Catatan Laila," Dana Haji Diinvestasikan untuk Infrastruktur"

Jadi semalam ceritanya saya nanya-nanya ke suami (kebetulan beliau macroprudensialis). Pengin pintar juga menyikapi dana haji yang mau diinvestasikan untuk infrastruktur itu.

Poin-poin di bawah sebenarnya sudah saya share di kolom komentar status teman saya. Ini saya posting ulang karena ada yang minta. Izin share ya, Pak Suami

Ini beberapa poin yang saya tangkap dari penjelasan beliau,

1. Tentang filosofi setoran dana haji. Berbeda dengan tabungan atau deposito, filosofi setoran dana haji adalah titipan dana sementara tabungan atau deposito adalah kegiatan investasi dengan imbal hasil (return) tertentu. Ketika masyarakat menyetor dana haji di bank, pihak bank dan nasabah sama-sama menyadari  bahwa sewaktu-waktu ketika dana itu dibutuhkan oleh si pemilik (ditarik) atau sesuai tujuannya utk membiayai keberangkatan haji pemilik dana, maka dana itu harus tersedia utuh tidak kurang satu sen pun. Karena itu, utk keamanannya, baik di bank konvensional maupun di bank syariah perjanjian/akad yg digunakan untuk setoran dana haji adalah perjanjian/akad titipan.

2. Dengan akad titipan sejatinya bank tidak memiliki hak utk mengalihkan, memutar atau memanfaatkan uang tsb dalam periode jeda waktu sebelum uang itu digunakan. Sebagai cth yg sangat lazim, titipan itu seperti safe deposit box (SDB). Bank hanya menyediakan tempat, tapi tidak berhak mengutak atik isi setiap box. Jadi, bank mengutip biaya atas jasa penyediaan tempat penyimpanan dan tidak memberikan imbal jasa atas uang yg ada dalam SDB. Jika ada bank terutama bank syariah yg memberikan imbal jasa berdasarkan akad titipan maka perlu dipertanyakan kesahihan akadnya mengingat hal itu menyimpangi 2 hal mendasar yaitu niat si pemilik dana u/ membayar setoran biaya haji dan peran bank sebagai penyedia jasa penyimpanan.

3. Jika si pemilik dana "memang" berniat membayar kewajiban (utang) yang tertunda (biaya haji) maka nilai atau jumlah kewajiban tersebut harus jelas disebutkan jumlahnya tanpa ada perubahan karena kondisi-kondisi yg relatif (mis; perubahan suku bunga atau nisbah bagi hasil). Perubahan jumlah kewajiban hanya diperkenankan berdasarkan hal-hal yg mutlak misalnya kenaikan biaya penerbangan yg secara resmi diumumkan oleh otoritas yg mengatur keberangkatan haji.

4. Sebaliknya, jika pemilik dana berniat untuk menginvestasikan dana (aset) tersebut maka akad yg digunakan juga berbeda, bisa mudharabah atau syarikah. Jumlahnya tidak mengikat dan yg diatur hanyalah mekanisme dalam profit/loss sharing antara bank dan pemilik dana.

5. Perlakuan terhadap  kewajiban (utang) atau investasi (aset) adalah 2 hal yg berbeda baik secara filosofi maupun akunting (kewajiban vs. aset). Secara filosofi (hukum Islam), nilai suatu kewajiban (utang) harus dinyatakan secara tegas dan jelas. Tidak ada syarat tambahan yg menjadikan utang tersebut berubah nilainya, baik karena waktu maupun kondisi tertentu karena hal itu akan menjadikannya tergolong sebagai riba. Sebaliknya, nilai suatu investasi bersifat relatif tergantung mekanisme, nisbah bagi hasil dan risiko yg dikandung oleh investasi itu sendiri.

5. Sejatinya, tidak ada investasi yg bebas risiko. Bahkan investasi dalam obligasi pemerintah pun tetap saja memiliki risiko. Misalnya, jika negara mengalami gagal bayar terhadap utang luar negeri maka pasar global secara otomatis menyatakan obligasi pemerintah tersebut default dan dikategorikan sebagai junk investments.

6. Dengan penjelasan pada no. 1 - 4 menjadi jelas bagaimana perlakuan semestinya terhadap setoran dana haji yaitu sebagai utang dari calon haji yang harus dilunasi sebelum calon haji berangkat menunaikan ibadah haji.

7. Dalam hukum Islam, transaksi mengenai utang piutang sudah diatur secara jelas. Misalnya, utang tidak boleh diperjualbelikan. Tidak ada pihak yg berhak untuk mengubah kewajiban utang (baik nominal maupun pihak pengutang). Jumlah utang hanya dapat dikurangi berdasarkan persetujuan pemberi utang misalnya karena keikhlasan atau pertimbangan manusiawi lainnya. Selain itu, akad utang piutang juga tidak boleh bercampur dengan akad investasi. Hal ini karena akan menimbulkan potensi riba terselubung serta menyimpangi prinsip syariah bahwa tidak boleh ada 2 akad dalam 1 transaksi.

8. Tentang investasi dan risiko. Bagi yang pernah belajar tentang investasi dan risiko tentunya memahami bahwa tidak ada investasi yang benar-benar bebas risiko.
Meski demikian, untuk memudahkan penerjemahan teori-teori tentang investasi maka dibuat suatu asumsi umum, misalnya, sebagai acuan investasi dengan risiko yang "mendekati" nol adalah obligasi pemerintah (mis. US T-Bills, GBP Gild atau IDR SUN).
Semua itu, pada awalnya, hanyalah untuk memudahkan penjelasan sebuah teori investasi. Namun, asumsi tersebut pada perkembangannya digunakan secara luas sehingga menggeser pemahaman terhadap no risk-free investments. Kesadaran terhadap pergeseran makna tersebut kembali mengemuka ketika terjadi krisis utang di negara-negara Eropa. Para investor seolah-olah dibangunkan kembali bahwa tidak ada investasi yang benar-benar bebas risiko meskipun dalam bentuk obligasi pemerintah.

Jika dikaitkan dengan keinginan pemerintah untuk menggunakan dana setoran haji untuk investasi maka perlu diklarifikasi akad apa yg digunakan ketika mengubah utang menjadi aset. Demikian.

*ini anak FISIP disuguhi kuliah tentang ekonomi, kelengeeer*
PENULIS: WYLVERA WINDAYANA

Post a Comment

0 Comments