Catatan Ulil Amri Abdi : Mencari Karakter Reputasi

ULIL AMRI Abdi
Setiap saya punya kesempatan sholat di Masjid dimana pun saya berada, tanpa disengaja saya hampir selalu menemukan papan informasi laporan keuangan Masjid tersebut. Sepertinya, sengaja diletakkan diposisi yang mudah terlihat. Isinya pun jelas dan gampang dimengerti. Ada tabel uang masuk, uang keluar dan saldo. Rinciannya juga dimuat. Ada keuangan Yatim, keuangan Masjid, Sedekah, dan Zakat. Laporan disetiap Masjid berbeda-beda tergantung jenis keuangan yang dikelola.

Apa yang dilakukan pengurus Masjid adalah hal yang biasa saja, tidak ada istimewanya. Bisa jadi itu hanya suatu kebiasaan atau bisa juga karena permintaan jamaah untuk mengetahui neraca keuangan Masjid.

Tanggungjawab sosial diperlukan untuk mendapatkan kepercayaan, apalagi dalam mengelola keuangan Masjid. Kepercayaan lahir karena adanya kejujuran. Dengan kejujuran terbentuklah reputasi.

Membangun reputasi memerlukan waktu, kerja keras, dan pengalaman nyata yang jujur. Baik itu reputasi individu, organisasi, hingga reputasi sebuah korporasi. 

Dalam buku yang berjudul "Reputasi Yang Berkarakter" dijelaskan, reputasi bukan pekerjaan membungkus citra yang lalu dikomunikasikan bertubi-tubi melalui media. Citra, bisa jadi, sungguh tidak memperhitungkan soal kejujuran. Tapi tidak halnya dengan reputasi.

Ketika seseorang yang awalnya tidak dikenal oleh siapapun atau prestasinya biasa-biasa saja, kemudian ingin menjadi kandidat kepala daerah, dan berkampanye menceritakan begitu hal baik tentang dirinya kepada publik melalui media, adalah wajar kalau kemudian disebut sebagai pencitraan.

Memang, tidak semua hal mengenai pencitraan itu buruk. Hanya pencitraaan yang terlalu berlebihan, alih-alaih bakal membangun reputasi, justru akan menjadi "bumerang", citra gagal total dikomunikasikan.

Inti dari reputasi terletak pada kejujuran. Elemen kejujuran inilah yang pada akhirnya sering menjadi “dewa penyelamat” ketika reputasi seseorang atau sebuah korporasi sedang diuji karena mengalami masalah.

Ketidakjujuran lalu berimbas pada ketidakpercayaan. Dan itulah yang banyak terjadi di mana-mana ketika citra cenderung berada di depan menjadi panglima, ketimpang reputasi yang dijadikan patokan.

Ketidakpercayaan merupakan fase paling menyakitkan bagi seseorang, organisasi, dan korporasi, karena bisa mengubah dramatis posisi yang dicapai hari ini. Dari semula untung menjadi rugi. Dari sebelumnya bagus menjadi buruk, dan seterusnya.

Adalah penting kemudian mengelola kejujuran bersama kepercayaan ketika sedang menjalankan amanah, profesi, bisnis atau hidup sosial bermasyarakat.

Jalan menuju pencapaian reputasi memang ada begitu banyak. Dari manapun rutenya, tetaplah harus berawal dari langkah pertama yang mengedepankan kejujuran.

Produk yang bagus dan berkualitas adalah wajah konkret sebuah kejujuran. Ia tidak butuh pencitraan. Yang dibutuhkan adalah narasi dan cerita apa adanya tentang produk, dan itu sudah cukup membuat konsumen dan pelanggan datang untuk mengomsumsinya. Pelanggan datang didorong oleh kepercayaan yang dibangun dari dasar kejujuran. Pada akhirnya pencitraan tidak dibutuhkan disini.

Ditengah membuncahnya daya kritis generasi milenial yang menghendaki cerita lebih bermakna ketimbang berjualan "citra". Yang menginginkan kejujuran dibanding topeng kebohongan publik. Yang mengharapkan kepercayaan sebagai barometer rujukan.

Apa yang dilihat dan yang disaksikan melalui media, hanyalah realitas semu. Ia dikemas sedemikian rupa, dibumbui dengan pelbagai macam corak kepentingan. Ada yang menjual kebaikan, kesholehan, ketangguhan, keberanian, keluguan, kepolosan, keakraban, kepedulian, kesuksesan. Begitulah citra bekerja demi mengharapkan efek "Waw!"

Namun, reputasi tidak butuh koar-koar. Ia hanya perlu story telling yang jujur. Mengakui yang salah dengan cara yang benar. Menceritakan yang buruk dengan cara yang baik. Bukan mencari dalih atau mengkambinghitamkan.

Ketika karakter manusia itu sendiri sudah baik, dengan begitu reputasinya akan ikut baik. Tak perlu cari sana cari sini, tak usah teriak ini teriak itu, ia ada dalam diri sendiri. Tinggal dilatih, dibiasakan, dan diamalkan.

"*_*Tunggu mangatoan paja indak panggalak, mungkin awak manjujai nan indak pandai*_"