Pakar Hukum Tata Negara Ini Peringatkan Kubu 01 soal Gugatan Pilpres Prabowo ke MK



Ketua Tim Hukum Badan Pemenangan Nasional (BPN) calon Presiden dan Wakil Presiden nomor urut 02 Bambang Widjojanto (kiri) menyerahkan berkas pendaftaran gugatan perselisihan hasil Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2019 ke Panitera MK di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Jumat (24/5/2019).

IMPIANNEWS.COM (Jakarta).

Sejumlah pakar hukum tata negara memberikan tanggapan terkait sengketa Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 di Mahkamah Konstitusi (MK). Satu di antaranya adalah pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas Feri Amsari.

Feri Amsari menyebut langkah pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno mengajukan sengketa Pilpres 2019 ke MK patut diapresasi.

"Saya pikir harus ya, karena putusan MK itu sudah final ya, final and binding, mengikat, mengikat siapa saja yang ikut dalam keputusan itu," ujar Feri saat menjadi narasumber dalam program Kompas TV, Mencari Pemimpin, Jumat (7/6/2019).

Feri mulanya menyebut penyelesaian sengketa Pilpres di MK merupakan keharusan.

Selain amanat konstitusi, kedua kubu yang bersaing di Pilpres, yakni kubu 01 Joko Widodo-Maruf Amin dan kubu 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, telah bersepakat dengan jalan tersebut.
"Nah begitu MK sudah memutus, tidak ada lagi cerita, untuk mengomentari hal hal yang tidak berkaitan dengan putusan MK,” kata Feri.

Feri pun berharap kedua kubu masing-masing tidak lagi melakukan langkah di luar MK untuk merespons hasil Pilpres 2019 yang telah diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).

“Langkah kubu BPN maju ke Mahkamah Konstitusi, kan sudah disambut oleh kedua belah pihak yang benar, konsekuensinya tidak ada langkah lagi selain itu. Tidak ada lagi turun ke jalan, dan ini penting bagi kedua kubu untuk mengatakan pada pendukung masing-masing bahwa hentikan segala proses di luar MK, mari buktikan di sana," kata Feri.

"Karena kan begini, kedua belah pihak boleh saja menuduh, misalnya kubu 02 menuduh kecurangan. 01 mengatakan tidak cukup bukti, tetapi semua itu harus dibuktikan di Mahkamah Konstitusi, bagaimana tuduhan-tuduhan itu," imbuhnya.

Pada kesempatan itu, Feri juga memberikan peringatan kepada kubu 01 agar siaga menghadapai gugatan yang dilayangkan kubu 02.

"Kita kan melihat bahwa permohonan BPN, walaupun kalau dibaca 37 halaman banyak kelemahan, 01 kan harus tetap mempersiapkan.

 Jangan-jangan BPN sedang mempersiapkan keterangan saksi yang luar biasa untuk kemudian membongkar permasalahan," ungkap Feri.

Namun, Feri juga mengkritik langkah BPN yang masih menyembunyikan bukti yang akan diajukan ke MK.
"Tetapi juga tak boleh BPN mengatakan 'kalau kami sedang menyimpan sesuatu' seolah-olah menyembunyikan sesuatu dalam persidangan, nanti mau dibongkar semua di persidangan MK," ulasnya.

"Pertanyaan besarnya, bagaimana kalau tidak ada apa yang dijanjikan itu?" imbuh Feri.

Pada kesempatan itu, Tim Hukum dan Advokasi BPN, Ali Lubis mengatakan alasan BPN melakukan hal tersebut.
Ia menuturkan BPN harus menjaga bukti dengan dalih agar tidak diusik kubu lawan.

"Termasuk yang misalnya alat bukti maupun saksi, jadi tidak serta merta kita publis semua karena bisa menjadi contohnya kita sebutkan nama saksi saja, takutnya ada pihak yang mengganggu, misalnya bukti, kita sebutkan A sampai Z akan ada pihak-pihak yang tertentu juga yang mencoba merampas atau menghilangkan bukti, itu yang kita hindari," jelasnya.

Anggap Janggal 2 Poin

Selain itu, Feri Amsari juga menilai ada dua poin dari 7 poin petitum atau tuntutan sengketa kubu 02 yang janggal, yakni poin ke-4 dan poin ke-5.
Poin ke-4 yang berbunyi 'Membatalkan (mendiskualifikasi) pasangan calon presiden dan wakil nomor urut 01, Presiden H Joko Widodo dan KH Mar'uf Amin sebagai Peserta Pilpres 2019".
Menurut Feri, diskualifikasi pasangan calon merupakan wewenang Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), bukan Mahkamah Konstitusi (MK).

"Memang yang janggal dari tujuh ini cuma dua saja. Satu mendiskualifikasi calon Jokowi, yang itu bukan kewenangan MK, kewenangannya itu ada di Bawaslu KPU," ujar Feri.

Lantas pada poin ke-5, yang berbunyi, “Menetapkan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden nomor urut 02 H Prabowo Subianto dan H Sandiaga Salahudin Uno sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih periode 2019-2024".

Menurutnya, penetapan pemenang terpilih bukanlah kewenangan MK, melainkan Komisi Pemilihan Umum (KPU).

"Mahkamah menjelaskan bahwa ada suara yang beralih, lalu nanti akan ditetapkan oleh KPU, kalau ada PSU (Pemilihan Suara Ulang), selesai PSU, maka nanti KPU menetapkan," ujarnya.
"Jadi tidak boleh juga salah petitum itu, sama saja mendalilkan sesuatu untuk peradilan perdata tapi (praktiknya) di dalam peradilan pidana, jadi tidak tepat,” imbuhnya.

Diketahui adapun dalam berkas permohonan perselisihan hasil pilpres yang diajukan Prabowo-Sandiaga, ada 7 poin yang menjadi petitum atau tuntutan.

Tujuh poin tersebut adalah:

1. Mengabulkan permohonan pemohon seluruhnya;

2. Menyatakan batal dan tidak sah Keputusan KPU Nomor 987/PL.01.08-KPT/06/KPU/V/2019 tentang Penetapan Hasil Pemilu Presiden, Anggota DPRD, DPD tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara Nasional di Tingkat Nasional dan Penetapan Hasil Pemilihan Umum Tahun 2019;

3. Menyatakan pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 01 Joko Widodo dan KH Ma'ruf Amin terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran dan kecurangan pemilu secara terstruktur, sistematis, dan masif;

4.Membatalkan (mendiskualifikasi) pasangan calon presiden dan wakil nomor urut 01, Presiden H Joko Widodo dan KH Ma'ruf Amin sebagai Peserta Pilpres 2019;

5. Menetapkan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden nomor urut 02 H Prabowo Subianto dan H Sandiaga Salahudin Uno sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih periode 2019-2024;

6. Memerintahkan kepada Termohon untuk seketika untuk mengeluarkan surat keputusan tentang penetapan H Prabowo Subianto dan H Sandiaga Salahudin Uno sebagai presiden dan wakil presiden terpilih periode tahun 2019-2024, atau;

7. Memerintahkan Termohon untuk melaksanakan Pemungutan Suara Ulang secara jujur dan adil di seluruh wilayah Indonesia, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 22e ayat 1 UUD 1945.(*)