Surat dari Gaza: Kapan Kematian Berhenti Menghujani Kami?

Rumah kami tiada henti terguncang. Saya terus mendengar suara ledakan. Jantung saya berdebar kencang karena ketakutan,” dari catatan pribadi seorang wanita Gaza tentang akhir pekan penuh ketakutan.

Tepat sebelum Ramadan kembali berlangsung eskalasi kekerasan antara Israel dan Hamas. Kekerasan itu menewaskan empat penduduk Israel dan lebih dari 20 warga Palestina di Jalur Gaza.
Oleh: Rima Fathi (Haaretz)

Ketika saya sedang berbaring di tempat tidur di rumah di Gaza, melacak berita melalui media sosial, pengeras suara masjid di samping rumah keluarga saya mengumandangkan sejumlah kata-kata dan ekspresi, termasuk kata “Qamar,” yang berarti “bulan.”

Awalnya saya pikir mereka menyatakan terlihatnya bulan sabit yang menandakan awal bulan Ramadan dan awal puasa hari Senin (6/5).

Tiba-tiba saudara lelaki saya berlari masuk, berteriak kencang, “Buka jendelanya, buka jendelanya.” Saudara lelaki saya yang kedua memanggil para tetangga untuk membuka jendela dan pintu mereka, lalu berkata, “Mereka akan mengebom Burj al-Qamar.”

Burj al-Qamar, Menara Bulan, berjarak 120 meter di sebelah tenggara rumah kami, di dekat Barcelona Garden, di kawasan yang disebut Tal al-Hawa, selatan Kota Gaza.
Lusinan orang, termasuk bayi, wanita, dan orang tua tinggal di gedung setinggi 10 lantai.

Saya melompat dari tempat tidur dan pergi menemui ayah saya di kamarnya. Dalam hati saya tahu bahwa tidak ada yang bisa melindungi kami dari kematian yang menghujani kami dari langit.

Ayah saya berusaha keras meyakinkan saya, kedua saudara lelaki saya, dan ibu saya, berusaha menangkal monster teror dan membuat kami merasa aman.

Saya bertanya-tanya bisakah kami tetap aman ketika puluhan pesawat nirawak yang kami sebut “zenana,” helikopter, dan jet F-16 terbang melintasi langit Gaza sepanjang siang dan malam, seperti burung gagak yang mencari mangsa di tanah kehancuran.

Puluhan orang dari lingkungan rumah saya berkumpul di dekat Burj al-Qamar. Seorang perwira dari Pasukan Pendudukan Israel menelepon seorang penduduk, memintanya untuk mengungsi dalam waktu dua menit.

Sementara itu, zenanameluncurkan tembakan peringatan, satu demi satu.

Seorang lelaki dari pasukan penyelamat sipil dan layanan darurat turun tangan, mengambil telepon seluler dan meminta waktu lebih lama dari petugas pendudukan tersebut, karena gedung tinggi tidak memiliki lift dan perlu waktu evakuasi lebih lama bagi sejumlah besar bayi dan orang lanjut usia.

Petugas Pasukan Pendudukan Israel tersebut bertanya, “Apakah itu Anda yang berada di samping skuter?” Dia menjawab ya, itu memang dia.

 Petugas itu menimpali,
“Tetaplah di tempat Anda berada dan berteriaklah. Mintalah mereka untuk melakukan evakuasi dengan lebih cepat.” 

Petugas itu meminta pria tersebut untuk memberitahu orang-orang yang telah berkumpul untuk segera bubar, agar tak ada roket yang mendarat di antara mereka.
Ketika mereka berbicara, zenanamenembakkan sebuah roket di sebelah gedung tinggi, sehingga orang-orang segera pergi. Seorang lelaki terisak meratapi kucing-kucingnya, yang belum sempat dia bawa serta sebelum melarikan diri dari apartemennya.

Sekitar 40 menit telah berlalu antara tembakan peringatan pertama oleh zenanadan deru mesin F-16. Kemudian, terdengar sebuah ledakan yang menggelegar. Tetangga saya dan saya bersembunyi di balik selimut.

Kami merasakan bangunan itu terguncang. Saya mendengar suara batu bata berjatuhan di mana-mana. Dari jendela kamar, saya melihat puluhan anak muda dan anak-anak berlari, berteriak dan menangis.

Ketika saya tak kunjung tenang, terdengar kabar bahwa jet tempur Israel telah mengebom sebuah bangunan di kawasan Sheikh Zayed di utara kamp pengungsi Jabalia, di utara Jalur Gaza.

Empat warga Palestina tewas, di antaranya terdapat seorang bayi berusia empat bulan dan seorang anak laki-laki berusia 12 tahun. Sebelumnya, lima orang tewas di Beit Lahia.

Kematian tersebut menambah daftar panjang martir menjadi 25 korban jiwa sejak hari Jumat (3/5).

Rumah kami tiada henti terguncang. Saya terus mendengar suara ledakan. Jantung saya berdebar kencang karena ketakutan. Saya terus menanyakan pertanyaan yang sama: Berapa lama kami harus hidup dalam bayang-bayang neraka pendudukan Israel? Kapankah pembunuhan akan berhenti? Kapankah kehancuran akan berhenti? Kapankah kami bisa mulai hidup dengan merdeka? Kapankah kematian akan berhenti menghujani kami dari langit?

Keterangan foto utama: Rudal menghantam seiring asap membubung dalam serangan udara Israel di Kota Gaza, 5 Mei 2019. (Foto: Reuters/Mohammed Salem)
Surat dari Gaza: Kapan Kematian Berhenti Menghujani Kami?

Your email address will not be published. Required fields are marked *