Nadira Annaila Satria : Gamawan Fauzi, Tersesat di Hutan Si Bunian

Gamawan Fauzi
IMPIANNEWS.COM.

"Hutan Paninggahan Penuh Mistik Tempat Renunggan antara Hidup dan Mati,"

Baru Terungkapnya Penyebab yang sebenarnya Tersesat Gamawan Fauzi beserta rombongan,

Teryata cobaan hidup Mendagri yang paling berat bukan menjalankan tugasnya sebagai pemerintahan tetapi iyalah ketika ia sempat “hilang”

Dihutan ini ia berjanji seandainya Tuhan meredhoi dia selamat maka dia akan menjalankan pemerintahan yang dia amanah kan oleh rakyat dengan sebenar-benarnya, tetapi kalau Tuhan berkehendak lain,maka dia hanya berserah diri,dan kelurga yang ditinggalkan agar rela melepaskannya!!!, dihutan ini lah ujian yang sesunggunya yang pernah ia rasakan,sebelum memulai karinya didunia politik hingga menjabat sebagai MENDAGRI.

Gamawan Fauzi, Tersesat di Hutan Si Bunian, Mantan GUBERNUR Sumatera Barat (Sumbar), Gamawan Fauzi dipercayakan membawakan lagu Si Bunian Bukik Sambuang ciptaan Agus Taher, komponis lokal Sumbar.

Dan saat melantunkan lagu itu (syair lagu ada paling bawah tulisan ini), Gamawan terlihat begitu menghayatinya. Mungkin ini lantaran pengalamannya di masa lalu, mulai Selasa 11 Agustus 1998 sampai Sabtu 15 Agustus 1998, yang sedemikian dalam menusuk alam bawah sadarnya.

Gamawan Fauzi.
Saat ditanya wartawan, adakah sesuatu cobaan hidup yang Anda rasakan selama jadi Mendagri?

Oh… ada, cobaan hidup yang paling berat adalah ketika saya sempat “hilang” selama lima hari di hutan belantara ketika napak tilas perjuangan dari Lubuak Minturun (Kota Padang) hingga ke Paninggahan (Kabupaten Solok) tahun 1999. Nyasar di hutan ini saya anggap sebagai cobaan hidup karena bersama saya ada 116-124 orang lainnya. Mereka ada yang pelajar, mahasiswa, polisi, dan juga pejabat kabupaten.

Gamawan Fauzi, SH MM, (lahir di Solok, Sumatera Barat, 9 November 1957; umur 54 tahun) adalah Menteri Dalam Negeri Indonesia (Mendagri) sejak 22 Oktober 2009. Menjabat sebagai Gubernur Sumatera Barat sejak 15 Agustus 2005 hingga 22 Oktober 2009. Ia juga penerima Bung Hatta Award atas keberhasilannya memerangi korupsi pada saat menjadi bupati di Kabupaten Solok.

Pengalaman itu, tak lain saat dia raib di suatu hutan pada pertengahan Agustus 1998 lalu. Gamawan saat itu tidak sendirian. Dia menghilang bersama seluruh rombongan ekspedisi, yang sedang menjelajahi daerah pedalaman sebagai bagian dari program “pembebasan masyarakat terasing.”

Cerita dimulai ketika datang usulan masyarakat dari Nagari Paninggahan. Nagari ini terletak di pinggir sebuah danau yang elok: Danau Singkarak.

Bupati menyambut rombongan tersebut di rumah dinasnya pada suatu malam. Terjadilah perbincangan antara bupati dan masyarakatnya. Dari diskusi dan perbincangan itu, bupati dilapori bahwa selama ini, warga Paninggahan yang ingin ke kota Padang, terlalu jauh jaraknya. Mereka harus melewati jalan yang sudah ada. Jalan memang sudah bagus, lebar dan beraspal, namun bagi masyarakat yang ada di sana, jalan itu arahnya memutar.

Karenanya, para pemuka masyarakat memberikan sebuah masukan pada bupati.
“Pak, kita sebenarnya bisa membuat sebuah jalan alternatif ke kota Padang.”
“Apa alternatifnya?”

“Kalau saja bapak bisa membangun jalan dari pinggiran danau Singkarak ini, lalu ke Padang, kita akan menghemat sekitar 30 kilometer.”

“Kalau begitu, itu dekat ya?”

Menurut warga, selain memperpendek jarak, ada hal lain yang bisa didapat. Kalau jalan terbuka, ada potensi bahan mentah semen di sana, dan jumlahnya lumayan besar. Selain itu, jika daerah tadi terbuka, terdapat beberapa potensi alam yang bisa dikembangkan.

Warga yang menanami kebunnya dengan kopi, tanaman palawija dan lainnya, bisa dengan mudah mengangkut produksinya. Tentu saja, hal itu juga akan membuat pendapatan masyarakat semakin meningkat. Multi-efek dari pembangunan jalan ini jelas banyak.

Hal yang tak kalah penting, adanya penelusuran jejak perjuangan. Para perintis kemerdekaan, melakukan perjuangan bersenjata di daerah ini.

Masukan ini menarik perhatian Gamawan. Dan dia ingin membuktikannya. Segera dia memberikan kesempatan pada stafnya untuk menganalisa. Bupati mengirim beberapa orang staf ke sana. Sepulang dari sana, mereka mengadakan rapat dengan bupati untuk membicarakan hasil penelusurannya.

Rapat pun digelar, dihadiri bupati, staf pemerintahan dan tim survei.
“Bagus Pak,” kata salah seorang tim survai.
Bupati merasa perlu untuk melihatnya langsung. “Pak, hari mau tanggal 17 Agustus. Kalau nanti terjadi apa-apa, kan bisa repot juga,” salah seorang staf mencemaskan niat Gamawan.
“Bagaimana kalau para staf dulu yang ke sana,” kata yang lain.

Yang lain justru setuju kalau Gamawan langsung ke lokasi. “Pak, kami sudah melakukan survai dan sudah kami beri tanda-tanda, dan tidak akan tersesat.”
Rapat menghasilkan keputusan untuk melakukan napak tilas massal. Waktu dan tempat pemberangkatan pun ditentukan, 11 Agustus 1998. Napak tilas dimulai dari Nagari Paninggahan dan berakhir di Lubuk Minturun, Padang Pariaman. Jarak dari Paninggahan ke Lubuk Minturun, sekitar 46 km. Dari jarak yang diketahui, diperkirakan perjalanan itu menempuh waktu sekitar dua hari.

Pagi itu, Selasa, 11 Agustus 1998, berangkatlah rombongan dari pelataran kabupaten Solok. Jumlah rombongan ada 136 orang. Banyak warga yang mendampingi. Pelepasan rombongan dilakukan di kantor Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), cabang Solok.
Dalam rombongan, terdapat para pejabat pembuat dan penentu keputusan yang ada di Kabupaten Solok. Mulai pejabat eselon II, dan kepala dinas. Mereka antara lain kepala Dinas Perhubungan, kepala Dinas Pekerjaan Umum, dan beberapa pejabat yang lain.

Para tetua adat melepas rombongan di Nagari Paninggahan, setelah sebelumnya diadakan upacara dan doa bersama untuk keselamatan seluruh rombongan.

Berunding di Tengah Hutan
Pada awal perjalanan, rombongan tidak menemui kendala. Mereka berjalan beriringan menapak lebat dan rimbunnya hutan. Tak terasa, waktu telah menjelang sore. Keadaan jalan dan hutan yang mereka lewati, mulai terasa gelap. Hutan semakin lebat. Cahaya matahari makin sulit menembus kegelapan hutan. Rombongan memutuskan untuk menginap pada salah satu punggung bukit.

Esoknya, Rabu, 12 Agustus 1998, rombongan melanjutkan lagi perjalanan. Hutan itu sungguh lebat dan rimbun, seolah belum terjamah tangan manusia. Mereka terus menyusuri jalanan. Seharian itu rombongan berjalan dan beriringan.
Persoalan mulai datang. Beberapa orang menginjak sarang tawon. Mereka kalang kabut dan terpencar. Beberapa orang tersengat. Insiden tak berlangsung lama. Mereka kembali menyatukan diri ke dalam kelompok-kelompoknya.

Persoalan yang lebih besar datang. Ternyata, tanda-tanda yang mereka buat sebelumnya sebagai penunjuk jalan, kini tidak nampak lagi. Pada sebuah punggung bukit , rombongan pun berhenti sejenak untuk mengatur siasat.

Hasil dari kemufakatan, rombongan memutuskan untuk mengirim dua belas orang sebagai tim pembuka. Rombongan ini bertugas mencari tanda-tanda yang telah dibuat. Begitu melihat tanda itu, rombongan ini harus balik lagi sehingga seluruh rombongan dapat melanjutkan perjalanan.

Detik berganti menit. Menit berganti jam. Tak terasa, satu jam telah berlalu. Kedua belas orang yang bertugas mencari jejak, tak ada kabarnya. Mereka seolah hilang ditelan bumi.

Akhirnya, rombongan yang masih berjumlah 116 orang, kembali berunding. Beberapa orang yang dianggap mengerti dan mampu membaca kompas dan peta diajak berunding. Mereka harus menentukan langkah, ke arah mana jalan yang harus dilalui.

“Saya kan tak ahli baca kompas, Pak. Siapa yang ahli baca kompas, baca peta, bukan kompas yang otomatis itu, tapi peta hutan,” kata Gamawan.

Lalu, peta hutan dijabarkan dan arah pun ditelisik dengan kompas. Dari perundingan para pembaca arah ini, mereka mencapai sebuah kesepakatan, bahwa untuk mencapai kota Padang Pariaman, harus ke arah barat. Mereka menyampaikan hasil itu ke bupati.

Akhirnya, rombongan melanjutkan perjalanan ke arah barat, seperti yang telah disepakati.

Menjelang jam enam sore, jalan yang ada di hadapan mereka tidak nampak lagi. Tidak ada gambaran, mereka akan sampai di Padang Pariaman, seperti jadwal yang telah ditentukan.

Apa yang menghampar di hadapan mereka, sungguh menciutkan nyali, bagi yang tak terbiasa mengikuti kegiatan alam bebas. Bukit itu seolah tak ada putusnya. Sambung menyambung dan berbaris. Tak heran jika orang menyebutnya Bukit Barisan. Bukit itu memiliki jurang yang sangat dalam, dengan puncak menjulang seperti kerucut. Sanking dalamnya, sebuah batu yang dijatuhkan ke dasar jurang, tidak akan terdengar suaranya.

“Sudah jam enam, Pak,” kata Dusral, seorang anggota rombongan, pada Gamawan.

“Ah, cobalah kita tunggu seluruh anggota rombongan hadir dulu, dan tak boleh ada yang tertinggal,” jawab Gamawan.
Tepat pukul 19.00, semua rombongan sudah berkumpul. Mereka belum membuat rencana dan memberi kabar kepada masyarakat luas, tentang keadaan mereka.
“Jadi bagaimana rencananya, Pak?”
“Kita lanjutkan juga lah, tapi sekedar mencari tempat tidur.”

Gamawan sebenarnya cemas juga. Dia tak mau kecemasannya terlihat orang lain.
Kecewasan Gamawan lumrah. Bila dari 116 orang yang ikut rombongan ada yang kecelakaan satu orang saja, resikonya besar sekali untuk Gamawan. Di sinilah ketenangan dan pengendalian diri itu penting.

Gamawan tetap memberikan komando dengan baik. Dia menyapu seluruh kecemasan dari parasnya.
Bagi Gamawan, pada situasi sulit itu, kepemimpinan seseorang seolah diuji dalam mengambil keputusan. Misalnya saja, ketika ada sebuah lembah menghampar di depan mereka.

Lembah itu mereka lalui dengan cara berjalan memotong. Alasannya, kalau mereka memaksa untuk melintasinya, rombongan bisa berguguran ke lembah itu. Jalan alternatif adalah dengan melambung, meskipun untuk itu mereka harus mengeluarkan tenaga ekstra.

Hal lain lagi, tatkala hari telah mulai sore, dan mereka sudah menumpuk di satu tempat, tentu saja mereka tak bisa menginap. Kondisi alamnya tidak memungkinkan. Gamawan memimpin mereka untuk turun ke bawah dan mencari air. Di tempat yang ada airnya itulah, mereka bisa menginap.

Mereka memperkirakan berada di ketinggian 2.200 meter. Udara dingin menusuk. Sementara, makanan yang mereka bawa telah mulai menipis. Hanya makanan sisa dan air yang tertinggal.
Malam itu rombongan berjalan lagi. Namun, yang mereka cari bukan lagi jalan yang benar, tapi sungai. Mereka berusaha mengikuti arus air untuk jalur pulang, sembari melepaskan dahaga dan tempat untuk bermalam.

Mereka teringat satu wejangan di awal sebelum berangkat. Kalau tersesat di rimba, yang mereka cari adalah sungai. Sungai pasti mengalirkan airnya ke bawah. Di sepanjang aliran sungai itulah, biasanya ada pemukiman penduduk.

Dari 116 orang, cuma ada enam senter untuk penerangan. Seolah tak hilang akal, mereka menggunakan botol bekas minuman energi, sebagai tambahan penerangan. Caranya? Botol dari beling ukuran segenggaman orang dewasa itu mereka beri minyak tanah di dalamnya. Untungnya, mereka bawa minyak tanah. Mereka memberi sumbu dari kain yang dirobek. Jadilah lampu damar, atau lampu jongkok.

Malam kian gelap. Seolah tak jelas, mereka berjalan di atas bukit atau di jurang. Yang pasti, mereka berjalan sambil berpegangan tangan dengan posisi miring. Tangan yang satu memegang tangan orang yang di depan, dan tangan yang satu lagi dipegang orang yang di belakang. Mereka mencengkram erat tangan orang yang ada di belakang atau di depannya. Kuatir terjatuh atau diterkam harimau.

Rombongan berjalan merayap. Dengan langkah pelan dan teratur, mereka menuruni jalan. Berjalan paling depan, ada empat orang dari dinas kehutanan. Mereka inilah yang bertugas membuka jalan dengan parang yang dimiliki. Dengan tetap saling berpegangan tangan mereka mencari celah, untuk jalan yang bakal dilalui. Gamawan berada di baris keenam dari rombongan.

Selain merentangkan tangan saling mencengkram, rombongan juga menggunakan alat bantu sebisanya. Misalnya, jika ada rotan, maka rotan itu akan mereka ikatkan pada kayu yang ada di atas. Dengan cara demikian, rotan itu dapat mereka gunakan sebagai alat bantu.

Perjalanan malam itu lambat sekali. Kondisi jalan yang gelap dan turunan curam, sangat menyulitkan perjalanan.
Akhirnya, mereka menemukan sungai. Saat itu, kondisi sudah larut malam. Ketika mencapai tepian sungai, jarum jam di tangan menunjuk pukul 23.30. Untuk sejenak mereka bisa bernapas lega. Walau kegalauan dan sesuatu tak menentu, memenuhi hati dan pikiran.

Hal pertama yang dilakukan di tepian sungai, tentu saja menghitung jumlah anggota rombongan. Setiap orang diminta untuk berhitung. Sesuai dengan barisannya. Terdengar teriakan. Satu, dua, tiga, empat……… seratus dua puluh empat. Nah, berarti jumlah anggota lengkap.

Meski sudah berada di tepian sungai, tempat itu bukanlah sebuah lahan datar atau tanah lapang. Daerah itu merupakan sebuah punggung bukit yang curam. Mereka menentukan keputusan. Menginap dan istirahat di sana. Spontan saja, tiap orang meraba tanah yang dipijak. Tangan mereka meraba-raba tanah, batu, pasir atau mencari batang pohon. Sekedar menyangkutkan badan di sana dan tidak tergelincir ke bawah. Yang pasti, seketemunya saja dan tidak di dalam air.

Lewat tengah malam, sekitar pukul 12.30, mereka mengirimkan pesan lewat Organisasi Radio Amatir Indonesia (ORARI). Isinya, rombongan itu tersesat. Meski begitu, mereka berpesan, keluarga atau orang yang berada di luar, jangan panik dengan kondisi itu.

Malam itu mereka bermalam di bawah payung semesta. Yang ada hanya gelap. Sepi dan pekat. Rombongan tidak sepenuhnya tertidur. Mereka letih dan capai, sementara perut menahan lapar dan belum terisi. Hanya makanan kecil, seperti roti atau biskuit yang tersisa. Itu pun tidak cukup sebagai pengobat rasa lapar.

Keadaan psikologis mereka pun rapuh. Ini lantaran mereka tak punya gambaran keadaan apapun di sekitar mereka. Gelap hampir merata. Mereka tak tahu sedang berada di mana.

Sarapan Pagi.

Kamis, 13 Agustus 1998. Sekitar pukul 05.00, sinar matahari mulai menerobos gelapnya lembah yang mereka tempati. Kilauan cahaya mentari, membangunkan seluruh rombongan. Serentak mereka bangun dan mengadakan salat berjamaah. Usai salat subuh, semuanya berkumpul.
“Ada yang masih punya bekal?”
Kepala Dinas Kesehatan, dr.Yasril Rifa’i masih menyimpan sebungkus pop mie. Mereka memasaknya. Setelah matang, pop mie itu mereka bagi kepada semuanya. Satu pop mie untuk 116 orang.

Dan minuman buat sarapan? Masih ada serbuk kopi yang rupanya masih tersisa. Ini mereka seduh dengan air. Hasilnya, sebotol kopi panas, seukuran botol minuman mineral besar. Kopi itu pun dihidangkan ke seluruh rombongan. Takarannya? Tiap satu orang, satu tutup botol minuman mineral itu. Mungkin, kata Gamawan, itulah kopi ternikmat yang pernah mereka minum.
“Saya yang terakhir. Orang lain duluan, saya kemudian,” kata Gamawan ketika ditawari kopi untuk kali pertama.

Tuntas “sarapan” mereka melanjutkan perjalanan dengan menyusuri sungai. Seharian mereka berjalan menyusuri daerah sepanjang aliran sungai. Sungai berkelok dan beriam. Sesekali memutar, karena sungai yang menghadang di depan terlalu lebar dan dalam.

Menjelang malam, mereka pun beristirahat di sekitar aliran sungai. Mereka bermalam dengan badan letih dan perut kosong.
Jum’at, 14 Agustus 1998. Pukul 07.00, hari sudah mulai terang. Mereka melanjutkan perjalanan. Berjalanlah mereka di sepanjang aliran sungai. Dari satu sungai kecil ke sungai yang lebih besar atau sebaliknya. Tiap orang harus berjuang. Mendaki bukit terjal atau menuruninya. Begitu seterusnya.

Sejak itu, tak ada lagi bekal tersisa. Mereka mengisi seluruh botol air mineral yang ada. Untuk menahan lapar, air itulah yang digunakan sebagai penganjal perut. Meski terjadi kekuatiran pada beberapa orang, air yang diminum kurang bersih atau tidak sehat. Tapi, dalam kondisi seperti itu, mereka harus yakin dengan apa yang ada di hadapannya. Dan memang, hanya air itulah yang dapat menolong mereka.
Saat itu, dari sebuah radio ORARI yang terpegang terdengar suara.

“Pa, papa gimana keadaannya?”
Yang ditanya langsung menjawab.
“Tenang saja, papa tidak apa-apa.”

Nada suara di seberang diliputi kecemasan. Sebuah kekuatiran, bakal terjadi sesuatu pada orang dicintainya. Suara yang terdengar di seberang adalah suara Gita, anak Gamawan. Dia menanyakan keadaan ayahnya. Suaranya diliputi kekuatiran. Kecemasan seorang anak terhadap ayahnya. Benny Mukhtar yang ada di dekat Gamawan, sempat meneteskan air mata.
Hari itu mereka berjalan sepanjang hari. Beriringan menelusuri lebatnya hutan. Siang itu, hujan datang mengguyur tubuh mereka. Sepanjang jalan mereka melihat pepohonan yang besar-besar. Pepohonan ini berjajar di kanan dan kiri jalan. Seandainya dua tangan orang dewasa direntangkan, tak akan bisa menjangkau diameter pohon itu.

Salah seorang staf kehutanan menilai, pohon itu umurnya sudah ratusan tahun. Kalau dijual, bisa mencapai harga sekira Rp 4,5 juta/ per batang. Ada kayu Borneo, Meranti, dan sejenisnya. Hutan itu belum tersentuh sama sekali. Rotan dan berbagai jenis tanaman langka, yang diperdagangkan dan dijual dengan harga mahal, ada di sana.

Sepanjang aliran sungai, mereka bisa melihat berbagai jenis ikan. Air sungai itu sangat jernih sekali. Bila mereka melemparkan sesuatu ke atas sungai, ikan berdatangan dan mengerumun. Tapi, mereka hanya sanggup menatap ikan itu. Tak ada alat penangkap yang bisa digunakan.

Sore hari, mereka menemukan delta, kawasan tempat bertemunya beberapa sungai. Lebar sungai itu sekitar 20 sampai 25 meter. Kedalamannya berfariasi. Mulai satu meter, dua meter, tiga meter dan banyak juga lubuk-lubuknya.

Selama perjalanan, mereka menyeberangi puluhan, bahkan ratusan sungai. Bila ada lubuk dalam dan tidak bisa dilewati, mereka akan berjalan memutar untuk menyeberanginya. Naik dan turun bukit lagi untuk mencapainya. Selama perjalanan itu pula, mereka selalu berhubungan dan dipandu ORARI. Mereka terus berjalan mengarah ke daerah yang rendah.

Malam itu, kembali seluruh rombongan berhenti di pinggiran sungai. Melepas lelah dan beristirahat. Gamawan memanggil seluruh pimpinan rombongan, untuk mengadakan diskusi. Mungkin, mereka melakukan suatu kesalahan, seperti wejangan yang diberikan sebelum berangkat. Mereka melakukan koreksi dan meminta maaf pada sang pencipta alam bila ada suatu kesalahan yang diperbuat.

Seluruh orang sudah merasa was-was. Mampukah mereka keluar? Nyatanya, sudah dua hari perut tak ada yang terisi. Dari diskusi itulah, mereka bersepakat untuk terus mengikuti jalur sungai, supaya seluruh rombongan bisa keluar dari rimba.
Sepanjang hari itu, rombongan tetap berjalan. Meski dengan perlahan. Mereka juga menghemat baterei di pesawat ORARI, dan menggunakannya sesekali saja. Hari itu, seluruh rombongan melewatkan bermalam di hutan. Di pinggir sungai seperti hari sebelumnya. Anehnya, setiap siang hari turun hujan. Dan bila malam menjelang, hujan tak tercurah. Mereka memasrahkan diri pada yang kuasa. Tak lupa, selama dalam perjalanan dan isrtirahat, mereka melakukan salat berjamaah bersama.

Malam itu, nampak seseorang sedang termenung sendirian di antara kerumunan orang. Badannya subur dengan senyum selalu terkembang di wajahnya, ketika berbicara.

“Ambo ulang tahun ni Pak,” kata lelaki itu.
“Ya, kita nikmati saja di hutan ini,” jawab Gamawan, sambil mengucapkan selamat ulang tahun dan memeluk Benny Mukhtar.
Sabtu, 15 Agustus 1998.

Hari telah menjelang pagi. Mereka kembali berkumpul. Seluruh rombongan ditanya, apa ada bahan mentah yang masih tersisa. Ternyata ada. Mungkin, dia segan mengeluarkan dari awal, karena bekalnya sedikit. Ada beras setengah liter, ada juga pop me. Mereka memasak bahan itu dengan alat masak, dan mencampurnya jadi satu. Gamawan ikut mengaduk bahan itu. Hasilnya, jadilah nasi lembek hampir mirip bubur.

Nasi dibagikan kepada 116 orang. Sebagai piringnya, mereka menggunakan daun untuk alas makan. Pokoknya, asal masih dapat untuk bertahan hidup.
Selanjutnya, rombongan kembali melanjutkan perjalanan. Melihat perjalanan rombongan yang sangat lamban dan tertatih, muncul usul mengirim orang yang masih punya tenaga ekstra untuk berjalan terlebih dahulu dan meneruskan perjalanan. Dari perundingan yang dilakukan, ada enam orang yang masih mampu berjalan cepat. Mereka mengusulkan diri.

“Biarlah Pak, kami yang berjalan dulu menelusuri ini, agar bisa lebih cepat dapat bantuan.”

Hal itu dapat dimaklumi, kalau mereka terus berjalan bersama 116 orang, memang tidak bisa berjalan dengan cepat. Karena harus saling menunggu yang lain. Mereka memperkirakan, rata-rata dalam satu jam, hanya mampu menempuh jarak, setengah sampai satu kilo meter saja.

Mereka sudah memasrahkan diri pada Yang Maha Kuasa. Kalau memang yang kuasa masih memberikan hidup. Tapi kalau tidak, barang kali inilah hidup. Memang tidak ada pilihan lain.

Gubernur Pimpin Pencarian
Di tempat terpisah, Gubernur Dunidja mengkoordinasikan tim pencarian, di tempat yang diperkirakan bakal menjadi keluarnya rombongan. Melalui ORARI, Dunidja memberitahukan pada rombongan, bahwa masyarakat telah diliputi kecemasan. Dia berbicara langsung pada rombongan yang tersesat.
“Ini ada helikopter terbang, nampak ndak?” suara Gubernur terdengar dari pesawat ORARI.

Dari dalam hutan, mereka tak melihat helikopter itu. Bahkan suaranya pun tak terdengar. Lebatnya pepohon yang ada di hutan menghalangi pandangan mereka. Dedaunan pohon saling bertemu, satu dengan lainnya. Sebaliknya, mereka yang berada di dalam helikopter tak melihat orang-orang yang sedang tersesat itu. Tim SAR dari udara kebingungan.

Rombongan Gamawan kembali mengabarkan, posisi mereka berada di sungai, yang lebarnya antara 20-25 meter. Tim SAR lagi-lagi kebingungan untuk mencari lokasi sungai. Dari udara, mereka melihat ada banyak sungai.

Selain menggunakan helikopter, tim penolong juga menembakkan senjata ke udara, sebagai tembakan salvo. Melalui alat komunikasi, Vita Nova meminta Gamawan untuk mendengarkan bunyi tembakan.

“Bapak, coba dengar tembakan salvo ini, dengar atau tidak?”
“Tidak.”

Padahal, bunyi tembakan itu keras. Berarti, posisi mereka masih jauh, pikir Vita.
Sabtu, 15 Agustus 1998. Ada berita dari ORARI, dari rombongan enam orang yang berangkat duluan, salah seorang di antaranya sudah masuk perkampungan. Tim SAR akan segera mengirimkan bantuan.

Pada pukul 14.00, mereka terus melanjutkan perjalanan. Akhirnya, mereka ketemu dengan rombongan yang sebelumnya sudah berangkat duluan. Mereka mendapat bantuan makanan. Ternyata, dari enam orang itu, hanya satu yang masih bisa melanjutkan perjalanan. Yang lain tercecer dan berhenti di tengah jalan. Yang selamat sampai tujuan bernama Bakri. Bajunya sampai koyak-koyak. Dia terus berjalan dan menyeberangi sungai yang ada.

Orang yang berada di perkampungan kaget, ada orang berjalan dari hutan sendirian dengan baju terkoyak. Setelah dia menjelaskan, akhirnya penduduk tahu dan menjemput rombongan yang lain. Perkampungan itu merupakan sebuah bukit. Namanya bukit Gogoan. Di bukit itulah, banyak terdapat bahan mentah untuk produksi semen.

Lima orang yang semula berangkat lebih awal, akhirnya sampai juga di perkampungan terdekat. Begitu pun dengan dua belas orang yang tadinya, berusaha mencari jejak dan tanda-tanda awal. Mereka telah sampai juga di sana. Hampir bersamaan waktunya.

Setelah melakukan sujud syukur, Gamawan langsung salat. Cukup lama dia salat.
Perkampungan itu masih jauh dari tempat di mana semua orang sedang menunggu mereka. Malam itu, mereka melewatkan tidur di perkampungan terdekat ini. Setidaknya, secara fisik mereka telah ditemukan oleh tim SAR dan penolong.
Minggu, 16 Agustus 1998, pagi. Rombongan Gamawan menuju perkampungan. Akhirnya, seluruh rombongan sampai juga di Posko Pencarian. Mereka mendapat bantuan kesehatan dan makanan. Seluruh rombongan melakukan sujud syukur. Mereka telah terhindar dari sebuah bencana besar. Bencana yang hampir saja merengut nyawa mereka.

Seluruh rombongan tiba di posko. Waktu itu orang menamakan Posko Pencarian Bupati Solok. Tempat itu ada di Kampung Serabutan, Kabupaten Pariaman.
Dalam sekejap, tempat itu telah berubah seperti pasar dan kampung baru. Orang berdatangan dari segenap penjuru ingin mendengar kabar. Begitu pun seluruh anggota keluarga yang tersesat, berkumpul di sana. Segala perasaan seolah tertumpah. Peluk bahagia dan tangis mewarnai pertemuan.

Tim penolong sibuk menangani beberapa orang yang terluka. Ada orang yang kulitnya terkena kayu Jilatang, yang kalau tersentuh, akan mengakibatkan kulit terkelupas dan seperti terbakar. Ali Danar, seorang kepala cabang Bank Bukopin Solok, mengalami patah kaki dan harus ditandu.
Empat orang mengalami halusinasi. Mereka menggigau dan bicara sendiri, seakan-akan, masih berada di hutan.
Peristiwa menghebohkan itu disiarkan secara luas oleh media massa, baik lokal , nasional, maupun internasional.

Seminggu setelah itu, Gamawan membuat syukuran di tempat itu. Seekor kambing dipotong. Syukuran itu diisi dengan doa dan berbagai sambutan dari para tetua adat, masyarakat, organisasi masyarakat dan semua pihak.

“Secemas-cemasnya bapak yang tersesat di hutan, masih cemas kami yang di luar. Karena, bapak adalah pemimpin yang selama ini selalu bersama-sama, dan diidolakan semua orang,” kata tetua masyarakat.

Pada hari kesepuluh, Gamawan juga mengadakan acara yang sama di lingkungan pegawai Kabupaten Solok. Dalam acara itu, Gamawan mengundang warga Kampung Serabutan. Dia menyediakan kendaraan dan menjemput mereka. Bagi Gamawan, mereka itulah yang banyak membantu rombongan ketika tersesat. Gamawan menganggap kampung itu adalah kampung keduanya, setelah Alahan Panjang. ***

Post a Comment

0 Comments