Pengibaran Bintang Kejora Depan Istana, DPR: Simbol Itu Mengoyak NKRI

Oleh: Ahmad ZR/ Fichri Hakiim

IMPIANNEWS.COM (Jakarta).

Sebuah bendera kecil dengan simbol Bintang Kejora sempat berkibar dalam demonstrasi massa dari Papua di depan Istana Kepresidenan, Kamis (22/8). Tak hanya itu, atribut hingga cat wajah beberapa demonstran memuat simbol Bintang Kejora.

Siapa yang mengibarkan bendera itu? Apakah murni dari gerakan mahasiswa yang menuntut penyelesaian kasus dugaan rasisme oleh oknum di Surabaya dan Malang, atau ada pihak lain yang memboncengi aksi mahasiswa?

Terlepas apa pun motifnya, anggota Komisi I DPR RI Sukamta sangat menyayangkan pengibaran Bintang Kejora di sekitar Istana yang menjadi simbol penting negara. Meski tidak lama berkibar, pengibaran itu memberi isyarat bahwa negara harus tegas dan serius menanggapinya.

Jika tidak direspons serius, ini akan menjadi bom waktu dengan selebrasi yang lebih besar. Simbol yang biasa digunakan oleh pendukung Organisasi Papua Merdeka (OPM) itu tidak bisa dibiarkan karena akan mengoyak NKRI dan persatuan bangsa Indonesia.

“Bibit separatisme sekecil apa pun perlu disikapi dengan bijak dan segera agar tidak membesar di kemudian hari,” kata Sukamta kepada Indonesia Inside, saat dihubungi, Kamis (22/8).

Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini mengimbau kepada warga Papua agar menyuarakan hak dan aspirasinya di bawah panji Merah Putih.
Masyarakat Indonesia bersimpati atas aksi-aksi mereka sepanjang yang diperjuangkan tidak mencederai nilai-nilai kebangsaan. Sebagai rasa cinta kepada Indonesia seyogyanya dalam aksi-aksi yang dilakuan membawa bendera Merah Putih.

Ini sekaligus menandakan nasionalisme dan semangat patriot terpatri dalam sanubari masyarakat Cenderawasih itu. Namun jika perjuangan mereka melenceng, pemerintah harus mengambil sikap tegas.

“Saya kira jika aksinya membawa bendera Merah Putih akan semakin kuat solidaritas buat Papua dari warga masyarakat,” katanya.

Mengenai ancaman separatisme, kata Sukamta, Pemerintah harus serius soal ini. Aksi-aksi yang berpotensi diboncengi kepenringan luar tidak bisa berlarut-larut di Papua. Jika perlu ditangani oleh semua lini termasuk dengan cara diplomasi.

“Jika hal ini bisa sejalan dengan kebijakan pembangunan di Papua yang menggelontorkan anggaran hingga Rp100 triliun, kita harapkan bisa menyelesaikan akar persoalan,” ujarnya.

Aksi yang mengatasnamakan diri Aliansi Mahasiswa Antirasisme, Kapitalisme, Kolonialisme, dan Militerisme itu digelar di sekitar Monas dan Istana Kepresidenan. Sekitar seratus massa datang dengan mobil komando dan sebagian massa telanjang dada.

Atribut Bintang Kejora sempat dikibarkan dan massa menyanyikan lagu dengan lirik menuntut kemerdekaan Papua. Aksi ini dibalut luapan kekecewaan dan ketersinggungan atas isu rasisme di Surabaya dan Malang, Jawa Timur.

Mereka tidak hanya menolak perlakuan rasisme. Teriakan menuntut merdeka beberapa kali terdengar dari kumpulan massa. Dari nama aksinya juga mencantumkan antikolonialisme dan militerisme.

Semula mereka akan menggelar aksi depan Mabes TNI AD namun tidak diberi izin sehingga bergeser ke Monas menuju Istana Kepresidenan. Mereka mulai berdatangan ke lokasi sejak pukul 12.30 WIB, Kamis (22/8).

“Kami ingin merdeka! Bendera kami bintang kejora, bukan merah putih!”, teriak seorang peserta unjuk rasa.
Massa juga menyatakan kecewa terhadap tanggapan Presiden Joko Widodo terkait aksi rasisme yang sedang ramai diperbincangkan. “Tidak bisa begitu saja menyelesaikan dengan minta maaf. Ini bukan lebaran!” ujar seorang orator dari atas mobil komando.

Massa sempat bersitegang dengan aparat kepolisian saat dihalangi bergerak ke Istana. Namun suasana mereda saat massa diberi akses berorasi tidak jauh dari depan Istana.

“Papua itu bintang kejora, bukan merah putih. Biarkan kami si kulit hitam dan rambut keriting memisahkan diri dari kalian,” tegas seorang orator dari atas mobil komando.

Massa meminta keadilan dan merdeka. Mereka juga menuntut agar diakui bahwa Papua sudah merdeka pada 1961. Begitu juga dengan spanduk yang mereka bawa, beberapa diberi tanda bintang.

“Berikan hak menentukan nasib sendiri untuk mengakhiri rasisme dan penjajahan di West Papua,” demikian salah satu bunyi spanduk besar yang dibawa massa.

Bendera Bintang Kejora digunakan untuk wilayah Nugini Belanda dari 1 Desember 1961 hingga 1 Oktober 1962 ketika wilayah ini berada di bawah pemerintahan Otoritas Eksekutif Sementara Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kini, bendera ini biasa digunakan oleh pendukung Organisasi Papua Merdeka (Aza)

Post a Comment

0 Comments