Info Pariaman, "Tradisi Bajapuik di Pariaman"

Impiannews.com(pariaman).

Sebelum menjelaskan tentang tradisi ini, kita harus menjelaskan
bagaimana orang minang memandang adat. Pada prinsipnya orang minang
mengklasifikasikan adat menjadi empat macam yakni adat nan sabana adat
(adat sebenar adat), adat nan diadatkan(adat yang diadatkan), adat nan taradat
(adat yang beradat) dan adat istiadat.

Sederhananya, adat nan sabana adat itu merupakan ...aturan pokok dan
falsafah hidup orang minang yang berlaku turun temurun tanpa dipengaruhi
oleh tempat dan waktu, istilahnya ialah indak lakang dek paneh, ndak lapuak
dek ujan. Dalam hal ini saya mencontohkan seperti sistem materlineal dan
falsafah alam takambang jadi guru (Alam yang membentang dijadikan guru)
yang dipakai oleh orang minang. Kemudian adat nan diadatkan merupakan
peraturan setempat yang diputuskan secara musyawarah dan mufakat atau
aturan yang berlaku disuatu nagari (negeri/daerah) tertentu.

 Misalnya tata cara
atau syarat-syarat pengangkatan penghulu dan tata cara perkawinan. Sehingga
adat perkawinan antara satu daerah dengan daerah lainnya di dalam
Minangkabau berbeda-beda, tata cara perkawinan di Pariaman berbeda dengan
tata cara perkawinan di dareah lainya seperti di limapuluh kota, agam dan
daerah lainnya.

Sedangkan adat nan taradat merupakan kebiasaan seorang dalam
kehidupan bermasyarakat, misalanya seperti tata cara makan. Jika dahulu
orang minang makan dengan tangan, maka sekarang orang minang sudah
menggunakan sendok untuk makan.

Terakhir ialah adat istiadat yang merupakan kelaziman dalam sebuah
nagari atau daerah yang mengikuti situasi masyarakat. Biasanya adat istiadat
ini dijewantahkan kedalam bentuk apersiasi seni, budaya, acara serimonial dan
tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk itu, tradisi bajapuik yang merupakan sebagai transaksi
perkawinan itu termasuk kedalam kategori adat nan diadatkan. Di
Minangkabau tradisi bajapuik atau transaksi perkawinan ini hanya terjadi di
daerah Pariaman, sedangkan dareah lainnya tidak mengenal istilah transaksi
perkawinan ini. Oleh karena itu, dengan adanya tradisi bajapuik ini Pariaman
memiliki ciri khas tersendiri dalam tata cara perkawinan dalam kebudayaan
Minangkabau.

Pada umumnya bajapuik (dijemput) merupakan tradisi yang dilakukan
oleh orang minang dalam prosesi adat perkawinan, karena dalam sistem
matrilineal posisi suami (urang sumando) merupakan orang datang. Oleh
karena itu, datang karano dipanggia – tibo karano dianta (datang karena
dipanggil – tiba karena diantar) diwujudkan kedalam bentuk prosesi bajapuik
dalam perkawinan. Namun, di Pariaman prosesi ini diinterpretasikan kedalam
bentuk tradisi bajapuik, yang melibatkan barang-barang yang bernilai seperti
uang. Sehingga kemudian dikenal dengan uang japutan (uang jemput), agiah
jalang (uang atau emas yang diberikan oleh pihak laki-laki saat pasca
pernikahan) dan uang hilang (uang hilang).

Secara teori tradisi bajapuik ini mengandung makna saling harga
menghargai antara pihak perempuan dengan pihak laki-laki. Ketika laki-laki
dihargai dalam bentuk uang japuik, maka sebaliknya pihak perempuan
dihargai dengan uang atau emas yang dilebihkan nilainya dari uang japuik
atau dinamakan dengan agiah jalang. Kabarnya, dahulu kala, pihak laki-laki
akan merasa malu kepada pihak perempuan jika nilai agiah jalangnya lebih
rendah dari pada nilai uang japuik yang telah mereka terima, tapi sekarang
yang terjadi malah sebaliknya. Makna saling menghargai inilah yang menjadi
prinsip dasar dari tradisi bajapuik.

Namun, dalam realitasnya yang terjadi saat ini, terdapat jurang yang
tajam antara teori dan prakteknya. Tradisi yang dilaksanakan oleh masayarakat
hingga kini sudah jauh berbeda dengan prinsip dasarnya. Jika sebelumanya
nilai agiah jalang melebihi uang japuik, maka dalam prakteknya sekarang nilai
agiah jalang malah lebih rendah dari pada nilai uang japuik. Bahkan dalam
perkembangnya muncul pula istilah yang disebut dengan uang hilang. Uang
hilang ini merupakan pemberian dalam bentuk uang atau barang oleh pihak
perempuan kepada pihak laki-laki, yang sepenuhnya milik laki-laki yang tidak
dapat dikembalikan.

Uang hilang yang sudah diberikan kepada pihak laki-laki tidak dapat
dikembalikan, apapun yang terjadi baik pada masa pra nikah maupun pasca
nikah. Pihak perempuan tidak dapat menuntut pengembalian, jika pihak lakilaki
membatalkan dan mengambil uang hilang.
Sedangkan uang japuik, dimana secara hukum adat, apabila ikatan
pertunangan dibatalkan oleh salah satu pihak, maka pihak yang membatalkan
ikatan pertunangan diharuskan membayar dana dua kali lipat uang japuik atau
disebut juga dengan lipek tando (uang denda).

Fakta dilapangan mencatat bahwasanya perbedaan antara uang japuik
dan uang hilang semakin samar, sehingga masyarakat hanya mengenal uang
hilang dalam tradisi bajapuik. Biasanya uang hilang ini digunakan oleh pihak
laki-laki untuk membiayai resepsi pernikahan, seperti untuk biaya makanan,
biaya pelaminan, tenda dan perangkat hiburan. Disamping itu, sebagian kecil
disisihkan untuk membeli perhiasan untuk agiah jalang sebagai barang yang
akan diberikan kepada pihak perempuan dalam prosesi manjalang.

Semakin tinggi status sosial seseorang, maka semakin banyak biaya
resepsi pernikahannya. Dengan kondisi tersebut pada akhirnya status sosial
dan status pendidikan mempengaruhi jumlah uang japuik atau uang hilang
yang akan diterima oleh pihak laki-laki. Sayangnya fenomena ini semakin
berkembang dalam tradisi bajapuik, sehingga tak mengherankan jika seorang
yang status sosialnya tinggi akan dinilai dengan nilai uang hilang yang tinggi.

Disisi lain, tradisi bajapuik ini dinggap tidak bertentang dengan ajaran
dalam islam yang mengharuskan laki-laki membayar mahar kepada
perempuan. Disamping melaksankan tradisi bajapuik yang dianggap hanya
sebagai hadiah perkawinan, masyarakat Pariaman tetap membayar mahar
sesuai dengan ajaran islam.

Post a Comment

0 Comments