendah sampai harga jutaan. Begitu pula burung pengisi sangkar, berbagai macam jenis, warna dan bunyi, harga dan corak burung. Tapi, Mak Karim dan Mak Pundik kesenangannya hanya pada puyuh, piaraan orang-orang dulu, sebagaimana juga balam dan ketitiran.

Mak Karim siang itu berbaring di Dipan dekat jendela. Tubuhnya yang panas sedikit sejuk dihembus angin yang masuk ke ruangan itu. Tiga hari ia disiksa bisul yang tumbuh di kantung telur burungnya, bengkak dan merah menunggu bisul itu pecah, biasanya tumbuh di pinggul, sekarang entah kenapa tumbuh di bagian amat vital. Walau pun begitu, pikiran Mak Karim selalu pada puyuh, rindu memikat di tanah tinggal, tumbuhan rumput, lalang dan belukar, tempat puyuh senang bermain.

"Karim!"

 Ia tersintak dari lamunan mendengar orang memanggil di halaman. Dengan malas ia berdiri dan berjalan agak mengangkang ke pintu masuk.

"Pundik, mau ke mana kau. Bawa puyuh segala." katanya, memandang puyuh di sangkar dalam jinjingan Mak Pundik.

"Ambil puyuh dan sangkar, kita memikat hari ini!"

"Ah, kau sajalah Pundik. Aku lagi kena bisul, makanya aku pakai sarung tiga hari ini. Sakit kalau pakai celana."

"Tak apa-apa, kita memikat di tanah tinggal tepian tebing saja, kan dekat dari sini."

Hobi mengalahkan segalanya, Mak Karim mengangguk, mengambil puyuh dan sangkar pikatan. Mereka menuju tanah tepian tebing, biasanya puyuh banyak bermain menangkap belalang.

Puyuh Mak Pundik, selalu berbunyi dalam sangkarnya. Burung pikatan yang cerdas memanggil lawan, burung tua yang sudah banyak mendatangkan hasil tangkapan. Beda dengan puyuh Mak Karim, burung pikatannya tiga bulan lewat mati dalam sangkar, sakit dan umurnya sudah tua sekali. Puyuh yang ia bawa sekarang hasil pikatan burung yang mati itu, masih liar dan jarang berbunyi. Tapi Mak Karim, mau mencoba dan mengajarnya menjadi burung pikatan. 

Setelah sampai, mereka mencari tempat masing-masing, memasang perangkap di hadapan sangkar. Bila puyuh lain datang, maka kakinya akan terjerat benang yang dipancang di tanah. Mereka bersembunyi di balik belukar, puyuh Mak Pundik tak henti berbunyi memanggil lawannya. Beda dengan Mak Karim, ia duduk mencangkung, menyingsingkan kain sarung, lalu ia meniru bunyi puyuh, berharap puyuh-puyuh liar itu datang ke jerat pikatannya, menyangka yang berbunyi itu puyuh  dalam sangkar.

"Houup, houup, houup!"

Suara Mak Karim persis suara puyuh, suara yang ia latih sejak remaja meniru suara burung itu. Matanya tetap fokus pada sangkar dan jerat, dan ia tak melihat seekor puyuh pun mendekat. Beda dengan Mak Pundik, ia sudah mendapat dua ekor, dan kembali memperbaiki jerat.

"Houup, houup, houup!"

Mak Karim sedikit meninggikan suaranya. Ia tak juga melihat puyuh -puyuh itu datang.

"Houup, houup, houup!"

"Tolonnngggggg!"

Mak Karim menjerit, terhuyung dalam cangkungnya dan terduduk di rumputan. Kedua tangan memegang kantung burungnya. Dua ekor puyuh terkejut dan terbang jauh.

Mendengar suara itu, Mak Pundik melompat dan berlari ke arah Mak Karim yang kini berbaring menahan sakit.

"Kenapa kau Karim!"

Mak Karim berusaha duduk dan meringis, suaranya sendat dan kedua tangannya masih memegang kantung burungnya.

"Saat aku meniru suara puyuh, mataku tetap pada jerat. Aku tak tahu, dua ekor burung itu berjalan ke bawah sarungku dan menampar burungku, mengenai bisul kantung barang pusakaku. Ah...sakitnya bukan main!"

Mak Pundik tertegun, lalu tertawa terbahak-bahak.

"Hahaha, puyuh itu mencari asal suara, mereka menyangka burung milikmu itu adalah lawannya. Hahaha!"

Mak Karim tak menjawab, ia meringis. Telapak tangannya dialiri darah, bisul itu telah pecah.(014)

Post a Comment

0 Comments