Catatan Risko Mardianto, SH, "Profesi Wartawan Dalam Ancaman"

Risko Mardianto, SH
IMPIANNEWS.COM 

Baru-baru ini puluhan insan pers menggelar aksi damai dan long march di Polda Sumbar terkait adanya dugaan kriminalisasi terhadap wartawan. Pihak kepolisian dianggap tidak menjalankan UU Pers dalam penyelesaian sengketa pers. Salah satu pemimpin redaksi surat kabar yang dilaporkan pencemaran nama baik oleh pihak yang tidak senang dengan pemberitaan diseret ke ranah hukum tanpa melalui mekanisme yang diatur oleh UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers. 

Kemudian, beberapa hari lalu seorang wartawan tewas didalam tahanan Lapas Kelas II B Kotabaru. Menurut Wakil Ketua Komisi Hak Azasi Manusia, Hairansyah Yusuf dipidana lantaran menjalankan profesinya yang memang dilindungi undang-undang.

Santer diberitakan Yusuf menuliskan berita menyangkut perusahaan sawit PT Multi Sarana Agro Mandiri. Oleh perusahaan dilaporkan ke polisi. Dengan sigap polisi menangkap Yusuf dan menjeratnya dengan UU ITE. Hal ini sangat bertentangan dengan ketentuan UU Pers. 

Atas sikap kepolisian yang merespon cepat laporan masyarakat tentu perlu di apresiasi. Namun, kepolisian perlu bertindak sesuai dengan ketentuan yang ada. UU Pers memberikan perlindungan hukum kepada wartawan yang tengah menjalankan profesinya, pihak yang merasa dirugikan oleh produk jurnalistik juga demikian. Hak dan kewajiban yang sama melekat kepada setiap warga negara, termasuk wartawan.

Didalam UU Pers, jika ada pihak yang merasa dirugikan atas sebuah pemberitaan, harusnya bisa diselesaikan dengan meminta hak jawab ataupun melalui mekanisme Dewan Pers. Bukan langsung pemidanaan.

Dalam kasus itu, terlihat petugas kepolisian bertindak cepat namun tidak melakukan penyelidikan lebih lanjut. Yusuf dilaporkan atas pemberitaan dan tulisan yang cinta pada rakyat  lalu ditangkap. Menjadi lebih aneh jika media yang mempublikasikan laporan yusuf tidak ikut dilaporkan sebab dalam kasus ini laporan terhadap wartawan tampak kabur (obscuur) antara mengadukan koran dan jurnalisnya.

Jika yang diadukan itu Yusuf, Ia adalah entitas Pers dan memiliki imunitas terbatas oleh UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers. Lalu, jika yang dilaporkan Surat Kabar yang mempublikasikan, ingat yang dilindungi itu orangnya (rechtpersoon). Sementara, surat kabar hanya alat dan/atau instrument saja, dengan menyebarkan berita tersebut. Jadi, tidak bisa dipisahkan Ia sebagai Insan pers apalagi menulisnya di Surat Kabar, baik cetak maupun online. 

Dalam bekerja pers berpotensi melakukan kekeliruan hingga menyangkut kepentingan orang atau sekelompok orang. Bagaimanapun ketika persoalan ini terjadi, bukan berarti pers bisa bebas lepas dari pertanggungjawaban atas kekeliruan yang dilakukannya. Analoginya tidak ada yang kebal hukum di negara hukum ini, karena itu pers diwajibkan menyelesaikan persoalan ini sesuai ketentuan yang diperuntukkan kepada pers.

Ketika persoalan terjadi akibat karya jurnalistik yang dihasilkan oleh pers, masyarakat berhak menuntut pers untuk mempertanggungjawabkannya. Dan persoalan jurnalistik diselesaikan dengan mekanisme jurnalistik, berupa Hak Jawab dan Hak Koreksi sesuai UU Pers, bukan dengan kekerasan dan ancaman fisik dan mental dari pihak pihak yang merasa dirugikan atas sebuah pemberitaan.

Karena itulah, UU Pers membatasi kebebasan pers dengan beberapa kewajiban hukum, yang menjadi acuan bagi pers dan perusahaan pers dalam menjalan peran dan fungsi antara lain:
a. Memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah (Pasal 5 ayat 1);
b. Melayani hak jawab (Pasal 5 ayat 2), hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya (Pasal 1 ayat 11);
c. Melayani hak koreksi (Pasal 5 ayat 3), hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain (Pasal 1 ayat 12)..
d. Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar (Pasal 6 ayat c);
e. (Wartawan) memiliki dan menaati kode etik (Pasal 7 ayat 2).
Menurut saya inilah roh kebebasan pers ditinjau dari berbagai aspek, baik aspek hukum, aspek pemberitaan (jurnalistik) dan aspek social yang menjadi tanggung jawab setiap wartawan Indonesia dan perusahaan pers dimanapun berada termasuk di daerah dalam menjalankan tugas.

Dalam beberapa kasus yang menimpa wartawan dari berbagai media, sering aturan tentang pencemaran nama baik dipakai untuk melindungi kekuasaan dari kritik atau kontrol masyarakat. Artinya ada upaya dari pihak tertentu dalam membungkam kebebasan pers sebagaimana yang telah kita uraiakan diatas tadi dengan mengalihkan suatu substansi pemberitaan menjadi pencemaran nama baik, demikian sebaliknya ada upaya pencemaran nama baik seseorang yang dilakukan lewat pemberitaan melalui tangan pihak ketiga. Ketentuan tersebut selanjutnya dipakai untuk mengatur fitnah atau pencemaran nama baik yang melibatkan individu. 

Pencemaran nama baik dalam hukum pidana diatur dalam Bab XVI tentang Penghinaan yang terdiri dari Pasal 310-321. Bahkan pencemaran nama baik seseorang adalah ketentuan hukum yang paling sering digunakan untuk melawan media massa. Fitnah yang disebarkan secara tertulis dikenal sebagai libel , sedangkan yang diucapkan disebut slander. Fitnah lazimnya merupakan kasus delik aduan. Seseorang yang nama baiknya dicemarkan bisa melakukan tuntutan ke pengadilan , dan jika menang bisa mendapat ganti rugi. Hukuman pidana penjara juga bisa diterapkan kepada pihak yang melakukan pencemaran nama baik.

Ancaman hukum yang paling sering dihadapi media atau wartawan adalah menyangkut pasal-pasal penghinaan atau pencemaran nama baik. Dalam KUHP setidaknya terdapat 16 pasal yang mengatur soal penghinaan. Penghinaan terhadap Presiden dan wakil Presiden diancam oleh pasal 134, 136, 137. Penghinaan terhadap Raja, Kepala Negara sahabat, atau Wakil Negara Asing diatur dalam pasal 142, 143, 144. Penghinaan terhadap institusi atau badan umum (seperi DPR, Menteri, DPR, kejaksaan, kepolisian, gubernur, bupati, camat, dan sejenisnya) diatur dalam pasal 207, 208, dan 209. Jika penghinaan itu terjadi atas orangnya (pejabat pada instansi negara) maka diatur dalam pasal 316. Sedangkan penghinaan terhadap anggota masyarakat umum diatur dalam pasal 310, 311, dan 315. Selain itu, masih terdapat sejumlah pasal yang bisa dikategorikan dalam delik penghinaan ini, yaitu pasal 317 (fitnah karena pengaduan atau pemberitahuan palsu kepada penguasa), pasal 320 dan 321 (pencemaran atau penghinaan terhadap seseorang yang sudah mati).

Ketentuan hukum penghinaan bersifat delik aduan, yakni perkara penghinaan terjadi jika ada pihak yang mengadu. Artinya, masyarakat yang merasa dirugikan oleh pemberitaan pers—nama baiknya tercemar atau merasa terhina—harus mengadu ke aparat hukum agar perkara bisa diusut. 

Dalam KUHP sejatinya tidak didefinisikan dengan jelas apa yang dimaksud dengan penghinaan, akibatnya perkara hukum yang terjadi seringkali merupakan penafsiran yang subyektif. Seseorang dengan mudah bisa menuduh pers telah menghina atau mencemarkan nama baiknya, jika ia tidak suka dengan cara pers memberitakan dirinya. Hal ini menyebabkan pasal-pasal penghinaan (dan penghasutan) sering disebut sebagai “ranjau” bagi pers, karena mudah sekali dikenakan untuk menuntut pers atau wartawan.

Selain itu ketentuan ini juga sering dijuluki sebagai “pasal-pasal karet”, karena begitu lentur untuk ditafsirkan dan diinterpretasikan. Hakikat penghinaan adalah menyerang kehormatan dan nama baik seseorang, golongan, lembaga, agama, jabatan, termasuk orang yang sudah meninggal.

Dalam KUHP disebutkan bahwa penghinaan bisa dilakukan dengan cara lisan atau tulisan (tercetak). Adapun bentuk penghinaan dibagi dalam lima kategori, yaitu: pencemaran, pencemaran tertulis, penghinaan ringan, fitnah, fitnah pengaduan dan fitnah tuduhan. Kategorisasi penghinaan tersebut tidak ada yang secara khusus ditujukan untuk pers, meskipun demikian bisa dikenakan untuk pers, dengan ancaman hukuman bervariasi antara empat bulan hingga enam tahun penjara.

Pers sering harus berhadapan dengan anggota masyarakat yang merasa dirugikan oleh suatu pemberitaan. Penafsiran adanya penghinaan atau pencemaran nama baik (dalam pasal 310 KUHP) ini berlaku jika memenuhi unsur:
1. Dilakukan dengan sengaja, dan dengan maksud agar diketahui umum (tersiar).
2. Bersifat menuduh, dalam hal ini tidak disertai bukti yang mendukung
tuduhan itu.
3. Akibat pencemaran itu jelas merusak kehormatan atau nama baik seseorang.

Dalam kasus pidana yang melibatkan pers tentu saja tidak bisa serta merta pengadilan menggunakan unsur melawan hukum yang terdapat dalam KUHP. Karena pekerjaan seorang wartawan dilindungi oleh UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers. Oleh karena itu, kalaupun ada penggunaan instrumen hukum pidana maka unsur melawan hukum yang terdapat dalam KUHP harus dihubungkan dengan UU Pers. Menarik untuk melihat bagaimana MA, meletakkan fondasi tentang unsur melawan hukum dalam kasus pers.
Menurut MA unsur melawan hukum tidak terpenuhi manakala:
1. Pemberitaan telah Cover Both Side (berimbang)
2. Pemberitaan telah berdasarkan atas asas kepatutan, ketelitian, dan kehati-hatian
3. Pemberitaan telah memenuhi kaidah-kaidah jurnalistik dan Kode Etik Jurnalistik
4. Pemberitaan tersebut telah dibantah melalui hak jawab
Keempat faktor ini penting dilalui terlebih dahulu untuk apakah ada malpraktek yang dilakukan wartawan. Berita yang merupakan hasil malpraktek antara lain bercirikan: Tidak untuk kepentingan umum, tetapi misalnya untuk kepentingan pemerasan; Hasil fabrikasi; plagiat.

Demikian juga berita yang bersifat berintensi malice (itikat buruk) , misalnya untuk melampiaskan dendam kepada seseorang atau instansi tertentu. Selain itu MA juga telah mengabaikan konsep pemidanaan yang dikenal dalam UU Pers, UU Pers menyatakan dalam Pasal 18 ayat (2) jo Pasal 5 ayat (1) bahwa pidana yang dapat dikenakan sepanjang mengenai pelanggaran terhadap asas praduga tidak bersalah adalah pidana denda yang dijatuhkan pada perusahaan pers dan bukan individu yang melaksanakan kerja jurnalistik tersebut. Konsep ini diperkenalkan justru untuk mengantikan konsep pemidanaan yang dikenal dalam KUHP dan tentunya lebih bersahabat dengan pekerjaan jurnalistik.

Pertanyaannya boleh kah permasalahan pemberitaan pers di bawa ke pengadilan, boleh tapi syaratnya tetap harus menggunakan UU Pers yang muaranya pada pemenuhan hak jawab dan koreksi. Apa itu hak jawan dan hak koreksi?
1. Hak jawab : adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitahuan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.
2. Hak Koreksi: adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain .
Artinya, setiap ada sengketa pers, yang merasa dirugikan akibat karya jurnalistik, tentunya dapat menggunakan serangkaian hak-hak yang sudah diberikan oleh UU Pers. Lalu bagaimana jika ada pihak-pihak yang tidak menggunakan hak jawabnya, dan kemudian menggunakan jalur lain.

Kedudukan hak jawab di mata hukum menjadi sangat penting dan diakui keberadaannya. Oleh sebab itu, jika ada persoalan sengketa pers, maka sudah seharusnya digunakan mekanisme hak jawab. Penyelesaian masalah berita pers ditempuh dengan jalan pertama, dengan hak jawab; kedua bila masih dispute, diselesaikan ke Dewan Pers ; ketiga bila masih dispute penyelesaian dengan jalur hukum tidak ditabukan, sepanjang fair, terbuka, dan akuntabel.

Jadi adanya pendapat bahwa Pers terkesan kebal hukum dan tidak mau dijerat sanksi hukum juga tidak benar , sebab UU pers sesungguhnya mengenal pertanggungajawaban sanksi, yaitu jika: Pers tidak memberitakan peristiwa dan opini dengan menhormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah (pasal 5 ayat 1), Pers Tidak melayani Hak Jawab (pasal 5 ayat 2), Pers Melanggar Pemuatan Iklan seperti ditegaskan Pasal 134. Pers Tidak berbadan hukum (pasal 9 ayat 2)5, Pers tidak mengumumkan nama, alamat dan penanggungjawab ditambah nama dan alamat percetakan (pasal 12).

Pemidanaan wartawan akibat pencemaran nama baik, juga sesungguhnya telah bertentangan dengan KHUP Pidana sendiri. Pada Pasal 50 menyebutkan, barang siapa yang melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana. Sementara dalam pasal 3 UU Pers menyatakan, salah satu fungsi pers nasional adalah melakukan kontrol sosial. Karena tugas jurnalistik yang dilakukan pers dianggap sebagai perintah UU Pers, maka jurnalis yang menjalankan tugas jurnalistik itu tidak bisa dipidana.

Mengenai pencemaran nama baik. Pasal 310 KUHP menyatakan bahwa pencemaran nama baik bukan pencemaran nama baik, jika dilakukan untuk kepentingan umum. Berdasarkan pasal 6 UU Pers, pers nasional melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.

Bahwa pertanyataan selanjutnya adalah “apakah ketentuan dalam UU Pers menjamin keseimbangan (balancing) antara kepentingan pers bebas dan kepentingan pihak lain karena adanya berita yang keliru atau tidak benar?”Keseimbangan yang dituntut adalah memulihkan “cedera” seseorang akibat suatu pemberitaan pers yaitu kemungkinan terbentuknya pendapat umum yang merugikan yang bersangkutan.

Karena menyangkut pendapat umum, maka pemulihan cedera harus bertujuan mengembalikan pendapat umum pada keadaan semula sebagaimana sebelum ada pemberitaan pers yang keliru. Dalam hal ini, Hak Jawab merupakan instrumen yang paling tepat dibandingkan dengan proses hukum yang selalu terdapat kemungkinan tidak dapat diketahui secara luas sebagaimana kalau menggunakan hak jawab, karena dengan menggunakan hak jawab akan ada keseimbangan antara kemestian pers bebas dan kemestian perlindungan kepentingan seseorang dari pemberitaan pers yang keliru.Masalahnya, kepentingan umum seperti apa? Kriteria kepentingan umum seperti apa?
Pers punya senjata lagi satu selain kriteria tadi, yaitu kode etik jurnalis.

Seperti cover bothsides dan profesionalisme . Terakhir, nuraninya. Apa keuntungannya masyarakat saya beritakan informasi ini, dia akan pertanyakan pada nuraninya. Satu lagi hal, sebenarnya kalau pers ingin mengangkat hak dan kebebasannya, tentunya harus mempertimbangkan kewajibannya. Jangan mengorbankan orang lain.

Kebebasan pers itu bukan urusan pers sendiri, itu kepentingan semua orang. Meskipun banyak kasus pers, tapi belum ada putusan yang dapat menjadi tonggak yang cukup bagus yang mengulas konsep kepentingan umum. Belum ada yang sampai mendalam. Karena faktanya, kriminalisasi terhadap pers terjadi saat aparat penegak hukum mengedepankan KUHP dan mengesampingkan UU Pers.
Insan pers tidak kebal hukum.

Insan pers tidak kebal hukum dimana

Pengecualiannya ialah unsur kesengajaan melawan hukum pada pemberitaan. Misalnya apabila ada karya jurnalistik yang memuat penghinaan, namun tetap diterbitkan, dimana redaksi maupun penulisnya mengetahui unsur tersebut. Kemerdekaan pers dijamin oleh UUD 1945 dan instrumen hukum lainnya, termasuk putusan MA. Oleh karena itu, UU Pers tidak dapat dikesampingkan oleh KUHP. Delik pers sepatutnya diselesaikan oleh Dewan Pers. pers berperan penting dalam mengontrol kinerja pemerintah. Upaya kontrol tidak akan berjalan efektif jika pemberitaan pers dianggap ancaman oleh pemerintah. Pada awalnya, UU Pers merupakan tonggak dalam sejarah kemerdekaan pers di Indonesia. Undang-undang ini lahir karena desakan insan pers yang menghendaki adanya jaminan kemerdekaan pers berupa instrumen hukum. begitu insan pers menjadi saksi di bawah sumpah dalam sidang pengadilan, saat itu juga ia tidak bisa melindungi nara sumbernya dengan ancaman memberikan keterangan palsu yang dijerat Pasal 242 ayat (1) KUHP.
Equality before the law (persamaan di depan hukum)

Dalam hal pemberian kesaksian dikenal
Equality before the law (persamaan di depan hukum) adalah azas hukum yang sifatnya umum dan prinsipiil. Dikaitkan dengan kesaksian, memberikan kesaksian ini adalah kewajiban semua warga negara. Pengecualian berlaku bagi, contohnya saja, bankir, dokter hingga pendeta (Pasal 170 KUHAP), penjelasan pasal itu dalam UU Pers menyatakan, hak tolak yang dimaksud ialah hak untuk tidak mengungkapkan identitas narasumber dalam pemberitaan. Narasumber disini artinya narasumber yang identitasnya sengaja disembunyikan atau anonim. Artinya, insan pers hanya mempunyai hak tolak untuk menyebutkan identitas narasumber anonim dalam proses peradilan. Entah sebagai saksi di tingkat penyelidikan, penyidikan hingga penuntutan. Hak tolak hanya gugur lewat putusan pengadilan, dengan alasan kepentingan dan ketertiban umum. Jika hak tolak digugurkan, insan pers wajib untuk menyebutkan identitas narasumber. Jika tidak, maka ia dapat dihukum seperti kasus HB Jasin yang lebih memilih bungkam ketimbang membongkar siapa pengarang “langit makin mendung”.

Terkait dengan pemberitaan pers yang dianggap sebagai mencemarkan nama baik, ada beberapa catatan. Pertama, orang yang disangkakan mencemarkan nama baik harus diberi kesempatan membuktikan pernyataannya dan harus diingat bahwa pernyataan yang bersifat menghina adalah pernyataan pribadi. Kedua, pernyataan tersebut ditujukan kepada orang per orang dan bukan suatu institusi karena sifat dari pencemaran nama baik adalah subjektivitas korban. Ketiga, pernyataan yang dianggap menghina dimuat dalam pemberitaan media sehingga tidak terlepas dari delik pers.

Dengan demikian untuk menentukan ada tidaknya pencemaran nama baik melalui pers harus dilihat dari isi berita itu dan dibandingkan dengan isi berita yang sama pada media cetak lain. Solusi konkret untuk menengarai masalah pencemaran nama baik melalui pers, perubahan terhadap undang-undang pers mutlak dilakukan. Pertama, pencemaran nama baik melalui pers tidak lagi sebagai bagian dari ranah hukum pidana, tetapi cukup pada ranah hukum perdata. Kedua, sebagai penyeimbang di era kebebasan memperoleh informasi dewasa ini, korban yang merasa dicemari nama baiknya melalui suatu pemberitaan wajib menyampaikan jawaban. Jika jawaban tersebut tidak dimuat oleh perusahaan pers yang bersangkutan, gugatan perdata tidak hanya ditujukan kepada pelaku, tetapi juga terhadap perusahaan pers tersebut
Mengenai kebenaran atas suatu peristiwa MA juga berpendapat bahwa kebenaran yang diberitakan oleh pers merupakan suatu kebenaran yang elusive yang berarti sukar dipegang kebenarannya, dimana kebenaran yang hendak diberitakan sering berada diantara pendapat dan pendirian seseorang dengan orang lain atau antara satu kelompok dengan kelompok lain. Oleh karena itu kebenaran yang elusive tidak mesti merupakan kebenaran absolut.

Dalam penggunaan hak jawab, MA berpendapat bahwa apabila penggunaan hak jawab tersebut tidak digunakan, maka pemberitaan yang dilakukan oleh pers mengandung kebenaran atau paling tidak mempunyai nilai estimasi karena sudah dianggap memenuhi batas minimal investigasi reporting yaitu mencari, menemukan, dan menyelidiki sumber berita, sehinga paling tidak sudah terpenuhi pemberitaan yang konfirmatif.
Albert Camus, novelis terkenal dari Perancis pernah mengatakan bahwa pers bebas dapat baik dan dapat buruk , namun tanpa pers bebas yang ada hanya celaka. Oleh karena salah satu fungsinya ialah melakukan ocial ocial itulah, pers melakukan kritik dan koreksi terhadap segala sesuatu yang menurutnya tidak beres dalam segala persoalan.

Karena itu, ada anggapan bahwa pers lebih suka memberitakan hah-hal yang salah daripada yang benar. Pandangan seperti itu sesungguhnya melihat peran dan fungsi pers tidak secara komprehensif, melainkan parsial dan ketinggalan jaman. Karena kenyataannya, pers sekarang juga memberitakan keberhasilan seseorang, lembaga pemerintahan atau perusahaan yang meraih kesuksesan serta perjuangan mereka untuk tetap hidup di tengah berbagai kesulitan.

Penulis adalah Alumni Fakultas Hukum Universitas Mahaputera Muhammad Yamin Solok dan Alumni PKPA Universitas Bung Hatta