Catatan Alfred Tuname, "Anafora Politik Matim"

Alfred Tuname
Politik lokal Manggarai Timur (Matim) nyaris terus diisi oleh irisan pikiran penuh sinis. Itu terbaca dari pemberitaan media (online) yang terus membidik pemimpin politik Matim. Pikiran-pikiran itu berupa komentar politisi di media yang konsisten yang menyudutkan pemerintah. Dalilnya, “kritik yang membangun”. 

Tentu saja, control itu perlu dalam proses pembangunan. Anggaplah kontrol itu adalah “obat kuat” pembangunan.  Sayangnya, kontrol yang dibangun itu overdosis muatan politik poltisi. Dengan sistem “anchor”, informasi pun cenderung sesak dengan pikiran-pikiran politisi atas sebuah persoalan publik. 

Jika berita itu berisikan pikiran-pikiran politisi, maka jelas saja publik membacanya sebagai teriakan politik, bukan kebenaran politik (political truth). Teriakan politik itu begitu terasa dan sifat sangat oposisional (:asal beda saja). Apabila itu datang dari “barisan sakit hati”, teriakannya cenderung absurd (:mengada-ada) dan traumatik. 

Nah, seperti dinamika demokrasi pada umumnya, politik Matim terbaca masih dalam irisan trumatik politik elektoral. Mereka yang berteriak itu adalah pihak gatal pikir yang bersumber dari gunung es truamatik-politik. Lantas jejaring pun dibangun untuk saling menyembuhkan luka politik itu dalam koor terikan politik. Itu biasa dalam politik. 

Jadi, obyek konsumsi politiknya adalah kekuasaan. Jean Baudrillard, dalam bukunya The System of Object (1968), menulis, “untuk menjadi obyek konsumsi, terlebih dahulu sebuah obyek harus menjadi tanda”. Dalam konteks ini, segala sesuatu diangkat menjadi obyek konsumsi politik, sebab ia menjadi tanda politik: perebutan kekuasaan. Pilkada Matim memang masih lama, tetapi kerikil-kerikil politik disiram dari saat ini untuk menjadi hotmix politik di tahun 2023. 

Oleh karena itu, setiap politisi kita menaruh obyek pikirannya di hadapan publik, ia sedang mengafirmasi tanda politik. Tak peduli substansi (:mengerti soal) atau pepesan kosong, asal ada suara saja karena itu berarti sebarisan dalam tenor politik oposisional. Proses mendefinisikan diri sang politisi ada di balik suara itu. 

Lalu benarkan suara itu merepresenstasi kepentingan rakyat Matim? Kalau kita simak baik-baik isi pemberitaan media, justru rakyat sedang ditelikung demi kepentingan politik kekuasaan. Seperti kompeni Belanda yang memboncengi NICA, urusan rakyat menjadi obyek politik para politisi oposan.  

Rakyat sedang sedang bekerja demi peningkatan kesejahteraan; rakyat sedang meminta pemerintah untuk membereskan persoalan ketersediaan infrastruktur; dan rakyat juga sedang berdialog dengan Wakil Rakyat atas persoalan-persoalan pembangunan. Tetapi politisi oposan dan komentator politik luar daerah memanfaatkan kondisi untuk menyalurkan hasrat berkuasa. 

Akibatnya, aspirasi dan suara otentik rakyat hilang tertibun teriakan politik dan komentar oplosan dari para politisi oposan. Teriakan dan komentar mereka lebih keras daripada kepentingan rakyat itu sendiri. Teriakan politik dan komentar oplosan itu diamplifikasi terus menerus untuk mendapatkan gema politik.  Semacam “anafora politik” untuk memperoleh efek politik. Tentu saja karena mereka lebih mementingan kepentingan politik kekuasan tinimbang kepentingan rakyat yang otentik. 

Atas kepentingan politik para politisi yang tak lagi otentik, pemerintah cenderung diam dan terus bekerja sesuai visi-misi. Karena memang, taka da yang substansial selain politik dari setiap teriakan dan komentar. Dibilang kritik pun tidak, sebab terbaca ruang ekspresi emosional (traumatik) lebih dominan disbanding isi pikiran. 

Dalam pepatah “anjing menggonggong kafila berlalu”, pemerintah lebih baik menjadi kafila. Terus berjalan mewujudkan “Matim Seber” dalam setiap kebijakan pembangunan. Toh, mengurus kepentingan banyak orang adalah jalan politik yang paling mulia. Meladeni gonggongan sama artinya menyiram garam di laut. Jika ingin gigit, anjing itu biasa tidak menggonggong. Gonggogan itu seperti asap, menandakan api itu ada, anjing itu ada. Itu saja. 

Dalam politik berdemokrasi, setiap gonggongan itu biasa. Karena memang di sana ada tuan, ada dalangnya. Komparasinya, adalah politik nasional pasca Pilpres. Kalau sebelumnya makan taraf melati, tiba-tiba dikasi bogenvil, maka gonggongan makin keras. Setelah dalangnya ditarik jadi Menteri, semua gonggongan itu melempem. Setiap gonggogan punya nilainya sendiri. Tabiat animalitas politik lokal pun tidak jauh berbeda dengan itu. 

Itu berarti tak ada yang baru dalam proses politik berdemokrasi. Tak ada déjà vu politik: mengais-ngais ingatan untuk menerka yang hal yang baru dalam dinamika politik. Yang ada adalah vuja de politik, yakni dinamika politik yang biasa itu dibahas dalam perspektif yang baru untuk melihat titik-titik simpul yang saling berkepentingan. 

Demikianlah politik Matim. Dalam hal ini, vude ja politik Matim adalah membaca detak-detak dinamika kritik pembangunan untuk mendeteksi titik-titik simpul politik yang berurusan dengan hasrat berkuasa. Politik memang selalu mengandaikan adanya jejaring simpul (:kepentingan). 
Lalu siapa dalang yang bermain dadu di meja politik Matim. Publik pasti tahu di jelang tahun 2023. Teleologi politiknya ke tahun keramat itu. Semua bola liar politik akan bermetamorfosa jadi silet di tahun politik nanti. Koor dan warna politik berpadu di sana mendukung dalang.

Dalang sudah banyak kelaurkan ongkos. Ia tak mau rugi dalam politik. Ia tak mau “sapi punya susu, kerbau punya nama”. Kecuali sapi dan kerbau sama-sama seikat ikut karapan (:kontestasi). 

Politik itu kontestasi terbuka menabur kebaikan untuk kebaikan bersama. Rakyat Matim pasti tahu siapa yang menabur percikan kebaikan, siapa yang menabur angin kebencian. Soalnya, siapa yang menabur angin akan menuai badai. Percikan kebaikan terus-menerus akan menghancurkan bongkahan batu kemiskinan yang menghambat pembanguan. Amin. (kh)

Post a Comment

0 Comments